1. Dilaksanakan di kota negeri (المصر)atau kota kecil (desa). Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum tidak melaksanakan sholat jumat kecuali dilaksanakan di kota negeri. Kabilah – kabilah Arab yang tinggal di sekitar kota Madinah juga tidak melaksanakannya di tempat – tempat mereka, Nabi pun tidak memerintahkan mereka untuk hal itu.
المصر
Kota. Yakni tempat apa saja yang di dalamnya ada pasar, pemimpin, dan hakim. Dikatakan juga selain yang demikian itu.
2. Terdapat empat puluh orang yang telah memenuhi syarat – syarat yang mewajibkan sholat jumat pada pembahasan sebelumnya.
Dalil atas syarat jumlah ini adalah riwayat Daruquthni dan Baihaqiy dari Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
مَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمُعَةٌ
“Sunnah yang telah dilakukan bahwasanya pada setiap empat puluh orang atau lebih adalah dilaksanakan sholat jum’at”.
Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik -dia adalah seorang yang selalu menuntun ayahnya setelah ayahnya buta- dari ayahnya yaitu Ka’ab bin Malik:
أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ تَرَحَّمَ لِأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ فَقُلْتُ لَهُ إِذَا سَمِعْتَ النِّدَاءَ تَرَحَّمْتَ لِأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُونَ
“Bahwa apabila dia mendengar adzan pada hari jum’at, dia memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. Lantas aku bertanya kepadanya; “Mengapa anda memohonkan rahmat untk as’ad bin Zurarah setiap kali mendengar adzan Jum’at?” jawabnya; Karena dia adalah orang yang pertama kali sebagai pelopor pelaksanaan shalat Jum’at di tengah-tengah kami di Hazmin-nabit, yang terletak di Bani Bayadhah di Baqi’, yaitu Naqi’ul Khadhamat.” Aku bertanya; “Berapakah jumlah kalian ketika itu?” dia menjawab; “Empat puluh orang.”
3. Sholat jumat dilaksanakan pada saat masih masuk waktunya. Apabila telah keluar dari waktunya atau tiada memenuhi syarat – syarat di atas, maka sholat dzhuhur sebagaimana biasa.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Salmah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ ظِلٌّ نَسْتَظِلُّ فِيهِ
“Kami pernah shalat Jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seusai shalat kami beranjak pergi. Saat itu, tidak ada bayangan dinding yang dapat kami jadikan untuk tempat berteduh.”
Pada riwayat lain dari Sahal bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu:
وَمَا كُنَّا نَتَغَدَّى وَلَا نَقِيلُ إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Kami tidak pernah menyantap makan siang dan tidak pula tidur, kecuali setelah Jum’at.” HR. Bukhari dan Muslim.
نَقِيلُ
Tidur dari qailulah, yaitu tidur di pertengahan siang untuk istirahat.
Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwasanya tidaklah sholat jum’at ditunaikan kecuali pada waktu dzhuhur bahkan pada awal waktunya.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.