الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-Fatihah 1:2)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: makna (الْحَمْدُ للَّهِ) adalah syukur kepada Allah semata dengan ikhlas, tanpa sesembahan selain-Nya dan tanpa segala sesuatu yang tidak menciptakan ciptaan-Nya, atas segala nikmat yang tidak dapat dihitung jumlahnya yang dikaruniakan kepada hamba – hamba-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghitung nikmat-Nya melainkan Dia semata atas berbagai macam kelengkapan yang dapat digunakan untuk mentaatinya dan memungkinkan mukallaf (orang yang dibebani hukum) untuk menunaikan segala hal yang difardhukan-Nya, bersama dengan hal – hal yang menyenangkan bagi mereka di dunia dari rizki – rizki yang diberikan, serta memelihara mereka dengan nikmat – nikmat yang berupa makanan. Maka kepada Rabb kitalah segala puji atas yang demikian itu seluruhnya baik yang awal maupun yang akhir. (الْحَمْدُ للَّهِ) adalah pujian Allah memuji diri-Nya sendiri dengan kalimat tersebut, termasuk di dalamnya juga memerintahkan hamba-Nya untuk memuji kepada-Nya seolah – olah berkata: Katakanlah oleh kalian (الْحَمْدُ للَّهِ). Kemudian Ibnu Jarir juga berkata: para ahli makrifat Bahasa arab berpendapat bahwa (الحمد) dan (الشكر) memiliki dua tempat yang berbeda.
Ibnu Katsir mengatakan: pendapat Ibnu Jarir ini perlu dilihat lagi, karena sudah masyhur di kalangan ulama – ulama muta-akhir bahwasanya (الحمد) adalah pujian dengan perkataan atas (المحمود–yang terpuji) dengan sifatNya yang (اللازمة) dan (المتعدية)[1]. Sedangkan (الشكر) hanyalah bagi sifatNya yang (المتعدية). Bersyukur itu dapat dilakukan dengan hati, dengan lisan, dan dengan anggota tubuh.
Al-Jauhari berpendapat bahwa (الْحَمْدُ) itu adalah lawan kata dari (الذَّمِّ–mencela), dan (الحمد) itu lebih umum daripada (الشكر). Sedangkan (الشكر) itu adalah pujian atas kebaikan yang mendahuluinya. Adapun (الْمَدْحُ–pujian) itu lebih umum daripada (الْحَمْدُ) karena kata tersebut digunakan baik untuk yang hidup, yang sudah mati (mayit), dan juga benda mati sebagaimana halnya memuji makanan, tempat, dan lain sebagainya.
Adapun di dalam hadits syarif, diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
Sebaik-baik dzikir adalah LAA ILAAHA ILLALLAAH (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah) dan sebaik-baik doa adalah AL HAMDULILLAAHI (Segala puji bagi Allah). (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hadits hasan gharib).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَاهُ أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ
Tidaklah Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba, kemudian ia mengucapkan; ALHAMDULILLAH (Segala puji bagi Allah), kecuali apa yang dia berikan itu (yaitu ucapan Alhamdulillah) lebih utama dari apa yang telah ia terima (yaitu nikmat yang telah diterima). (HR. Ibnu Majah, hadits hasan).
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepada mereka:
أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ قَالَ يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيمِ سُلْطَانِكَ فَعَضَّلَتْ بِالْمَلَكَيْنِ فَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا فَصَعِدَا إِلَى السَّمَاءِ وَقَالَا يَا رَبَّنَا إِنَّ عَبْدَكَ قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي كَيْفَ نَكْتُبُهَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ مَاذَا قَالَ عَبْدِي قَالَا يَا رَبِّ إِنَّهُ قَالَ يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمَا اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي حَتَّى يَلْقَانِي فَأَجْزِيَهُ بِهَا
“Sesungguhnya salah seorang dari hamba-hamba Allah berkata; “Ya Rabb, bagi-Mu segala puji sebagaimana yang selayaknya bagi kebesaran wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu”. Maka ucapan itu membuat dua malaikat bingung dan tidak mengerti bagaimana menulisnya, kemudian mereka berdua naik kelangit dan berkata: “wahai Rabb kami, sesungguhnya hamba-Mu mengucapkan satu perkataan yang kami tidak tahu bagaimana menulisnya.” Allah ‘azza wajalla yang lebih mengetahui dengan apa yang diucapkan oleh hamba-Nya bertanya: “Apa yang diucapkan hamba-Ku?.” Keduanya menjawab: “Wahai Rabb, sesungguhnya ia mengucapkan; “Wahai Rabb, bagi-Mu segala puji sebagaimana yang selayaknya bagi kebesaran Wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.” Maka Allah ‘azza wajalla berfirman kepada keduanya: “Tulislah sebagaimana yang di ucapkan hamba-Ku, hingga ketika dia bertemu dengan-Ku, Aku akan memberinya balasan.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun alif dan lam pada (الْحَمْدُ) berfungsi untuk mencakup segala jenis pujian yang ada bagi Allah sebagaimana yang ada pada hadits:
اللهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْمُلْكُ كُلُّهُ، بِيَدِكَ الْخَيْرُ كُلُّهُ، إِلَيْكَ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ
Ya Allah! Segala puji bagiMu seluruhnya, bagiMu kerajaan seluruhnya, ditanganMu-lah kebaikan seluruhnya, kepadaMu-lah urusan kembali seluruhnya (HR. Ahmad).
(الربُّ) Rabb adalah (الْمَالِكُ الْمُتَصَرِّفُ –penguasa yang menguasai). Rabb disebut juga di dalam bahasa sebagai (السَّيِّد-majikan/tuan). Setiap arti yang demikian itu adalah shahih dalam hakikat Allah ta’ala. Kata Rabb tidak digunakan bagi selain Allah kecuali dengan menyandarkannya kepada sesuatu semisal (ربُّ الدار–tuan tanah), adapun (الرَّبُّ) maka tidak ada satupun yang dikatakan sebagai (الرَّبُّ) kecuali Allah ta’ala.
(الْعَالَمِينَ) adalah jamak dari (عَالَمٍ–alam) yaitu segala sesuatu yang ada selain Allah ‘azza wa jalla. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24)
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”. (QS. Asy-Syu’ara’ 26 : 23-24)
Wallahu ‘alam bish shawwab.
Maraji’:
Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir ash-Shaabuunii
[1] Sifat al-Laazimah (اللازمة) adalah sifat yang berdiri bersama Allah ‘Azza wa Jalla seperti hidup dsb. Adapun sifat al-Muta’addiyah (المتعدية) adalah sifat fi’liyah (sifat perbuatan) yang dilakukan oleh Allah kapan saja Allah menghendakinya misalnya saja menciptakan dan berkata.