Tahapan Kedua: Dakwah Secara Terang – Terangan

Pertama Kali Menampakkan Dakwah

Wahyu pertama yang turun dalam masalah ini adalah firman Allah,

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat.” (Asy Syu’ara’: 214)
Permulaan surat Asy-Syu’ara` yang memuat ayat ini menyebutkan kisah Musa ‘alaihi wasallam dari permulaan nubuwah hingga hijrah beliau bersama Bani Israel, hingga mereka selamat dari Fir’aun dan kaumnya yang berkesudahan tenggelamnya Fir’aun dan para pengikutnya. Kisah ini memuat tahapan-tahapan yang dilalui Musa selama menyeru Fir’aun dan kaumnya kepada Allah.

Rincian tahapan-tahapan dakwah Musa ini perlu disampaikan saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru kaumnya kepada Allah agar beliau dan sahabatnya memperoleh sedikit gambaran yang bakal dihadapi, yaitu berupa pendustaan dan tekanan selagi mereka sudah menampakkan dakwah. Dengan begitu mereka bisa menyadari urusan sejak permulaan dakwah.

Di sisi lain, surat ini juga memuat kesudahan yang dialami orang-orang yang mendustakan para rasul, dari kaum Nuh, Ad, Tsamud, Ibrahim, Luth, dan Ashhabul Aikah, dengan menitikberatkan penyebutan kisah tentang Fir’aun dan kaumnya, agar orang-orang yang mendustakan mengetahui hukuman yang bakal diturunkan Allah jika mereka tetap mendustakan, dan agar orang-orang yang beriman juga mengetahui kesudahan yang baik bagi mereka, yang tidak akan didapatkan orang-orang yang mendustakan nubuwah.

Menyeru Kerabat-kerabat Dekat

Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah turun ayat di atas ialah mengundang Bani Hasyim. Mereka memenuhi undangan ini, yaitu beberapa orang dari Bani Al-Muththalib bin Abdi Manaf, yang jumlahnya ada 45 orang. Sebelum beliau berbicara, Abu Lahab sudah mendahului angkat bicara, “Mereka yang hadir di sini adalah paman-pamanmu sendiri dan anak anaknya. Maka bicaralah jika ingin berbicara dan tidak perlu bersikap kekanak kanakan. Ketahuilah bahwa tidak ada orang Arab yang berani mengernyitkan dahi terhadap kaummu. Dengan begitu aku berhak menghukummu. Biarkanlah urusan bani bapakmu. Jika engkau tetap bertahan pada urusanmu ini, maka itu lebih mudah bagi mereka daripada seluruh kabilah Quraisy menerkammu dan semua bangsa Arab ikut campur tangan. Engkau tidak pernah melihat seorang pun dari bani bapaknya yang pernah berbuat macam-macam seperti engkau perbuat saat ini.”
Rasulullah hanya diam dan sama sekali tidak berbicara dalam pertemuan itu.

Kemudian beliau mengundang mereka untuk yang kedua kalinya, dan dalam pertemuan itu beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah dan aku memuji-Nya, memohon pertolongan, percaya dan tawakal kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya.” Kemudian beliau melanjutkan lagi, “Sesungguhnya seorang pemandu itu tidak akan mendustakan keluarganya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian secara khusus dan kepada manusia secara umum. Demi Allah, kalian benar-benar akan mati layaknya sedang tidur nyenyak dan akan dibangkitkan lagi layaknya bangun tidur. Kalian benar-benar akan dihisab terhadap apapun yang kalian perbuat, lalu di sana ada surga yang abadi dan neraka yang abadi pula.”

Abu Thalib berkata, “Kami tidak suka menolongmu, menjadi penasihatmu dan membenarkan perkataanmu. Orang-orang yang menjadi Bani bapakmu ini sudah bersepakat. Aku hanyalah segelintir orang di antara mereka. Namun akulah orang yang pertama kali mendukung apa yang engkau sukai. Maka lanjutkanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Demi Allah, aku senantiasa akan menjaga dan melindungimu, namun aku tidak mempunyai pilihan lain untuk meninggalkan agama Bani Abdul Muththalib.”

Abu Lahab berkata, “Demi Allah, ini adalah kabar buruk. Ambillah tindakan terhadap dirinya sebelum orang lain yang melakukannya.”

Abu Thalib menimpali, ”Demi Allah kami tetap akan melindungi selagi kami masih hidup.”

Di Atas Bukit Shafa

Setelah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa yakin terhadap janji Abu Thalib untuk melindungi dalam menyampaikan wahyu dari Allah, maka suatu hari beliau berdiri di atas Shafa, lalu berseru, “Wahai semua orang!” Maka semua suku Quraisy berkumpul memenuhi seruan beliau, lalu beliau mengajak mereka kepada tauhid dan iman kepada risalah beliau serta iman kepada Hari Akhirat.

Al-Bukhari telah meriwayatkan sebagian dari kisah ini, dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Tatkala turun ayat, “Dan, berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu yang dekat”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke Shafa, lalu berseru, ‘Wahai Bani Fihr, wahai Bani Adi!’ yang ditunjukan kepada semua suku Quraisy, hingga mereka berkumpul semua. Jika ada seseorang berhalangan hadir, maka dia mengirim utusan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Abu Lahab berserta para pemuka Quraisy juga ikut datang.

Beliau melanjutkan, “Apa pendapat kalian jika kukabarkan bahwa di lembah ini ada pasukan kuda yang mengepung kalian, apakah kalian percaya kepadaku?”

“Benar,” jawab mereka, ”kami tidak pernah mempunyai pengalaman bersama engkau kecuali kejujuran.”

Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku memberi peringatan kepada kalian sebeluam datangnya adzab yang pedih.”

Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau untuk selama-lamanya. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”

Lalu turun ayat, “Celakalah kedua tangan Abu Lahab”.

Muslim meriwayatkan bagian lain dari kisah ini dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Tatkala turun ayat, ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat’, beliau menyeru secara umum maupun khusus, lalu bersabda, ’Wahai semua orang Quraisy, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka’b, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak bisa berbuat apa pun terhadap diri kalian di hadapan Allah kecuali jika kalian mempunyai kerabat dekat, sehingga aku bisa membasahinya menurut kebasahannya.”

Seruan yang melingking tinggi inilah yang menjadi tujuan penyampaian dakwah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjelaskan kepada orang-orang yang dekat dengan beliau, bahwa pembenaran terhadap risalah beliau merupakan inti hubungan antara diri beliau dan mereka. Fanatisme kekerabatan yang selama itu dipegang erat bangsa Arab menjadi mencair dalam kehangatan peringatan yang datang dari sisi Allah ini.

Menyampaikan Kebenaran Secara Terang-terangan dan Menentang Tindakan Orang-orang Musyrik

Seruan beliau terus bergema di seantero Makkah, hingga kemudian turun ayat,

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Al-Hijr: 94)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung bangkit menyerang berbagai khufarat dan kebohongan syirik, menyebutkan kedudukan berhala dan hakikatnya yang sama sekali tidak memiliki nilai. Ketidakberdayaan berhala-berhala itu beliau gambarkan dengan beberapa contoh perumpamaan, disertai penjelasan – penjelasan bahwa siapa yang menyembah berhala dan menjadikannya sebagai wasilah antara dirinya dan Allah, berada dalam kesesatan yang nyata.

Makkah berpijar dengan api kemarahan, bergolak dengan keanehan dan pengingkaran, tatkala mereka mendengar suara yang memperlihatkan kesesatan orang-orang musyrik dan para penyembah berhala. Suara itu seakan-akan petir yang membelah awan, berkilau, menggelegar, dan mengguncang udara yang tadinya tenang. Orang-orang Quraisy bangkit untuk menghadang revolusi yang datang secara tak terduga ini, dan yang dikhawatirkan akan merusak tradisi warisan mereka.

Mereka bangkit karena menyadari bahwa makna iman yang beliau serukan adalah penafian terhadap uluhiyah selain Allah, bahwa makna iman kepada risalah dan Hari Akhirat adalah ketundukan dan kepasrahan secara total, sehingga mereka tidak lagi mempunyai pilihan terhadap diri dan harta mereka, terlebih lagi terhadap orang lain. Dengan kata lain, iman itu akan melumatkan kepemimpinan dan keunggulan mereka di atas semua bangsa Arab, yang sebelum itu juga menggunakan label agama. Dengan kata lain, mereka harus menetapkan keridhaan sesuai dengan keridhaan Allah dan Rasul-Nya, harus menghentikan berbagai bentuk kezhaliman yang sebelum itu biasa mereka lakukan untuk menindas rakyat awam, begitu pula berbagai macam keburukan yang selalu mereka lakukan, pagi maupun sore.

Mereka menangkap makna seperti itu, karena jiwa mereka tidak bisa menerima “Kedudukan yang hina”, yang tidak mencerminkan kehormatan dan kebaikan.

“Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.” (Al Qiyamah:5)

Mereka menyadari semua itu. Tapi apa yang bisa mereka perbuat menghadapi orang yang jujur dan dapat dipercaya ini, menghadapi gambaran tertinggi dari nilai kemanusiaan dan akhlak yang mulia? Sepanjang sejarah nenek moyang dan perjalanan berbagai kaum, mereka tidak pernah mengetahui bandingan yang seperti itu. Apa yang hendak mereka lakukan? Mereka benar benar bingung dan memang layak untuk bingung.

Quraisy Mengirim Utusan kepada Abu Thalib

Setelah menguras pikiran, tidak ada jalan keluar lain bagi mereka kecuali mendatangi paman beliau, Abu Thalib. Mereka meminta kepadanya agar menghentikan segala apa pun yang dilakukan anak saudaranya. Untuk menguatkan permintaan ini, mereka menggunakan selubung nenek moyang dan hakikat, dengan berkata, ”Adanya ajakan untuk meninggalkan sesembahan mereka dan pernyataan bahwa sesembahan itu tidak bisa memberi manfaat dan tidak mampu berbuat apa-apa, merupakan pembodohan dan penyesatan terhadap nenek moyang mereka, yang sejak dahulu mereka sudah berada pada agama ini.” Mereka merasa mendapatkan jalan ini. Oleh karena itu mereka langsung melaksanakannya.

Ibnu Ishaq menuturkan, beberapa pemuka Quraisy pergi ke tempat Abu Thalib, lalu berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mencaci maki sesembahan kami, mencela agama kami, membodohkan harapan-harapan kami dan menyesatkan nenek moyang kami. Engkau boleh mencegahnya agar tidak mengganggu kami, atau biarkan antara dia dan kami, toh engkau juga seperti kami, marilah menentangnya sehingga kita bisa mencegahnya.”

Dengan perkataan yang halus dan penolakan yang lembut Abu Thalib menolak permintaan mereka. Maka mereka pun pulang dengan tangan hampa, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa melanjutkan dakwah, menampakkan agama Allah dan menyeru kepadanya.

Membuat Kesepakatan Bersama Melarang Orang-orang yang Menunaikan Haji untuk Mendengarkan Dakwah

Selama masa-masa itu orang-orang Quraisy juga disibukkan urusan lain, yaitu semakin dekatnya jarak antara dakwah secara terang-terangan dengan musim haji. Mereka menyadari bahwa berbagai utusan dari seluruh Jazirah Arab akan mendatangi mereka. Oleh karena itu mereka berpendapat untuk mengeluarkan satu pernyataan resmi yang disampaikan kepada bangsa Arab tentang status Muhammad, agar dakwah beliau tidak meninggalkan pengaruh di dalam jiwa mereka. Mereka pun berkumpul di tempat Al-Walid bin Al Mughirah, memperbincangkan masalah ini.

Al-Walid berkata, “Ambil satu kesimpulan tentang masalah ini, dan jangan sampai kalian saling berbeda pendapat, sehingga sebagian di antara kalian mendustakan sebagian yang lain, sebagian menyanggah sebagian yang lain.”

“Pendapatmu sendiri bagaimana?” tanya mereka.

“Sampaikan dulu pendapat kalian, biar aku mendengarnya,” kata Al-Walid.

“Kita katakan saja bahwa dia adalah seorang dukun.”

“Tidak, demi Allah, dia bukanlah seorang dukun,” jawab Al-Walid, “toh kita pernah melihat para dukun. Dia sama sekali tidak menggunakan sajak dan mantera seperti dukun.”

“Kita katakan saja, dia orang sinting,” kata mereka.

“Dia bukanlah orang sinting,” kata Al-Walid, ”toh kita sudah melihat orang-orang sinting dan mengetahuinya. Dia tidak menangis tersedu-sedu, tidak bertindak sekenanya dan tidak berbisik-bisik layaknya orang sinting.”

“Kita katakan saja, dia seorang penyair,” kata mereka. “Dia bukan penyair,” kata Al-Walid, ”kita sudah mengetahui seluruh bentuk syair, yang rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh, maupun mabsuth. Apa yang disampaikannya itu bukanlah termasuk syair.”

“Kita katakan saja, dia seorang penyihir,” kata mereka. “Dia bukanlah seorang penyihir,” kata Al-Walid, “kita sudah melihat para penyihir dan mengetahui sihir mereka. Dia tidak berkomat-kamit dan tidak membuat buhul tali layaknya penyihir.’

“Kalau begitu apa yang harus kita katakan?” Mereka bertanya.

Al-Walid menjawab, “Demi Allah, perkataannya benar-benar manis, pangkalnya benar-benar cerdik, dan cabangnya benar-benar matang. Tidaklah kalian mengucapkan sedikit saja dari perkataan tersebut melainkan dia mengetahui bahwa itu bukanlah hal yang batil. Namun sebutan yang paling mirip untuk dia, hendaklah kalian mengatakan sebagai penyihir. Dia datang membawa suatu perkataan menyerupai sihir yang bisa memisahkan antara seseorang dengan bapaknya, seseorang dengan saudaranya, seseorang dengan istrinya, seseorang dengan kerabat dekatnya, sehingga kalian terpecah belah karenanya.”

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa tatkala Al-Walid menolak sebutan yang mereka tawarkan, maka mereka berkata,”Kalau begitu sampaikan pendapatmu yang tak bisa dibantah lagi.”

“Beri aku waktu barang sejenak untuk memikirkan hal ini,” kata Al Walid, yang kemudian diam berpikir dan terus berpikir, hingga akhirnya dia menyampaikan pendapatnya seperti yang disebutkan di atas.

Tentang apa yang dilakukan Al-Walid ini, Allah telah menurunkan enam belas ayat di dalam surat Al-Muddatstsir, dari ayat 11 hingga 26, di antaranya disebutkan tentang bagaimana dia memeras pikirannya,

إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ * فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ * ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ * ثُمَّ نَظَرَ * ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ * ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ * فَقَالَ إِنْ هَٰذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ * إِنْ هَٰذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia’.” (Al-Muddatstsir: 18-25)

Setelah semua orang yang hadir dalam pertemuan menyepakati ketetapan itu, maka mereka memutuskan untuk melaksanakannya. Untuk itu mereka duduk di pinggir-pinggir jalan yang dilalui manusia tatkala datang, sehingga tak seorang pun yang lewat melainkan mendapat peringatan tentang diri Muhammad dan mereka juga menyebutkan keadaannya.

Yang memelopori pelaksanaan ini adalah Abu Lahab. Ketika musim haji benar-benar sudah tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi manusia di tempat tinggal mereka, di pasar Ukazh, Majannah, dan Dzil-Majaz, menyeru mereka kepada Allah. Sementara itu, Abu Lahab menguntit di belakang beliau, sambil berkata, “Janganlah kalian mematuhinya, karena dia orang yang keluar dari agama dan seorang pendusta.” Akibatnya, pada musim itu orang-orang Arab pulang ke tempat masing masing dengan membawa urusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nama beliau tersebar di seluruh penjuru Arab.

Rujukan:
Sirah Nabawiyah/Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri; Penerjemah: Kathur Suhardi; Penyunting: Yasir Maqosid; cet. 1–Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *