إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. Al-Fatihah 1:5)
Arti kata (العبادةُ-ibadah) menurut bahasa adalah: diambil dari kata (الذِّلَّةِ) yang artinya tunduk atau patuh. Dikatakan: (طريقٌ مُعَبَّدٌ-jalan yang diratakan) yaitu yang menjadi rendah/rata dan bisa dilalui orang dengan cara diinjak – injak. Dikatakan juga: (بعيرٌ معبَّد) yaitu unta yang ditundukkan dengan dibanting dan diikat. Adapun menurut Syara’, ibadah adalah sesuatu yang mengumpulkan sempurnanya mahabbah (kecintaan), ketundukan, dan rasa takut.
Pada ayat ini, maf’ul (objek) nya (إِيَّاكَ-Hanya Engkaulah) didahulukan dan diulangi agar mendapat perhatian, yakni tiada yang kami sembah kecuali Engkau dan tidaklah kami bertawakal kecuali hanya kepadaMu, yang demikian itulah sempurnanya ketaatan. Perkara – perkara agama itu seluruhnya kembali kepada dua makna ini. Kalimat yang pertama bebas dari syirik dan kalimat yang kedua bebas dari kekuasaan dan kekuatan yang lain selain dari Allah azza wa jalla.
Makna tersebut juga terdapat di dalam ayat yang lain:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. (QS. Hud 11:123)
قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا
Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal. (QS. Al-Mulk 67:29).
Adapun dalam surat al-Fatihah ayat yang kelima ini pembicaraan berubah dari ayat sebelumnya yang menggunakan redaksi ghaibah (redaksi orang ketiga) menjadi redaksi orang kedua (langsung bertatap muka) karena ketika seseorang memuji kepada Allah maka seolah – olah ia dekat dan hadir di hadapan Allah ta’ala, oleh karena itulah ia mengucapkan (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) dengan menggunakan redaksi orang kedua (كَ-Mu). Hal ini menjadi dalil bahwa bagian pertama dari surat al-Fatihah adalah khabar dari Allah ta’ala dengan pujian atas diriNya sendiri dengan keindahan sifatNya yang baik, dan menunjukkan kepada hambaNya agar memujiNya dengan kalimat – kalimat tersebut.
Adapun kata (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) didahulukan atas (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) karena ibadah adalah tujuan sedangkan permintaan tolong adalah wasilah (sarana) untuk ibadah. Pada asalnya, sesuatu yang didahulukan itulah yang terpenting.
Ketika dikatakan: Apa makna nun dalam (نَعْبُدُ) dan (نَسْتَعِينُ)? Bila dikatakan huruf nun tersebut adalah untuk menunjukkan jama’, pada faktanya yang menyeru dengan kata tersebut adalah sendirian. Bila dikatakan sebagai bentuk penghormatan, tidak ada hubungannya dalam konteks ayat tersebut dengan penghormatan kepada Allah. Maka saya jawab: sesungguhnya maksud dari yang demikian itu adalah untuk mengabarkan jenis – jenis hamba. Orang yang sholat sendirian merupakan salah satunya, juga bila orang sholat berjama’ah atau menjadi imam. Maka hal tersebut mengabarkan tentang dirinya sendiri dan saudara – saudaranya yang mukmin yang lain dengan ibadah yang mereka kerjakan. Adapun kata (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) lebih halus dalam ketawadhu’an daripada (إيَّاك عبدنا).
Ibadah merupakan suatu kedudukan yang agung, hamba Allah dimuliakan dengan ibadah tersebut karena dinisbatkannya ibadah tersebut kepada sisi Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun disebut dengan sebutan hambaNya dalam kedudukannya yang mulia sebagaimana firman Allah ta’ala:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) (QS. Al-Kahfi 18:1).
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ الله يَدْعُوهُ
Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah) (QS. Al-Jin 72:19).
سُبْحَانَ الذي أسرى بِعَبْدِهِ لَيْلاً
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS. Al-Isra’ 17:1).
Dalam ayat – ayat tersebut, Allah ta’ala menyebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebutan hamba pada saat Allah menurunkan al-Qur’an kepadanya, pada saat berdirinya beliau untuk beribadah dan pada saat beliau diperjalankan. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa mulianya kedudukan seorang hamba sebagaimana Rasulullah yang juga disebut sebagai hamba oleh Allah ta’ala.
Wallahu ‘alam bish shawwab.
Maraji’:
Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir ash-Shaabuunii