Puasa pada permulaan Islam tidak seperti puasa sekarang ini yang mana perintah puasa telah tetap. Yang puasanya dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Sesungguhnya perintah puasa pada permulaan Islam adalah haram atas orang yang berpuasa untuk makan, minum, jima’, dan hal – hal lain yang membatalkan puasa dari sejak tidur atau sholat isya’ yang akhir, mana saja yang terjadi lebih dulu. Kemudian yang demikian itu dihapus dan diperbolehkan untuk makan, minum, dan jima’ hingga terbitnya fajar. Sama saja apakah telah tidur sebelumnya ataukah tidak.
Imam Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Bara’ bin ‘Azib beliau berkata:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
{ أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ }
فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ
{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ }
“Ada sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila sedang shaum lalu tiba waktu berbuka dia pergi tidur sebelum berbuka sehingga dia tidak memakan sesuatu pada malam dan siang hari hingga petang hari. Dan pada suatu ketika Qais bin Shirmah Al Anshariy ketika sedang melaksanakan shaum lalu tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya seraya berkata, kepada istrinya: “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya berkata: “Tidak, namun aku akan keluar mencari makanan buatmu”. Sedangkan dia di siang harinya bekerja sehingga ia pun mengantuk lalu tertidur. Kemudian istrinya datang. Ketika istrinya melihat dia (sedang tertidur), istrinya berkata: “Rugilah kamu”. Kemudian pada tengah harinya Qais jatuh pingsan. Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Ta’ala QS Al Baqarah ayat 197 yang artinya: (“Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isttri-isteri kalian”). Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun sambungan ayatnya: (“Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar”).
Imam Ahmad, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ فِي رَمَضَانَ إِذَا صَامَ الرَّجُلُ فَأَمْسَى فَنَامَ حَرُمَ عَلَيْهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَالنِّسَاءُ حَتَّى يُفْطِرَ مِنْ الْغَدِ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَقَدْ سَهِرَ عِنْدَهُ فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ نَامَتْ فَأَرَادَهَا فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ نِمْتُ قَالَ مَا نِمْتِ ثُمَّ وَقَعَ بِهَا وَصَنَعَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ مِثْلَ ذَلِكَ فَغَدَا عُمَرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
{ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ }
“Pada bulan Ramadhan, jika ada seorang laki-laki yang berpuasa dan memasuki waktu malam kemudian tidur, maka dia mengharamkan dirinya makanan, minuman dan wanita, sampai saat berbuka besoknya. ‘Umar bin Khattab kembali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dan dia telah bermalam di rumah beliau. Dia mendapati istrinya telah tertidur, namun dia menginginkannya. Maka (istrinya) berkata; saya telah tidur. (‘Umar Radhiyallahu ‘anhu) berkata; kenapa kau tidur? Lalu dia menggaulinya. Ka’ab juga melakukan hal yang sama, lalu pada pagi harinya ‘Umar menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakannya, lalu Allah Ta’ala menurunkan, ‘Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.”
Waktu Diwajibkannya Puasa:
Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan pada saat bulan Sya’ban tahun kedua hijrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah berpuasa Ramadhan selama sembilan tahun. Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Fiqih As-Shiyam oleh Dr. Muhammad Hasan Hitou