Tafsir Surat al-Fatihah ayat 6

Tags:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS. Al-Fatihah 1:6)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya mengenai pujian atas Dzat yang dimintai pertolongan yaitu Allah tabaraka wa ta’ala, maka merupakan suatu hal yang sesuai dan pantas untuk mengikutinya dengan permintaan. Kondisi yang demikian itu merupakan kondisi yang sempurna bagi orang yang meminta yaitu meminta hajatnya setelah memuji yang dimintai.

Hidayah yang diminta dalam ayat ini maksudnya adalah petunjuk dan taufiq (kemampuan untuk ta’at kepada Allah bagi seorang hamba). Kata yang bermakna hidayah/petunjuk kadang disampaikan dengan redaksinya secara langsung (tanpa kata sambung) sebagaimana dalam ayat:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS. Al-Fatihah 1:6)

Kadang disampaikan dengan menggunakan huruf (إِلَى) sebagaimana dalam ayat:

فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ

maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka (QS. Ash-Shaf 37:23)

Kadang disampaikan dengan menggunakan huruf (lam) sebagaimana dalam ayat:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا

Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. (QS. Al-A’raf 7:43)

Maknanya yakni memberi kami taufik dan menjadikan kami penghuninya.

Adapun kata (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) maknanya adalah: jalan yang terang yang tidak bengkok. Kemudian tersebar luas di bangsa arab bahwa kata (الصِّرَاطَ) adalah kata yang digunakan untuk mensifati setiap amal perbuatan dan perkataan yang istiqomah (konsisten) maupun yang bengkok.

Para ulama’ tafsir dari salaf hingga khalaf berbeda pendapat mengenai penjelasan tafsir (الصِّرَاطَ). Meskipun demikian, semuanya kembali pada satu makna yang sama yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Ada yang meriwayatkan bahwa makna Ash-Shiraath adalah Kitabullah, ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah al-Islam. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: (maknanya ash-shiraat adalah) Diinullah (agama Allah) yang tidak bengkok isinya. Ibnu Hanafiyah berkata: (maknanya ash-shiraath adalah) Diinullah (agama Allah) yang tidak diterima dari seorang hamba selain agama Allah tersebut. Penafsiran bahwa makna ash-Shiraath adalah al-Islam terdapat di dalam hadits dari Nawwas bin Sam’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تَتَفَرَّجُوا وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ جَوْفِ الصِّرَاطِ فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ قَالَ وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ تَعَالَى وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِي فَوْقَ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ

“Allah memberikan perumpamaan berupa jalan yang lurus. Kemudian di atas kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding. Dan pada kedua dinding itu terdapat pintu-pintu yang terbuka lebar. Kemudian di atas setiap pintu terdapat tabir penutup yang halus. Dan di atas pintu jalan terdapat penyeru yang berkata, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah kalian semua ke dalam ash-shiraath dan janganlah kalian menoleh kesana kemari.’ Sementara di bagian dalam dari ash-Shiraath juga terdapat penyeru yang selalu mengajak untuk menapaki as-Shiraath, dan jika seseorang hendak membuka pintu-pintu yang berada di sampingnya, maka ia berkata, ‘Celaka kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya.’ Ash-Shiraath itu adalah Al-Islam. Kedua dinding itu merupakan batasan-batasan Allah Ta’ala. Sementara pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dan adapun penyeru di depan shirath itu adalah Kitabullah (Al Qur`an) ‘azza wajalla. Sedangkan penyeru dari atas shirath adalah penasihat Allah (naluri) yang terdapat pada setiap kalbu seorang mukmin.” (HR. Ahmad di dalam Musnad nya dan dikeluarkan juga oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

Mujahid berkata: ash-Shiraath al-Mustaqim adalah al-haq (kebenaran). Hal ini adalah lebih lengkap dan tidaklah lebih tinggi dari yang diantaranya maupun yang sebelumnya.

Ibnu Jarir rahimahullah berkata: yang utama di sisi kami dalam menakwilkan ayat ini adalah yang menakwilkannya dengan: berikanlah taufik kepada kami untuk tetap berada di atas apa – apa yang Engkau ridhai dan Engkau beri taufik tersebut bagi hamba – hamba-Mu yang Engkau beri nikmat atasnya dari setiap perbuatan dan perkataan. Yang demikian itulah ash-shiraath al-mustaqim karena siapa yang diberi taufik sebagaimana diberi taufiknya orang – orang yang diberi kenikmatan yaitu para Nabi, shiddiqiin (orang – orang yang jujur), para Syuhada’ (orang yang mati syahid), dan orang – orang yang shalih, maka sungguh ia telah diberi taufik kepada Islam.

Ketika dikatakan: Bagaimana mungkin seorang mukmin senantiasa meminta hidayah dalam setiap shalat sementara ia telah disifati dengan yang demikian itu (telah mendapatkan hidayah)?

Maka jawabnya adalah: sesungguhnya seorang hamba itu butuh kepada Allah pada setiap waktu dan keadaan, dalam ketetapan di atas hidayah, kokoh di dalamnya dan, terus menerus atasnya. Maka Allah ta’ala menunjukinya kepada apa yang ia minta pada setiap waktu yakni dengan memberikan pertolongan, ketetapan, dan taufiq. Demikianlah Allah ta’ala memerintahkan kepada orang – orang yang beriman untuk beriman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (QS. An-Nisa’ 4:136)

Maksudnya yaitu ketetapan dan kontinyu atas amal – amal yang ditugaskan.

Wallahu ‘alam bish shawwab.

Maraji’:

Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir ash-Shaabuunii

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *