Allah subhanahu wa ta’ala berfirman berkaitan dengan ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang:
(لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا)
“Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. An-Nisa’ : 148.
Hanad bin Sirriy mengeluarkan sebuah riwayat dari Mujahid beliau berkata: ayat berikut ini
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. QS. An-Nisa’ : 148.
diturunkan mengenai seorang laki – laki yang bertamu ke rumah seorang laki – laki Madinah dan mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Ia lalu pergi ke rumah yang lain dan menceritakan apa yang dialaminya. Maka ia diberi rukhshoh untuk menceritakan perlakuan buruk yang dialaminya. Ayat ini turun sebagai rukhshoh dalam hal pengaduan. Riwayat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Juraij.
Dalam QS. An-Nisa’ ayat 148 tersebut, Allah ta’ala akan membalas orang – orang yang berkata buruk dengan terang – terangan. Maksudnya yakni orang – orang yang menyebutkan aib – aib (hal yang memalukan, cela, kesalahan) manusia dan menyebutkan keburukan – keburukan mereka satu persatu. Hal ini karena penyebutan tersebut mengarahkan kepada permusuhan, kebencian, kemarahan serta menanamkan kedengkian di dalam jiwa dan juga buruk bagi pendengarnya. Maka hal tersebut akan menarik mereka untuk melakukan kemungkaran dan mengikuti keburukan orang yang berkata buruk serta menjatuhkan mereka dalam dosa. Karena orang yang mendengarkan keburukan bagaikan orang yang melakukannya.
Demikian juga dengan orang – orang yang berkata buruk meskipun tidak dengan terang -terangan, diharamkan dan dibalas juga atasnya. Kecuali bahwasanya QS. An-Nisa’ 148 ini secara tekstual menunjukkan kepada keadaan orang yang berkata buruk dengan terang -terangan karena keburukannya lebih besar dan kerusakannya lebih umum dan lebih serius. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman:
(إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” QS. An-Nur : 19.
Kemudian Allah ta’ala dalam QS. An-Nisa’ 148 tadi mengecualikan keadaan yang diperbolehkan untuk mengumumkan keburukan dengan perkataan yaitu dalam keadaan orang yang dizhalimi mengadukan/memprotes kezhaliman seseorang kepada hakim atau yang lainnya yang diharapkan dapat menghilangkan kezhaliman, membantunya, dan menolongnya dalam menghilangkan kezhaliman. Protes atas orang yang zhalim adalah urusan yang dianjurkan secara syar’i karena Allah tidak menyukai hambanya untuk diam terhadap kezhaliman, pasrah kepada ketidakadilan, menerima kehinaan, atau diam terhadap kehinaan.
Imam Ahmad meriwayatkan:
فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا
“Sesungguhnya pemilik hak mempunyai hak bicara.”
Syaikh Wahbah Zuhailiy menjelaskan beberapa hal terkait surat an-Nisa’ ayat 148 ini sebagai berikut:
1. Perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang dengan menyebarkan aib – aib atau kekurangan – kekurangan manusia adalah perkara munkar dan akan diberi balasan oleh Allah ta’ala.
2. Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengatakan kekurangan orang yang menzhaliminya dan menggambarkan perbuatan zhalimnya untuk diadukan kepada qadhi atau hakim agar kezhalimannya tersebut hilang. Hal ini sebagaimana halnya bolehnya berdoa bagi orang yang zhalim dan doanya orang yang dizhalimi adalah mustajab.
Al-Hakim meriwayatkan Dari Ibnu Umar, beliau berkata:
اِتَّقُوْا دَعْوَةَ المَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تَصْعُدُ إِلَى السماء كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ
“Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik ke langit bagaikan percikan api.”
At-Thabrani dan Ad-Dhiya’ meriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit:
إتّقوا دعوة المظلوم : فأنّها تحمل على الغمام يقول الله و عزّتى و جلا لى لأ نصرنّك ولوبعد حين (رواه الطبرنى )
“Takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya do’a orang yang teraniaya itu dibawa ke atas awan, lalu Allah berfirman,”Demi kemuliaan dan keagungan-Ku benar-benar Aku akan menolongmu sekalipun dalam beberapa waktu lagi.” (HR Thabrani).
Ibnu Abbas dan yang lainnya berkata:
المباح لمن ظلم أن يدعو على من ظلمه، وإن صبر فهو خير له.
“Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mendoakan (keburukan) bagi orang yang menzhaliminya, apabila ia bersabar maka hal itu lebih baik baginya.”
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “janganlah mendoakan keburukan padanya (orang yang zhalim) namun ucapkanlah:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَيْهِ، وَاسْتَخْرِجْ حَقِّي مِنْهُ
“Ya Allah, tolonglah aku terhadapnya dan kembalikanlah hak milikku darinya.”
Orang – orang yang menetapkan dzahirnya ayat tersebut mengatakan bahwa bagi orang yang dizhalimi agar mengalahkan orang yang mendzaliminya, akan tetapi dengan tidak berlebihan bagi orang zhalim yang mukmin (dan boleh mendoakan apa saja bagi orang zhalim yang kafir) sebagaimana yang diriwayatkan dari al-Hasan Al-Bashri pada riwayat yang lain. Meski demikian, tidak boleh memghadapi laknat atau fitnah dengan yang semisal.
3. Orang – orang yang mewajibkan menjamu tamu berdalil dengan ayat ini. Mereka berkata: hal ini karena dicegahnya kezhaliman dari menjamu tamu, maka hal itu menunjukkan akan wajibnya menjamu tamu. Ini adalah perkataan Al-Laits bin Sa’ad. Para jumhur berpendapat bahwa menjamu tamu termasuk dalam akhlak yang mulia.
4. Berdiri dalam menuntut hak adalah urusan yang dianjurkan secara syar’i karena Allah ta’ala berfirman:
وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. An-Nisa’ : 148.
Itu adalah peringatan bagi orang yang zhalim hingga tidak zhalim, dan bagi orang yang dizhalimi agar tidak melebihi batas dalam menang melawan si zhalim.
5. Tolong menolong dalam menghilangkan kezhaliman termasuk dalam perkara ushul dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam riwayat yang disampaikan oleh at-Thabrani dari Nu’man bin Basyir, berstatus dhaif:
خُذُوْا عَلَى أَيْدِي سُفَهَائِكُمْ
“Ambilah tangan orang-orang yang bodoh darimu.”
Nabi juga bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan At-Tirmidzi dari Anas:
انْصُرْ أَخاَكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا قَالُوا: هذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَكُفُّهُ عَنِ الظُّلْمِ.
‘Tolonglah saudaramu yang berbuat aniaya atau yang dianiaya.’ Mereka bertanya: Kami menolong orang yang dianiaya, lalu bagaimana cara kami menolong orang yang berbuat aniaya? Beliau bersabda: ‘Engkau menghalanginya dari perbuatan zalim.’
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.