Surat ini adalah surat Makkiyah
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ أَرَءَیۡتَ ٱلَّذِی یُكَذِّبُ بِٱلدِّینِ * فَذَ ٰلِكَ ٱلَّذِی یَدُعُّ ٱلۡیَتِیمَ * وَلَا یَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ * فَوَیۡلࣱ لِّلۡمُصَلِّینَ * ٱلَّذِینَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ * ٱلَّذِینَ هُمۡ یُرَاۤءُونَ * وَیَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya’, dan enggan (memberikan) bantuan.” QS. Al-Ma’un: 1-7.
Allah ta’ala berfirman yang artinya: {Tahukah kamu} wahai Muhammad {(orang) yang mendustakan agama?} Yaitu mendustakan kehidupan akhirat dan hari pembalasan. {Maka itulah orang yang menghardik anak yatim} yaitu orang yang menguasai anak yatim namun tidak memberinya makan dan tidak memperlakukannya dengan baik.
وَلَا یَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ
“Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin”. QS. Al-Ma’un: 3.
Sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَحَـٰۤضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ
“Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”. QS. Al-Fajr: 18.
Kemudian Allah ta’ala berfirman:
فَوَیۡلࣱ لِّلۡمُصَلِّینَ * ٱلَّذِینَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ
Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. QS. Al-Ma’un: 4-5.
Ibnu ‘Abbas berkata: yakni orang – orang munafik yang sholat ketika di depan umum namun tidak sholat ketika sendirian. Oleh karena inilah Allah berfirman لِّلۡمُصَلِّینَ (bagi orang yang sholat) yaitu orang – orang yang termasuk ahli sholat. Kemudian mereka lalai darinya baik itu dari mengerjakan keseluruhannya atau mengerjakan di luar waktunya.
‘Atho’ bin Dinar berkata: segala puji bagi Allah yang berfirman: “lalai terhadap sholatnya” dan tidak mengatakan “lalai dalam sholatnya”, mereka mengakhirkannya hingga akhir waktunya atau tidak mengerjakannya dengan rukun – rukunnya, syarat – syaratnya, khusyu’ di dalamnya, dan mentadaburi makna – maknanya. Lafadz “lalai terhadap sholatnya” mencakup semuanya itu sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Al ‘Ala` bin Abdurrahman:
أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ فِي دَارِهِ بِالْبَصْرَةِ حِينَ انْصَرَفَ مِنْ الظُّهْرِ وَدَارُهُ بِجَنْبِ الْمَسْجِدِ فَلَمَّا دَخَلْنَا عَلَيْهِ قَالَ أَصَلَّيْتُمْ الْعَصْرَ فَقُلْنَا لَهُ إِنَّمَا انْصَرَفْنَا السَّاعَةَ مِنْ الظُّهْرِ قَالَ فَصَلُّوا الْعَصْرَ فَقُمْنَا فَصَلَّيْنَا فَلَمَّا انْصَرَفْنَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
“Bahwa ia pernah menemui Anas bin Malik di rumahnya di Bashrah, yaitu ketika selesai shalat zhuhur, sementara rumahnya berada disamping masjid. Ketika kami menemuinya, dia bertanya; “Apakah kalian sudah shalat ashar?” Kami jawab; “Baru saja kami tinggalkan waktu shalat zhuhur.” Kata Anas; “Lakukanlah shalat ‘Ashar.” Maka kami pun mengerjakan shalat ashar. Ketika kami selesai mengerjakan shalat Ashar, aku mendengar dia mengatakan; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ashar itulah shalat (yang biasanya ditelantarkan) orang munafik, ia duduk mengamat-amati matahari, jika matahari telah berada diantara dua tanduk setan, ia melakukannya dan ia mematuk empat kali (Rasul pergunakan istilah mematuk, untuk menyatakan sedemikian cepatnya, bagaikan ayam jago mematuk makanan -pent) ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” HR. Muslim.
Orang munafik itu mengakhirkan sholat Ashar yang merupakan sholat wustho – sebagaimana telah disebutkan – hingga ke akhir waktunya yaitu waktu yang makruh. Kemudian ia berdiri untuk menunaikannya dengan mematuk – matuk sebagaimana burung gagak mematuk. Ia tidak tuma’ninah / tenang dan tidak khusyu’ dalam sholatnya tersebut. Oleh karena inilah Rasulullah menyebutkan: “ia tidak mengingat Allah dalam sholatnya kecuali sedikit sekali”. Ia juga menunaikannya dengan berpura – pura agar terlihat oleh manusia tidak untuk mengharap Allah semata. Maka ia seolah – olah tidak melaksanakannya sama sekali. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ یُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَـٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوۤا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ یُرَاۤءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِیلࣰا
“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” QS. An-Nisa’: 142.
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Ma’un ini:
ٱلَّذِینَ هُمۡ یُرَاۤءُونَ
“yang berbuat riya’.” QS. Al-Ma’un: 6.
At-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
إِنَّ فِي جَهَنَّمَ لَوَادِيًا تَسْتَعِيذُ جَهَنَّمُ مِنْ ذَلِكَ الْوَادِي فِي كُلِّ يَوْمٍ أَرْبَعَمِائَةِ مَرَّةٍ، أُعِدَّ ذَلِكَ الْوَادِيَ لِلْمُرَائِينَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ: لِحَامِلِ كِتَابِ اللَّهِ. وَلِلْمُصَّدِّقِ فِي غَيْرِ ذَاتِ اللَّهِ، وَلِلْحَاجِّ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ، وَلِلْخَارِجِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam benar-benar terdapat sebuah lembah yang neraka Jahanam sendiri meminta perlindungan kepada Allah dari (keganasan) lembah itu setiap harinya sebanyak empat ratus kali. Lembah itu disediakan bagi orang-orang yang riya’ dari kalangan umat Muhammad yang hafal Kitabullah dan suka bersedekah, tetapi bukan karena Zat Allah, dan juga bagi orang yang berhaji ke Baitullah dan orang yang keluar untuk berjihad (tetapi bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amru bin Murrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ سَامِعَ خَلْقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَحَقَّرَهُ وَصَغَّرَهُ
“Barangsiapa yang dengan amalannya ia ingin didengar manusia, maka Allah akan memperdengarkannya kepada para pendengar dari hamba-Nya di hari kiamat, dan Dia akan mengkerdilkan dan meremehkannya.” HR. Ahmad.
Hal yang berkaitan dengan firman Allah ta’ala ini:
ٱلَّذِینَ هُمۡ یُرَاۤءُونَ
“yang berbuat riya’.” QS. Al-Ma’un: 6.
Bahwasanya orang yang melaksanakan suatu amalan karena Allah ta’ala saja kemudian manusia melihatnya sehingga yang demikian itu mengagumkannya, maka hal ini tidak dianggap sebagai riya’ berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كُنْتُ أَصَلِّي، فَدَخَلَ عَلَيَّ رَجُلٌ، فَأَعْجَبَنِي ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ: “كُتِبَ لَكَ أَجْرَانِ: أَجْرُ السِّرِّ، وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ”
“Ketika aku sedang salat, tiba-tiba masuklah seorang lelaki menemuiku, maka aku merasa kagum dengan hal itu. Lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda: Dicatatkan bagimu dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan. (HR. Abu Ya’la).
Dalam riwayat Abu Ya’la dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga beliau berkata:
قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الرَّجُلُ يَعْمَلُ الْعَمَلَ يَسُرُّه، فَإِذَا اطُّلعَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “لَهُ أَجْرَانِ: أَجْرُ السر وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ”
“Pernah seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, seorang lelaki melakukan suatu amal kebaikan yang ia sembunyikan. Ketika ada yang melihatnya, ia kagum.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Dia mendapat dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan. (HR. At-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
Sebagian ulama menafsirkan hadits tersebut bahwa takjubnya ia karena amalnya diketahui oleh orang lain adalah sebuah harapan terhadap orang yang melihatnya agar melakukan seperti yang dia lakukan sehingga dia mendapatkan juga pahala mereka.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash beliau berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai:
ٱلَّذِینَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ
“(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya”. QS. Al-Ma’un: 5.
Beliau menjawab:
هُمُ الَّذِينَ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا
“Mereka adalah orang – orang yang mengakhirkan sholat dari waktunya”. (HR. Ibnu Jarir at-Thabari).
Mengakhirkan sholat dari waktunya dapat diartikan meninggalkan sholat seluruhnya, melaksanakannya setelah waktu syar’inya, atau mengakhirkannya dari awal waktunya kemudian lalai hingga hilang waktunya.
Firman-Nya ta’ala:
وَیَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ
“dan enggan (memberikan) bantuan.” QS. Al-Ma’un: 7.
Yakni mereka tidak baik dalam beribadah kepada Rabb mereka dan tidak berbuat baik kepada makhluk – makhlukNya. Hingga tidak pula memperkenankan dipinjam sesuatunya yang bermanfaat dan tidak mau menolong orang lain dengannya, padahal barangnya masih utuh; setelah selesai, dikembalikan lagi kepada mereka. Dan orang-orang yang bersifat demikian benar-benar lebih menolak untuk menunaikan zakat dan berbagai macam amal kebajikan.
Mujahid berkata (ٱلۡمَاعُونَ) adalah zakat.
Hasan al-Bashri berkata: bila sholat maka ia riya’, jika terlewat dari sholat ia tidak menyesal darinya, dan ia menahan zakat hartanya. Dalam sebuah lafadz: menahan sedekah hartanya.
Zaid bin Aslam berkata: mereka adalah kaum munafik, karena sholat adalah hal yang tampak maka mereka melaksanakannya, sedangkan zakat adalah hal yang tersembunyi maka mereka menahannya.
Ibnu Mas’ud ditanya mengenai al-Ma’un (الْمَاعُون), beliau menjawab: al-Ma’un adalah apa saja yang biasa digunakan manusia di antara mereka yaitu kapak, periuk, dan ember serta yang serupa dengan itu.
Ibnu Jarir berkata dari ‘Abdullah beliau berkata:
كُنَّا أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ نَتَحَدَّثُ أَنَّ الْمَاعُونَ الدَّلْوُ، وَالْفَأْسُ، وَالْقِدْرُ، لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُنَّ.
“Bahwa dahulu kami para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam membicarakan makna al-ma’un, bahwa yang dimaksud adalah ember, kapak, dan periuk yang biasa digunakan.”
Lafadz an-Nasa’i dari Abdullah beliau berkata:
كُلٌّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ، وَكُنَّا نَعُدُّ الْمَاعُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عاريَّة الدَّلْوِ وَالْقِدْرِ.
“Setiap yang ma’ruf adalah sedekah, kami menganggap bahwa al-Ma’un di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ember dan periuk.
Dari Ibnu ‘Abbas:
وَیَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ
“dan enggan (memberikan) bantuan.” QS. Al-Ma’un: 7.
Yakni barang – barang rumah tangga.
Demikian pula Mujahid dan an-Nakha’i mengatakan bahwasanya al-Ma’un adalah barang -barang.
Sungguh manusia telah berbeda pendapat dalam hal ini, di antara mereka ada yang mengatakan: “menahan zakat”, di antara mereka ada yang mengatakan: “menahan ketaatan”, dan di antara mereka ada yang mengatakan: “menahan barang – barang”.
Dari ‘Ali: al-Ma’un adalah menahan kapak, periuk, dan ember dari digunakan manusia.
‘Ikrimah berkata: bagian paling atas dari al-Ma’un adalah zakat mal dan bagian paling bawahnya adalah saringan, ember, dan jarum jahit. Apa yang dikatakan oleh Ikrimah ini adalah bagus sekali, sesungguhnya ia mencakup pendapat – pendapat seluruhnya. Seluruhnya kembali kepada satu makna yaitu enggan menolong dengan harta atau barang yang bermanfaat. Oleh karena inilah terdapat di dalam hadits:
كُلٌّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap yang ma’ruf adalah sedekah”.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Disarikan dari:
Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir lii ash-Shaabuunii.