Taqwa dan Jihad Adalah Pondasi Kemenangan di Dunia dan Akhirat Serta Tidak Diterimanya Tebusan Bagi Orang Kafir

Tags:

Tafsir QS. Al-Ma’idah: 35-37

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ * إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لِيَفْتَدُوا بِهِ مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ* يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنْهَا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. Sesungguhnya orang-orang yang kafir, seandainya mereka memiliki segala apa yang ada di bumi dan ditambah dengan sebanyak itu (lagi) untuk menebus diri mereka dari azab pada hari Kiamat, niscaya semua (tebusan) itu tidak akan diterima dari mereka. Mereka (tetap) mendapat azab yang pedih. Mereka ingin keluar dari neraka, tetapi tidak akan dapat keluar dari sana. Dan mereka mendapat azab yang kekal.” QS. Al-Ma’idah: 35-37.

Allah ta’ala memerintahkan hamba – hambanya yang mu’min untuk bertaqwa kepada-Nya, taqwa ini bila dihubungkan dengan ketaatan kepada-Nya, maksudnya adalah menahan diri dari hal -hal yang diharamkan dan meninggalkan hal – hal yang dilarang.

Maka wahai kaum mu’minin takutlah akan kemurkaan Allah dan adzabnya dengan melaksanakan perintah – perintah-Nya dan menjauhi larangan – larangan-Nya. Mohonlah kepadanya hal – hal yang dengannya dapat mendekatkan diri kita kepada Allah yang sudah selayaknya kita memohonnya, yakni sesuatu yang menyampaikan kalian kepada keridhoan-Nya dan mendekat dengannya serta memperoleh kemenangan dengan diberi balasan di dalam surga.

Wasilah adalah sebuah tingkatan di dalam surga. Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

“Apabila kalian mendengar mu’adzdzin maka ucapkanlah seperti yang di ucapkan mu’adzin, kemudian bershalawatlah untukku, karena seseorang yang bershalawat untukku dengan satu shalawat, niscaya Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali. Mohonlah kepada Allah wasilah untukku, karena wasilah adalah kedudukan yang tinggi di surga, tidaklah layak tempat tersebut kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap aku hamba tersebut. Dan barangsiapa memintakan wasilah untukku, maka syafa’at halal untuknya.”

Maka wasilah adalah tempat yang tertinggi di surga: ia adalah tempatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan negerinya di surga. Wasilah adalah tempat di surga yang paling dekat dengan Arsy nya Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketika Allah ta’ala memerintahkan mereka untuk meninggalkan hal -hal yang diharamkan dan melaksanakan ketaatan – ketaatan, Allah memerintahkan mereka untuk memerangi musuh – musuh dari kalangan kaum kafir dan musyrikin yang keluar dari jalan yang lurus dan agama yang benar. Allah berfirman:

وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ

“Dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya” QS. Al-Ma’idah: 35.

Al-Jihad berasal dari kata al-Juhdu: yaitu kesukaran dan kelelahan. Sabilillah: yaitu jalan kebenaran, kebaikan, keutamaan, dan kebebasan bagi umat. Jihad fisabilillah mencakup jihad melawan hawa nafsu dengan menahan diri darinya dan membawanya atas keadilan dalam setiap keadaan, serta jihad melawan musuh – musuh yang melawan/menyerang dakwah Islam.

Allah ta’ala menghendaki atas mereka apa yang telah disiapkan-Nya bagi para mujahidin di jalan-Nya di hari kiamat kelak yaitu berupa kemenangan dan kebahagiaan yang agung lagi abadi. Allah berfirman:

لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Agar kamu beruntung.” QS. Al-Ma’idah: 35.

Yakni sesungguhnya jihad kalian dan pendekatan diri kalian kepada Allah dengan mentaati-Nya menjadikan kalian berhak mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Seorang muslim itu dituntut untuk senantiasa berjihad dengan berbagai macam jenisnya karena melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan itu sesuatu yang berat bagi diri pribadi.

Setelah Allah ta’ala memerintahkan kaum mu’minin untuk bertaqwa dan mensucikan diri, Allah mengabarkan apa yang disiapkannya bagi musuh – musuhnya yang kafir yaitu adzab dan siksa pada hari kiamat. Maka Allah berfirman:

…إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir…”QS. Al-Ma’idah: 36.

Yakni sesungguhnya orang – orang yang mengingkari ketuhanan rabb mereka dan mengingkari ayat – ayat-Nya yang menunjukkan akan keberadaan-Nya dan ke-Esaan-Nya, mendustakan rasul-Nya, menyembah selain-Nya dari berhala, patung, anak sapi, atau manusia, dan mereka mati dalam kondisi tidak bertaubat, apabila salah seorang mereka datang di hari kiamat dengan emas sepenuh bumi bahkan dengan berlipat ganda sekalipun untuk menebus diri dengannya dari adzab Allah yang yakin pasti sampai kepadanya, tidak diterima tebusan tersebut darinya. Bahkan ia tidak dijauhkan darinya, tidak dapat lari darinya, dan tidak dapat mengelak darinya. Oleh karena itu Allah berfirman:

وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Mereka (tetap) mendapat azab yang pedih.” QS. Al-Ma’idah: 36.

Yakni siksaan yang sangat menyakitkan bagi mereka disebabkan oleh apa yang telah mereka lakukan sebagaimana halnya kemenangan dan kebahagiaan disebabkan oleh ketaatan dan istiqamah yang terpancar dari jiwa – jiwa kemanusiaan.

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” QS. As-Syams: 9-10.

Kemudian Allah ta’ala menggambarkan bahwasanya adzab itu kekal dan bahwasanya ahli neraka itu berada di dalamnya terus menerus:

…يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ

“Mereka ingin keluar dari neraka…” QS. Al-Ma’idah: 37.

Yakni mereka berharap keluar dari tempat mereka yaitu tempat mereka mendapatkan adzab yang keras, namun mereka tidak dapat keluar darinya. Bagi mereka adzab secara terus menerus dan mereka tidak keluar darinya serta dapat menyimpang darinya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا فِيهَا وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ

“Setiap kali mereka hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasakanlah azab yang membakar ini!” QS. Al-Hajj: 22.

Maka makna firman-Nya (مُقِيمٌ) dalam QS. Al-Ma’idah ayat 37 adalah bahwasanya orang – orang kafir itu terus menerus tetap di sana tiada akhir dan tanpa batas.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يُجَاءُ بِالْكَافِرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ فَيَقُولُ نَعَمْ فَيُقَالُ لَهُ قَدْ كُنْتَ سُئِلْتَ مَا هُوَ أَيْسَرُ مِنْ ذَلِكَ

“Pada hari kiamat orang kafir didatangkan dan ditanya; ‘Bagaimana tanggapanmu sekiranya engkau mempunyai sepenuh bumi emas, apakah akan kau pergunakan untuk menebus dirimu? ‘ ‘Iya, ‘ Jawabnya. Maka kepadanya dikatakan; ‘Dahulu kamu hanya diminta sesuatu yang lebih sepele dari itu, (namun tak juga kamu kerjakan).”

Fiqih Ayat

QS. Al-Ma’idah ayat 35-37 di atas menunjukkan bahwa manusia itu terdiri atas dua golongan: golongan kaum mu’minin yang taat kepada Allah, mereka itulah orang – orang yang beruntung dan selamat di dunia dan akhirat, dan golongan orang – orang kafir yang mengingkari ketuhanan Allah dan ke-Esaan-Nya serta mendustakan rasul-Nya, mereka itulah orang – orang yang merugi secara hakiki di dunia dan di akhirat, tempat mereka adalah kekal di neraka jahanam.

Ini adalah perbedaan antara Islam dan agama – agama lainnya. Orang – orang Yahudi mereka bertumpu pada angan – angan dusta dan klaim batil bahwasanya mereka adalah anak – anak Allah dan kekasih-Nya serta bangsa Allah yang terpilih. Orang – orang Nasrani mereka berkeyakinan bahwasanya al-Masih telah menebus bagi mereka dengan dirinya dari kesalahan – kesalahan dan maksiat – maksiat. Adapun kaum muslimin mereka bertumpu pada prinsip bahwasanya asas dari kemenangan dan keselamatan di akhirat adalah mensucikan jiwa dengan keutamaan – keutamaan dan amal sholih.

Kedua golongan tersebut akan tetap abadi nanti di hari akhir, kaum mu’minin mereka kekal di surga dan orang – orang kafir mereka kekal di neraka. Yazid al-Faqir berkata: dikatakan kepada Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya kalian wahai para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: sesungguhnya ada kaum yang mereka itu keluar dari neraka, demi Allah ta’ala Dia berfirman: “tetapi mereka tidak akan dapat keluar dari sana” (QS. Al-Ma’idah: 37). Maka Jabir berkata: “Sesungguhnya kalian menjadikan yang umum menjadi khusus dan yang khusus menjadi umum. Sesungguhnya hal ini adalah berkaitan dengan orang kafir secara khusus, maka bacalah ayat itu seluruhnya dari awalnya hingga akhirnya. Jika demikian, maka ayat itu adalah berkaitan dengan orang – orang kafir secara khusus.” (Tafsir al-Qurthubi).

Ar-Razi berkata berkaitan dengan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya” QS. Al-Ma’idah: 35.

Ayat ini adalah ayat yang mulia yang mengandung rahasia – rahasia ruhaniyah, kami rujuk di sini kepada salah satu darinya yaitu bahwasanya orang yang beribadah kepada Allah ta’ala ada dua golongan: di antara mereka adalah orang – orang yang beribadah kepada Allah bukan untuk tujuan selain Allah, dan di antara mereka adalah orang -orang yang beribadah kepada-Nya untuk tujuan yang lainnya.

Maqom yang pertama: adalah maqom yang mulia dan tinggi, kepada maqom inilah diisyaratkan dengan firman-Nya: “dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya” yakni di jalan ibadah kepada-Nya dan jalan ikhlas dalam mengenal-Nya serta berkhidmat kepada-Nya.

Maqom yang kedua: di bawah maqom yang pertama, kepada maqom ini diisyaratkan dengan firman-Nya: “agar kamu beruntung”. Al-falah adalah kata yang menggabungkan keselamatan dari hal yang dibenci dan kemenangan dengan hal yang dicintai.

Adapun firman-Nya:

وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

“dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya” QS. Al-Ma’idah: 35.

Sebagian manusia berdalil dengan ayat tersebut atas disyariatkannya istighotsah (meminta tolong) atau bertawasul dengan orang – orang sholih. Mereka menjadikannya wasilah atau jalan antara Allah ta’ala dengan hambanya.

Penelitian pendapat yang dapat dijadikan pegangan dalam hal tawasul ini adalah apa yang ada dalam tafsir al-Alusi:

Pertama: tawasul dengan makna taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaatinya dan melaksanakan apa saja yang diridhainya. Inilah maksud dari ayat: “dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya”, ia adalah asasnya agama dan kewajiban dalam agama Islam.

Berpijak pada hal ini, bertawasullah tiga orang yang terperangkap dalam gua yang tertutup dengan batu, sesungguhnya mereka bertawasul kepada Allah azza wa jalla dengan amal – amal sholih yakni mereka memohon kelapangan dengan amal – amal sholih mereka. Tidak diragukan lagi bahwa amal – amal sholih adalah sebab bagi balasan Allah ta’ala kepada kita. Mereka tidak bertawasul dengan orang -orang yang ada.

Kedua: bertawasul dengan makhluk dan istighotsah (memohon bantuan) dengannya dengan makna meminta doa darinya. Tidak ada keraguan akan bolehnya hal ini bila yang dimintai doa tersebut adalah masih hidup. Merupakan hal yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau meminta izin untuk umroh:

أَيْ أُخَيَّ أَشْرِكْنَا فِي دُعَائِكَ وَلَا تَنْسَنَا

“Wahai saudaraku, ikutkan kami dalam doamu, dan jangan lupakan kami!” HR. At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hadits hasan shahih.

Dalam riwayat Abu Dawud:

لَا تَنْسَنَا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ

“Wahai saudaraku, janganlah kamu lupakan Kami dalam doamu!” HR. Abu Dawud.

Disamping itu, beliau shallallahu ‘alaihi juga memerintahkan Umar radhiyallahu ‘anhu meminta Uwais al-Qorni rahimahullah agar memohonkan ampunan baginya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan umatnya untuk meminta wasilah baginya sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya:

فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

“Dan barangsiapa memintakan wasilah untukku, maka syafa’at halal untuknya.”

Telah tetap juga bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu berdoa di dalam sholat istisqo’:

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan (wasilah) Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami.”

Yakni dengan doanya dan syafaatnya, tidak dengan dzat diri nabi.

Adapun bila yang dimintai doa adalah orang yang telah meninggal atau ghaib maka tidak diperbolehkan, al-Alusi berkata: para alim (ulama’) tidak ragu bahwasanya hal itu tidak dibolehkan dan bahwasanya itu adalah termasuk bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan salaf. Benar bahwa mengucapkan salam kepada para penghuni kubur adalah disyariatkan dan berbicara kepada mereka adalah dibolehkan, telah shahih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan para sahabatnya untuk mengucapkan doa berikut bila mereka ziarah kubur:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلَاحِقُونَ

“Semoga keselamatan tercurah bagi kalian penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan kami insya Allah akan menyusul kalian semua.” HR. Muslim.

وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ

“Dan semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang kemudian.” HR. Muslim.

أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ

“Saya memohon kepada Allah bagi kami dan bagi kalian Al ‘Afiyah (keselamatan).” HR. Muslim.

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ

“Ya Allah, janganlah engkau haramkan kami dari pahala mereka dan jangan timpakan fitnah kepada kami setelah mereka.” HR. Ibnu Majah.

Tidak ada pernyataan dari salah seorang sahabatpun radhiyallahu ‘anhum bahwasanya mereka meminta sesuatu dari mayyit.

Ketiga: bersumpah atas nama Allah ta’ala dengan salah seorang makhluknya, misalnya saja dengan berkata: “Ya Allah sesugguhnya aku bersumpah atas mu atau aku memohon kepadaMu dengan Fulan apa saja yang Engkau tetapkan bagiku hajatku.”

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam membolehkan yang demikian itu bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau adalah sayyid (tuan) keturunan anak Adam dan tidak diperbolehkan bersumpah kepada Allah ta’ala dengan selainnya dari kalangan para nabi, malaikat, dan para wali karena mereka tidak berada dalam derajatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi beliau berkata: hadits hasan shahih dari Utsman bin Hunaif radhiyallahu ta’ala ‘anhu:

أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“Bahwa seorang laki-laki yang buta matanya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku.” beliau bersabda: “jika kamu berkehendak maka saya akan mendo’akanmu, dan jika kamu berkehendak maka bersabarlah, karena hal itu lebih baik bagimu.” laki-laki tersebut berkata; “berdo`alah (kepada Allah untukku).” Utsman bin Hunaif berkata; “Lalu beliau memerintahkannya untuk berwudhu, kemudian ia pun membaguskan wudhunya dan berdo’a dengan do’a berikut ini, “Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu, menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu Muhammad, nabi yang diutus dengan membawa rahmat.” (laki-laki itu berkata); “Aku telah menghadap denganmu kepada Rab-ku untuk memenuhi kebutuhanku.” (Sabda beliau): “Ya Allah! Terimalah syafa’atnya untukku.”

Dinukil juga dari Ahmad yang semisal dengan itu.

Yang benar, tidaklah penunjukkan dalam hadits tersebut mengarah kepada tawassul dengan dzat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pribadinya, sesungguhnya ia bertawassul dengan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan syafaatnya.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf rahimahumallah mencegah tawassul dengan dzat dan bersumpah atas Allah ta’ala dengan salah seorang makhluk-Nya. Ini adalah pendapatnya Ibnu Taimiyah rahimahullah. Hadits tersebut menyebutkan dihapuskannya mudhof (isim tempat sandaran isim lainnya) yakni doa dan syafaatnya Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh doa tersebut telah dijadikan sebagai wasilah, dan hal ini adalah diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Dalil atas perkiraan ini adalah sabdanya di akhir hadits:

اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“Ya Allah! Terimalah permohonan syafaatnya untukku.”

Bahkan di awal haditsnya juga menunjukkan atas yang demikian itu.

Tidak ada juga mengenai tawassul dengan dzatnya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doa – doa yang diriwayatkan dari Ahli Bait yang suci dan yang selainnya dari kalangan para imam. Apabila ada yang menetapkan secara zhahir atas yang demikian itu maka ditakwil atau dialihkan dengan perkiraan adanya mudhof atau yang semisalnya.

Abu Yazid al-Busthomi rahimahullah berkata: istighotsahnya (permintaan tolongnya) makhluk dengan makhluk seperti permintaan tolongnya orang yang ditahan dengan orang yang ditahan.

Para ulama’ memakruhkan doa bihaqqi kholqika (dengan haknya ciptaan-Mu) karena tidak ada hak atas ciptaan atas penciptanya.

Sebagai ringkasan: sesungguhnya doa kepada Allah ta’ala dapat dilakukan secara langsung tanpa perantara karena Allah ta’ala tidak butuh kepada perantara sebagaimana yang terdapat dalam nash – nash Qur’an yang qath’i (pasti) penunjukkannya yaitu firman-Nya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” QS. Ghafir: 60.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” QS. Al-Baqarah: 186.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” QS. Al-Fatihah: 5.

At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dan beliau berkata bahwa hadits ini hadits hasan shahih, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Jagalah Allah niscaya Ia menjagamu, jagalah Allah niscaya kau menemui-Nya dihadapanmu, bila kau meminta, mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah.”

Hadits ini, setelah nash ayat – ayat di atas yang sangat jelas, menetapkan atau mewajibkan meminta tolong hanya dengan Allah ta’ala saja, tanpa selainNya.

Adapun dua ayat dalam QS. Al-Ma’idah ayat 36-37 menyebutkan dua jenis ancaman:

Pertama: tidak mungkin diterimanya tebusan dari orang kafir pada hari kiamat dan tetapnya hak mereka untuk mendapatkan adzab yang pedih.

Kedua: mereka berangan – angan untuk dapat keluar dari adzab neraka dan pastinya mereka mendapatkan adzab yang terus menerus yang tidak ada akhirnya dan tidak terbatas. Setiap kali nyala api neraka mengangkat mereka kepada bagian neraka yang paling tinggi, malaikat Zabaniyah memukul mereka dengan cambuk – cambuk besi, sehingga mereka kembali terbenam di dasar neraka.

Sebagian ulama’ berdalil dengan ayat ini bahwa Allah ta’ala mengeluarkan dari neraka siapa saja yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas. Hal ini karena Allah ta’ala menjadikan kondisi terus menerus di neraka sebagai bagian dari ancaman terhadap orang – orang kafir dan ragam ancaman yang keras yang menjadikan mereka takut dengannya. Bila tanpa makna ini yang khusus bagi orang – orang kafir, maka tidak ada maknanya pengkhususan bagi orang – orang kafir dalam ayat tersebut.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *