1. Sucinya badan dari hadats kecil, hadats besar, dan najis.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…” QS. Al-Maidah : 6.
Adapun dalil syarat bersih dari najis adalah adanya perintah Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam mencuci najis – najis sebagaimana sabda beliau kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلَاةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
“Jika haid kamu datang maka tingalkanlah shalat, dan jika telah berlalu masa-masa haid, maka bersihkanlah darah darimu lalu shalatlah.” HR. Bukhari.
Di samping itu juga terdapat hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu mengenai membersihkan madzi.
Disamping itu hal ini juga diqiyaskan kepada memsucikan pakaian, hal ini diperintahkan dengan firman-Nya:
(وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)
“dan pakaianmu bersihkanlah.” QS. Al-Mudatsir : 4.
2. Menutup aurat dengan pakaian yang suci.
Berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” QS. Al-A’raf : 31.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: maksud dari ayat ini adalah pakaian di dalam sholat. (Lihat Mughni al-Muhtaj 1/184).
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ الْحَائِضِ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Tidak diterima shalat wanita yang telah haid kecuali dengan mengenakan kerudung.” HR. At-Tirmidzi. Hadits hasan.
“Wanita yang telah haid, “Adalah wanita yang telah berumur baligh kemudian mengalami haid.”
(ِخِمَارٍ )
adalah kain yang digunakan untuk menutupi kepala seorang wanita.
Ketika menutup kepala itu diwajibkan, maka menutup anggota tubuh yang lain itu lebih utama. Hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha menunjukkan akan hal ini, beliau berkata:
لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْفَجْرَ فَيَشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ مُتَلَفِّعَاتٍ فِي مُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَرْجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat fajar dan ikut juga wanita-wanita Mu’minat yang menutupi seluruh tubuh mereka dengan pakaian, kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing tanpa diketahui oleh seorangpun.” HR. Bukhari.
مُتَلَفِّعَاتٍ فِي مُرُوطِهِن
Yakni menutupi dengan kain mereka, اللفاع adalah pakaian yang menutupi seluruh jasad.
Adapun dalil yang mengisyaratkan pakaian harus suci adalah firman Allah ta’ala:
(وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)
“dan pakaianmu bersihkanlah.” QS. Al-Mudatsir : 4.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Khaulah binti Yasar pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berkata;
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ فَكَيْفَ أَصْنَعُ قَالَ إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيهِ ثُمَّ صَلِّي فِيهِ فَقَالَتْ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ الدَّمُ قَالَ يَكْفِيكِ غَسْلُ الدَّمِ وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya hanya mempunyai satu baju, sementara saya memakainya untuk haidl. Apa yang saya lakukan? Beliau bersabda: “Apabila kamu telah suci, maka cucilah kain itu, kemudian shalatlah dengannya”. Lalu dia berkata; Jika darah tersebut tidak luntur (tidak mau hilang)? Beliau bersabda: “Cukuplah kamu mencuci darah itu, dan bekas darah itu tidak memudharatkanmu”. HR. Abu Dawud.
3. Berdiri di tempat yang suci.
Dalil atas hal ini adalah perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyiram dengan air kencingnya orang Arab gunung di dalam masjid. Kemudian hal ini juga diqiyaskan kepada syarat sucinya pakaian.
4. Pengetahuan tentang masuknya waktu sholat.
Berdasarkan firman Allah ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa’ : 103. Yakni diwajibkan pada waktu yang spesifik, oleh karena itu sudah semestinya untuk mengetahui waktu – waktu sholat tersebut.
5. Menghadap kiblat.
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” QS. Al-Baqarah : 144.
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ
Yakni berulang kali mengarahkan wajah dan pandangan ke arah langit.
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
Yakni kami akan mengubahnya untuk mu.
قِبْلَةً
Yakni arah sholat.
تَرْضَاهَا
Yakni yang engkau sukai dan engkau cenderung kepadanya.
فَوَلِّ وَجْهَكَ
Yakni menghadaplah.
شَطْرَ الْمَسْجِدِ
Yakni ke arah masjid.
الْحَرَام
Yakni tempat yang tidak boleh ada perselisihan dan pelanggaran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ
“Jika kamu hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu’, lalu menghadaplah ke arah Kiblat…” HR. Bukhari dan Muslim.
Yang dimaksud dengan Masjid al-Haram dalam ayat tadi serta al-qiblat dalam hadits tersebut adalah Ka’bah.
Dari al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
{ قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ }
فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat mengahdap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan kiblat tersebut dialihkan ke arah Ka’bah. Maka Allah menurunkan ayat: (“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit) ‘ (Qs. Al Baqarah: 144). Maka kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke Ka’bah.” HR. Bukhari dan Muslim.
Diperbolehkan sholat dengan tidak menghadap ke kiblat yaitu pada saat:
1. Ketika dalam kondisi sangat takut. Yaitu ketika perang atau yang selainnya. Bila terdapat sebab ini, maka boleh untuk sholat dengan tidak menghadap kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” QS. Al-Baqarah : 239.
Yakni ketika tidak memungkinkan untuk sholat secara sempurna karena takut dan yang semisal, maka sholatlah kalian sebagaimana dimudahkan bagi kalian. Baik itu berjalan di atas kaki kalian ataupun berkendara di atas hewan tunggangan kalian. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
“Baik menghadap qiblat atau tidak.”
Nafi’ berkata:
لَا أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلَّا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Saya tidak melihat Abdullah bin Umar menceritakannya melainkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” HR. Bukhari.
2. Boleh sholat dengan tidak menghadap kiblat saat sholat sunnah dalam safar di atas unta (di atas kendaraan).
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat diatas hewan tunggangannya menghadap ke timur. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat wajib, maka Beliau turun dan melaksanakannya dengan menghadap qiblat”. HR. Bukhari.
Dari Ibnu ‘Umar beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلَاةَ اللَّيْلِ إِلَّا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, maka beliau mengerjakan shalat di atas tunggangannya kemana saja hewan itu menghadap, beliau mengerjakannya dengan isyarat, kecuali shalat fardlu. Dan beliau juga mengerjakan shalat witir di atas kendaraannya.” HR. Bukhari.
Rujukan:
al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.