Surat ini adalah surat Makkiyah.
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ قُلۡ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡكَـٰفِرُونَ * لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ * وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ * وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ * وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ * لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” QS. Al-Kafirun: 1-6.
Keutamaan Surat Al-Kafirun
Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat ini (Al-Kafirun) dan surat Al-Ikhlas dalam dua rakaat thawaf.
Dalam shahih Muslim juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Bahwa dalam dua raka’at fajarnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat Al-Kafirun dan Qul Huwallahu ahad (Surat Al-Ikhlash).” HR. Muslim.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِهِ هَلْ تَزَوَّجْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا عِنْدِي مَا أَتَزَوَّجُ بِهِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ قَالَ بَلَى قَالَ ثُلُثُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ أَلَيْسَ مَعَكَ إِذَا زُلْزِلَتْ الْأَرْضُ قَالَ بَلَى قَالَ رُبُعُ الْقُرْآنِ قَالَ تَزَوَّجْ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada salah seorang sahabat beliau: “Apakah kamu sudah menikah hai fulan?” ia menjawab; “Belum, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak memiliki sesuatu untuk aku pakai menikah.” Rasulullah bertanya: “Bukankah kamu punya (hafalan) QUL HUWALLAHU AHAD?” Ia menjawab; “Betul.” Beliau bersabda: “Sepertiga al-Qur’an.” Beliau bertanya: “Bukankah kau punya (hafalan) IDZAA JAA A NASHRULLAAHI WAL FATH?” Ia menjawab; “Benar”. Beliau bersabda: “Seperempat al-Qur’an”. Beliau bertanya: “Bukankah kamu punya (hafalan) QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN?” ia menjawab; “Benar.” Beliau bersabda: “Seperempat al-Qur’an.” Beliau bertanya: “Bukankah kau punya (hafalan) IDZAA ZULZILATIL ARDLU?” ia menjawab; “Benar.” Beliau bersabda: “Seperempat al-Qur’an.” Beliau bersabda: “Menikahlah.” HR. At-Tirmidzi.
At-Thabrani meriwayatkan dari Khobbab:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ قَرَأَ: ” قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ” حَتَّى يَخْتِمَهَا
“Bahwa bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke tempat tidur beliau membaca “Qul yaa ayyuhal kaafirun” hingga selesai.”
Diriwayatkan dari Jabalah bin Haritsah ia berkata;
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَقُولُهُ عِنْدَ مَنَامِي قَالَ إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ فَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ حَتَّى تَخْتِمَهَا فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنْ الشِّرْكِ
“Aku berkata; Wahai Rasulullah! Ajarkanlah sesuatu padaku yang aku ucapkan saat hendak tidur. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Bila kau hendak tidur, bacalah qul yaa `ayyuhal kaafirun hingga usai, karena itu membebaskan dari kesyirikan’.” HR. Ahmad.
Tafsir dan Penjelasan
Surat al-Kafirun ini merupakan surat berlepas diri dari amal yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Firman-Nya:
قُلۡ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡكَـٰفِرُونَ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”. QS. Al-Kafirun: 1.
mencakup setiap orang kafir di muka bumi. Akan tetapi kaum kafir yang dihadapi dengan seruan ini adalah kaum kafir Quraisy. Mereka meminta Rasullah untuk ibadah kepada berhala mereka setahun dan mereka akan menyembah yang disembahnya setahun. Maka Allah pun menurunkan surat ini dan memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan.
لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. QS. Al-Kafirun: 2.
Yakni tidak menyembah berhala – berhala dan sekutu – sekutu.
وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ
“Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.” QS. Al-Kafirun: 3.
Dialah Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya.
وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ * وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.” QS. Al-Kafirun: 4-5.
Yakni tidaklah aku mengikutinya dan tidaklah aku menirunya. Sesungguhnya aku hanyalah menyembah Allah menurut cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Oleh karena inilah Allah berfirman:
وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ
“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.” QS. Al-Kafirun: 4-5.
Yakni kalian tidak mengikuti perintah Allah dan syariat-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Bahkan kalian membuat sesuatu menurut kemauan kalian sendiri, sebagaimana firman-Nya:
إِن یَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَمَا تَهۡوَى ٱلۡأَنفُسُ
“Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya.” QS. An-Najm: 23.
Maka berlepas dirilah dari mereka pada seluruh apa yang ada pada diri mereka. Oleh karena inilah kalimatul Islam itu:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
“Tiada tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah”.
Yakni tidak ada yang disembah kecuali Allah, dan tidak ada jalan kepada-Nya kecuali dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan kaum musyrikin itu menyembah selain Allah yang tidak pernah diizinkan oleh Allah. Oleh karena inilah Allah ta’ala berfirman:
لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” QS. Al-Kafirun: 6.
Sebagaimana firman-Nya:
وَإِن كَذَّبُوكَ فَقُل لِّی عَمَلِی وَلَكُمۡ عَمَلُكُمۡ
“Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.” QS. Yunus: 41.
Juga firman-Nya:
لَنَاۤ أَعۡمَـٰلُنَا وَلَكُمۡ أَعۡمَـٰلُكُمۡ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu.” QS. Al-Qashash: 55.
Al-Bukhari berkata: “Untukmu agamamu” yakni kekufuran, “untukku agamaku” yakni Islam.
Berkata yang lainnya: “aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah” yakni sekarang dan seterusnya dari sisa usiaku aku tidak memenuhinya.
Ibnu Jarir menukil dari sebagian ahli bahasa Arab bahwa pengulangan – pengulangan yang ada dalam surat Al-Kafirun ini adalah bentuk penegasan sebagaimana firman-Nya:
فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرًا * إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرࣰا
“Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” QS. Al-Insyirah: 5-6.
Maka ini adalah tiga pendapat terkait surat ini: yang pertama adalah apa yang telah kami sebutkan di awal. Kedua, adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lainnya dari kalangan mufassir bahwa maksud dari:
لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ * وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah” QS. Al-Kafirun: 2-3.
adalah di masa lampau. Sedangkan:
وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ * وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah” QS. Al-Kafirun: 4-5.
adalah di masa yang akan datang.
Pendapat ketiga, bahwasanya pengulangan itu adalah untuk penegasan.
Ada juga pendapat yang keempat yang didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitab – kitabnya, yakni bahwasanya maksud dari firman-Nya: aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. (Al-Kafirun:2) menafikan perbuatan karena kalimatnya adalah jumlah fi’liyyah, sedangkan firman-Nya: Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. (Al-Kafirun: 4) menafikan penerimaan tawaran tersebut secara keseluruhan, karena makna jumlah ismiyah yang dinafikan pengertiannya lebih kuat daripada jumlah fi’liyah yang dinafikan. Jadi, seakan-akan yang dinafikan bukan hanya perbuatannya saja, tetapi juga kejadiannya dan kemungkinannya secara syar’i. Pendapat ini adalah pendapat yang baik juga. Wallahu ‘alam.
Disarikan dari:
Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir lii ash-Shaabuunii.