Dalam Islam, tidak diperbolehkan untuk mengikuti selain Allah dalam hal penghalalan dan pengharaman suatu hal. Bila ada yang dirujuk selain Allah dalam ketetapan halal dan haram, maka sesungguhnya rujukan selain Allah tersebut telah menjadi rabb (tuhan) mereka. Rabb di sini maksudnya adalah yang berhak untuk mensyariatkan halal dan haram. Rabb atau tuhan tersebut memang tidak disembah namun ia dianggap punya otoritas untuk menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu. Sedangkan tuhan untuk diibadahi/disembah disebut dengan ilah yaitu tuhan yang layak disembah. Maka hanya Allah lah ilah (tuhan) yang layak diibadahi/disembah dan hanya Allah lah rabb (tuhan) yang punya otoritas mensyariatkan halal atau haram terhadap sesuatu. Allah ta’ala berfirman terkait orang – orang yang menjadikan selain Allah sebagai pemegang otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
ِKatakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. QS. Ali Imran 64.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. QS at-Taubah 31.
Berdasarkan hal ini, maka permasalahan – permasalahan agama seperti ibadah serta halal dan haram, tidak diambil kecuali dari perkataan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, tidak berdasarkan perkataan seorang imam atau seorang yang faqih. Bila mereka mengambil penetapan halal dan haram tersebut dari imam – imam mereka maka telah jatuh dalam kesyirikan. Inilah yang dilarang oleh Allah ta’ala:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”. QS an-Nahl 116.
Adapun dalam hal duniawi maka hal tersebut diserahkan kepada ahlul hal wal aqdi yang akan memusyawarahkannya.
Kesimpulannya adalah, tidak ada satu orang pun yang berhak menetapkan halal haram terhadap suatu hal. Termasuk dalam hal ini juga adalah penetapan halal haram yang penetapannya tersebut dilakukan dg jalan musyawarah, karena musyawarah hanya berlaku dalam hal duniawi. Adapun dalam hal agama, maka rujukannya adalah Allah dan RasulNya atau Qur’an dan Sunnah. Bila mencari diluar Quran dan Sunnah meski dengan jalan musyawarah maka hal itu adalah kesyirikan.
Maka memusyawarahkan apakah khamr itu boleh beredar ditengah – tengah kaum muslimin ataukah tidak adalah sebuah keharaman. Memusyawarahkan apakah seorang pezina itu dihukum ataukah tidak asalkan suka sama suka adalah keharaman. Memusyawarahkan apakah riba itu diperbolehkan atau tidak adalah keharaman. Memusyawarahkan apakah undang – undang pidana berdasarkan Quran dan Sunnah ataukah berdasarkan undang – undang peninggalan Belanda adalah keharaman.
Menjadikan musywarah tersebut sebagai penentu halal dan haram atau boleh tidaknya suatu hal adalah sama saja dengan mengadakan sekutu bagi Allah ta’ala dan itu adalah kedzaliman yang besar.
Lalu bagaimanakah dengan demokrasi?
Rujukan utama: Tafsir Al-Munir Syaikh Wahbah Zuhaili.