Keimanan adalah pemberitahuan pembenaran hati terhadap unsur – unsur keimanan yang jumlahnya ada enam sebagaimana telah diketahui. Wajib hukumnya keimanan tersebut disebutkan dengan pengabaran yang bersifat tetap, pasti, tanpa keraguan, dan tanpa istitsna’ (pengecualian) yakni menghubungkannya dengan masyi’atullah (kehendak Allah). Maka tidak boleh mengatakan: “Saya mu’min insya Allah”, karena orang yang berbicara demikian sedang mengabarkan keyakinan apa yang ada di dalam dirinya. Kecuali bila orang tersebut mengatakan yang demikian itu karena menghubungkannya dengan harapan dan keinginan yang besar terhadap keutamaan Allah atau bila hal itu adalah pengabaran terhadap keadaan di masa depan atau hal itu dimaksudkan atas kesempurnaan iman bukan terhadap pokok atau asasnya. Penjelasan ini adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam nash – nash, atsar – atsar, dan perkataan – perkataan para ulama’ berikut ini.
Dalil agar menetapkan keimanan tanpa keraguan adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Iman dari hadits mauquf yang sanadnya shahih dari ‘Alqomah beliau berkata:
قَالَ رَجُلٌ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ : إنِّي مُؤْمِنٌ ، فَقَالَ : قُلْ : إنِّي فِي الْجَنَّةِ ، وَلَكِنَّا نُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ .
“Seorang laki – laki berkata di sisi Abdullah Ibnu Mas’ud: “Saya adalah seorang mu’min”, maka laki – laki tersebut berkata kepadanya: “Katakanlah: sesungguhnya aku di surga”. Maka Ibnu Mas’ud menolaknya dengan perkataan: “Akan tetapi kami mengatakan: kami beriman kepada Allah, malaikat – malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, dan rasul – rasul-Nya”.
Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud dikabari mengenai keadaan seseorang dengan perkataannya: “Saya adalah seorang mu’min”, ini adalah pengabaran mengenai keadaannya saat ini, adapun keadaannya di masa mendatang maka urusan tersebut dikembalikan kepada Allah azza wa jalla.
Adapun berkata insya Allah terhadap keimanan karena mengharap keutamaan dari Allah maka hal ini tidak mengapa sebagaimana yang disebutkan oleh Ibrahim an-Nakha’i, beliau berkata:
قَالَ رَجُلٌ لِعْلقَمَةَ أَمُؤْمِنٌ أَنْتَ ؟ قَالَ : أَرْجُو إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Seorang laki – laki berkata kepada ‘Alqomah: ‘Apakah engkau seorang mu’min?’ Beliau menjawab: ‘Aku harap insya Allah’.” Al-Baihaqiy berkata: yang demikian ini juga diriwayatkan dari sekelompok sahabat, tabi’in, dan salafus sholih radhiyallahu ‘anhum aj’main.
Al-Baihaqiy meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkhutbah kepada manusia:
أَنْتُمُ الْمُؤْمِنُونَ ، أَنْتُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ ، وَاللَّهِ إِنِّي لأَطْمَعُ أَنْ يَكُونَ عَامَّةُ مَنْ تُصِيبُونَ مِنْ أَهْلِ فَارِسَ وَالرُّومِ فِي الْجَنَّةِ ، لأَنَّ أَحَدَهُمْ يَعْمَلُ لَكُمُ الْعَمَلَ ، فَتَقُولُ : أَحْسَنْتَ ، رَحِمَكَ اللَّهُ ! أَحْسَنْتَ ، بَارَكَ اللَّهُ فِيكَ ! وَاللَّهُ يَقُولُ : وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ سورة الشورى آية 26.
“Kalian adalah kaum mu’minun, kalian adalah ahli surga, demi Allah sesungguhnya aku sangat menginginkan bahwa orang kebanyakan yang akan kalian dapati dari kalangan orang – orang Persia dan Romawi masuk ke dalam surga, karena salah seorang mereka beramal bagi kalian sebuah amal, maka engkau katakan: “Bagus sekali, semoga Allah merahmatimu! Bagus sekali, semoga Allah memberkahimu!” Demi Allah dia berkata: “Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” QS. As-Syura: 26.
Dalam hal ini Mu’adz menetapkan sifat jama’ah yang ada di depannya sebagai kaum mu’min ahli surga. Kemudian di akhir perkataannya beliau berkata: “sesungguhnya aku sangat menginginkan”, ini adalah bentuk pengharapan dan penyandaran urusan masuknya mereka ke dalam surga kepada Allah ta’ala.
Riwayat Muhammad bin Ishaq dari Sa’id bin Yasar menegaskan hal ini, beliau berkata:
بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلا يَزْعُمُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ ، فَكَتَبَ إِلَى أَمِيرِهِ أَنِ ابْعَثْهُ إِلَيَّ ، فَلَمَّا قَدِمَ عَلَيْهِ ، قَالَ : أَنْتَ الَّذِي تَزْعُمُ أَنَّكَ مُؤْمِنٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ! قَالَ : وَيْحَكَ ! وَمِمَّ ذَاكَ ؟ قَالَ : أَوَلَمْ تَكُونُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْنَافًا : مُشْرِكٌ ، وَمُنَافِقٌ ، وَمُؤْمِنٌ ، فَمِنْ أَيِّهِمْ كُنْتَ ؟ قَالَ : فَمَدَّ عُمَرُ يَدَهُ إِلَيْهِ مَعْرِفَةً لِمَا قَالَ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ.
Umar bin al-Khatthab menyampaikan bahwa seorang laki – laki mengklaim bahwasanya dia itu seorang mu’min. Maka beliau menulis surat kepada amirnya agar ia mengutusnya kepadaku. Maka ketika ia datang kepadanya beliau berkata: “Engkau kah orang yang memgklaim bahwa engkau seorang mu’min?” Dia menjawab: “Benar, demi Allah wahai amirul mu’minin”. Beliau berkata: “Celaka engkau! Dari manakah itu?” Dia menjawab: “Tidakkah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat beberapa jenis orang: musyrik, munafik, dan mu’min, maka jenis yang manakah engkau?” Beliau berkata: “Maka Umar membentangkan tangannya kepadanya karena mengetahui apa yang diucapkannya hingga ia mengambil tangannya.” (Hadits mursal).
Sikap Umar ini menetapkan perkataan orang yang mengucapkannya tersebut, kemudian beliau mengakui dan membenarkan apa yang dikatakannya hingga tenanglah ia terhadap perkataannya tersebut.
Di dalam hadits lain dari Muhammad bin Ishaq juga beliau mengabarkan dari Usman bin al-Aswad, beliau berkata: Aku berkata kepada Atha’ bin Abi Rabah (kalangan tabi’in):
الرَّجُلُ يَقُولُ : لا أَدْرِي أَمُؤْمِنٌ أَنَا أَمْ لا ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ ! قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ سورة البقرة آية 3 فَهُوَ الْغَيْبُ ، فَمَنْ آمَنَ بِالْغَيْبِ ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ بِاللَّهِ
“Seorang laki – laki berkata: “Aku tidak tahu apakah aku seorang mu’min ataukah bukan”. Beliau berkata: “Subhanallah! Allah ta’ala berfirman: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib (QS. Al-Baqarah: 3), Dia adalah ghaib, maka barangsiapa beriman dengan yang ghaib maka dia adalah mu’min terhadap Allah”.
Perkataan Atha’ ini menunjukkan atas benarnya menyebut seseorang yang beriman terhadap Allah dan Rasulnya sebagai seorang mu’min dalam apa saja yang dikabarkan mengenai diri seseorang dalam keadaan atau waktu saat itu.
Al-Halimi rahimahullah berkata: Tidak seharusnya bagi seorang mu’min meninggalkan penyebutan mu’min bagi dirinya dalam suatu kondisi karena dia khawatir terhadap buruknya akibatnya – na’udzubillahi min dzalik – karena yang demikian itu sesungguhnya dia telah terjatuh dan terhapuslah keimanannya yang terdahulu. Maka tidaklah ia akan ada kembali, sirna dari asalnya. Sesungguhnya hilanglah ganjarannya dan batallah pahalanya. Yakni sesungguhnya pensifatan dirinya dengan keimanan secara umum adalah shahih, apabila berubah kondisinya, perkataannya yang sebelumnya masih shahih, akan tetapi terhapus iman dan amalnya.
Maka perkataan seorang mu’min: “Aku adalah mu’min” bukanlah sebuah kemungkaran. Sesungguhnya dibenarkan mengucapkan insya Allah ketika mengabarkan mengenai suatu kondisi di masa depan. Maksudnya adalah untuk mengabarkan posisi seorang mu’min nanti di masa depan: “Aku berharap Allah memberi karunia kepadaku dengan ketetapan iman dan tidak mengambil hidayahnya dariku setelah aku mendatanginya.”
Dibenarkan mengucapkan insya Allah pada posisi yang ketiga: yakni memaksudkan ucapan insya Allah dalam keimanan dengan sempurnanya keimanan, tidak atas pokok ataupun asas keimanannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan bahwasanya seorang laki – laki bertanya kepada Qatadah bin Nu’man (kalangan tabi’in): “Apakah engkau seorang mu’min?” Maka beliau menjawab: “Adapun aku, maka aku beriman kepada Allah, malaikat – malaikatnya, rasul – rasulnya, hari kebangkitan setelah kematian, dan terhadap takdir (qadar) baik dan buruknya. Adapun sifat yang disebutkan oleh Allah azza wa jalla:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ * أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” QS. Al-Anfal: 2-4.
Maka aku tidak tahu apakah aku termasuk di antara mereka ataukah tidak.
Qatadah menjelaskan bahwa sungguh dia beriman dengan keimanan yang menjauhkannya dari kekafiran, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia termasuk ataukah tidak dalam kelompok kaum mu’minin yang memiliki sifat sempurna keimanannya sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah ta’ala yang membuat mereka layak mendapatkan ampunan dan derajat yang tinggi. Keraguannya adalah dalam hal kesempurnaan sifat keimanannya yang membuatnya layak untuk mendapatkan derajat yang tinggi tidak dari sisi kekufuran yang membuatnya layak diadzab. Maka tidaklah ia termasuk dalam kategori orang – orang yang meragukan imannya.
Riwayat dari Abu Abdullah al-Hafidz dari Tamam bin Najih menguatkan hal ini, beliau berkata: Seseorang bertanya kepada Hasan al-Bashri mengenai keimanan, maka beliau menjawab: “Keimanan itu ada dua. Apabila engkau bertanya kepadaku mengenai iman terhadap Allah, malaikat – malaikatnya, kitab – kitabnya, rasul – rasulnya, surga, neraka, hari kebangkitan dan hisab, maka aku adalah seorang mu’min. Apabila engkau bertanya kepadaku mengenai firman Allah azza wa jalla:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ * أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” QS. Al-Anfal: 2-4.
Maka demi Allah aku tidak tahu apakah aku termasuk bagian dari mereka ataukah tidak.”
Sebagai ringkasan: dibenarkan bagi seorang mu’min mengabarkan keimanannya dalam suatu kondisi, dan janganlah mengatakan: “Aku mu’min di sisi Allah azza wa jalla”. Karena sesungguhnya Allah mengetahui apa yang akan terjadi padanya di masa mendatang sedangkan ia tidak mengetahuinya. Maka hendaknya urusan yang tidak kita ketahui kita sandarkan kepada yang mengetahuinya yakni Allah ta’ala.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Dr. Wahbah Zuhailiy. Ushul al-Iman wa al-Islam.