Dalam pembahasan mengenai ilahiyah (ketuhanan) para ulama’ membahas tentang sifat – sifat Allah ta’ala. Sifat – sifat tersebut adalah sifat yang ditetapkan oleh aqal yang salim (selamat) bahwasanya Allah azza wa jalla disifati dengannya. Kemudian datanglah Al-Qur’an al-Karim dan Sunnah Nabi yang mulia yang menjelaskannya. Oleh karena itu kita menjumpai pada sifat – sifat Allah tersebut dalil – dalil yang bersifat naqli (Qur’an dan Sunnah) dan yang bersifat aqli (aqal). Para ulama’ tauhid membagi sifat – sifat Allah tersebut menjadi empat bagian:
1. Sifat nafsiyah: yaitu sifat yang menunjukkan atas diri Dzatnya Allah ta’ala. Maka mensifati-Nya dengan sifat tersebut menunjukkan kepada diriNya tanpa membahas yang lain. Sifat ini adalah sifat wujud. Maka sifat wujud hanya menunjukkan kepada Dzatnya tabaraka wa ta’ala semata. Meskipun demikian, sifat as-Sama’ (السمع) menunjukkan kepada Dzatnya sam’un (سمع) atau Dzatnya yang mendengar. Demikian pula sifat bashar (البصر) menunjukkan kepada Dzatnya yang melihat.
2. Sifat Salbiyyah: yaitu sifat yang menunjukkan kepada penolakan terhadap apa – apa yang tidak layak bagi Allah ta’ala. Sifat – sifat ini di antaranya adalah sifat qidam (yaitu yang dahulu) maknanya adalah menolak segala sesuatu yang baru muncul sebagai tuhan. Kemudian misalnya sifat baqo’ (yaitu kekal), maknanya adalah menolak segala yang fana sebagai tuhan.
3. Sifat ma’ani (jama’ dari ma’na yaitu sesuatu yang mengikuti dzat): yaitu setiap sifat yang berdiri dengan yang disifati yaitu Allah dan wajib atasNya secara hukum. Seperti qudroh (kekuatan dan kemampuan), itu adalah urusan maknawi, dan qudroh adalah salah satu sifat Allah ta’ala. Dengan disifatinya Allah azza wa jalla dengan sifat qudroh, maka hal itu menetapkan bahwasanya Dia memiliki sifat qadiirun (keadaanNya memiliki kuasa). Seperti halnya juga as-sama’ (mendengar) adalah urusan maknawi, dan as-sama’ adalah salah satu sifat Allah ta’ala. Dengan disifatinya Allah azza wa jalla dengan sifat sama’, maka hal itu menetapkan bahwasanya Dia memiliki sifat samii’un (keadaanNya memiliki pendengaran).
4. Sifat maknawiyah yaitu sifat Allah ta’ala sebagai hasil dari Allah disifati dengan sifat ma’ani. Maka ketika telah tetap bahwasanya Allah memiliki sifat qudroh (kuasa), maka hal itu menetapkan bahwasanya Allah adalah qadiirun (keadaanNya memiliki kuasa). Demikian halnya ketika telah tetap bahwa Allah itu sama’ (memdengar) maka hal itu menetapkan bahwasanya Allah adalah samii’un (keadaanNya memiliki pendengaran).
Secara hakikat, sifat ma’ani dan sifat ma’nawiyah itu saling terhubung satu sama lain. Maka Ahlussunnah mengatakan:
Allah itu qudroh (kuasa) karena qadiirun (memiliki kuasa). Qudroh adalah sifat ma’ani sementara qadiirun adalah sifat ma’nawiyah.
Allah itu ‘ilmun (tahu) karena ‘aalimun (memiliki pengetahuan). ‘Ilmun adalah sifat ma’ani sementara ‘aalimun adalah sifat ma’nawiyah.
Hal ini penting karena ada sekelompok aliran yaitu Muktazilah yang menolak adanya sifat ma’ani dan mengatakan bahwa Allah itu qadiirun (memiliki kuasa) dengan Dzatnya tanpa qudroh (kuasa). Allah itu ‘aalimun (memiliki pengetahuan) dengan Dzatnya tanpa ‘ilmun (ilmu). Menurut mereka tidak bisa ada sifat yang merupakan tambahan atas dzat Allah seperti qudroh dan ilmu karena itu berarti dzat tuhan itu berbilang karena adanya sifat tambahan itu.
Sementara itu ahlussunnah berpendapat bahwa hal itu mustahil, bagaimana mungkin sesuatu bisa tahu tanpa ilmu, bisa memiliki kuasa tanpa kuasa. Maka Allah itu kuasa karena memiliki kekuasaan, Allah itu tahu karena memiliki pengetahuan.
Perlu dicatat bahwa pembagian ini bukanlah pokok aqidah. Akan tetapi hal itu adalah buah dari pembahasan mantiq (logika) secara aqal dalam pembahasan tauhid. Bagi seorang mukallaf cukup wajib baginya untuk meyakini bahwasanya Allah ta’ala itu maujud (ada), wahid (satu), disifati dengan qidam (yang dahulu), baqo’ (kekal), bahwasanya baginya qudroh (kuasa), sam’un (pendengaran), bashorun (penglihatan), dan Dia adalah qadiirun (memiliki kuasa), samii’un (memiliki pendengaran), dan bashiirun (memiliki penglihatan). Tidak wajib bagi seorang mukallaf untuk mengetahui apa – apa saja yang merupakan kategori sifat nafsiyyah, sifat salbiyyah, sifat ma’ani, dan sifat ma’nawiyah. Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.
Imam al-Baijuriy, Tuhfat Al-Muriid ‘ala Jauhar at-Tauhid.