Wajib atas setiap mukallaf untuk mengetahui hal – hal yang wajib, jaiz (boleh), dan mustahil pada diri para nabi dan rasul ‘alaihimussalam sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelum – sebelumnya. Adapun sifat – sifat yang wajib bagi para nabi dan rasul itu adalah:
1.Amanah (الأَمَانَةُ). Yakni penjagaan, dengan makna bahwasanya Allah ta’ala menjaga zhahir dan batin mereka pada saat mereka masih kecil maupun dewasa, sebelum kenabian maupun setelah kenabian, dari setiap perbuatan yang terlarang meskipun perbuatan yang makruh. Maka mereka tidaklah melakukan perbuatan yang haram, makruh, dan menyalahi keutamaan (khilaf al-aula). Mereka dapat dipercaya atas syariat Allah ta’ala. Dalil atas hal ini adalah bahwasanya Allah ta’ala memerintahkan setiap umat untuk mengikuti rasul mereka yang diutus kepada mereka dalam perkataan mereka, perbuatan mereka, dan keadaan – keadaan mereka (sungguh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada manusia seluruhnya sebagaimana akan dijelaskan nanti). Apabila seorang rasul melakukan suatu perbuatan yang terlarang dalam syariatnya, maka perbuatan tersebut akan menjadi perbuatan yang diperintahkan bagi umatnya (karena mereka diperintahkan mengikuti rasul) dan pada saat yang sama perbuatan itu terlarang (karena mengikuti nash syariat). Ini adalah mustahil. Bagaimana bisa Allah memerintahkan sesuatu dan melarangnya dalam waktu yang sama. Allah tidaklah membebani hambanya dengan sesuatu yang mustahil. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَاۤءِ
“Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat keji.” QS. Al-A’raf: 28.
Apa saja yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah yang seolah memberikan pemahaman ada sebagian nabi yang terjatuh dalam kemaksiatan maka hal itu ditakwilkan. Para ulama’ tafsir telah menyebutkan penakwilannya. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahulah telah menjelaskannya di dalam kitabnya “As-Syifa”, semoga Allah memberikan kebaikan kepada mereka semuanya. Maka rujuklah kepada kitab – kitab tersebut bila terdapat hal – hal yang samar.
Harus diperhatikan bahwa syariat – syariat itu diturunkan kepada para nabi setelah kenabian. Adapun sebelumnya, maka tidaklah seorang pun dibebani dengan syariat kenabiannya. Bersamaan dengan itu, para nabi itu terjaga dari hal – hal yang akan dilarang setelah kenabiannya dan dari hal – hal yang dilarang dalam syariat yang dibebankan kepada umatnya sebelum kenabiannya.
Kemudian sesungguhnya anak kecil itu bila melakukan kemaksiatan tidaklah disebut maksiat karena ia bukanlah mukallaf. Bersamaan dengan itu, Allah menjaga para nabi dari jalan – jalan kemaksiatan yakni apa saja yang merupakan kemaksiatan bagi orang yang telah mukallaf.
2.Jujur atau Shidiq (الصِّدْقُ). Yaitu kesesuaian antara kabar dengan kenyataan. Kebalikannya adalah dusta. Merupakan hal yang telah diketahui bahwa dusta adalah sebuah kemaksiatan. Adanya penjagaan terhadap para nabi menetapkan tiadanya kedustaan. Maka wajibnya sifat jujur bagi para nabi itu masuk ke dalam bahasan penjagaan. Akan tetapi para ulama’ mengemukakan sifat ini karena pentingnya sifat ini pada diri para nabi. Mereka itu adalah orang yang menyampaikan pesan dari Allah ta’ala. Maka wajib secara yakin bahwa mereka itu jujur pada apa yang mereka sampaikan dari Allah ‘azza wa jalla dan juga jujur pada apa yang mereka sampaikan dari selainnya. Dalil kejujuran mereka adalah firman Allah ta’ala:
وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” QS. Al-Ahzab: 22.
Juga bahwasanya Allah ta’ala menolong mereka dengan adanya mukjizat. Adanya mukjizat menandakan kejujuran mereka dalam apa yang mereka sampaikan. Karena Allah ta’ala tidak menolong pendusta.
3.Cerdas atau fathonah (الفَطَانَةُ). Yang dimaksud dengan hal ini adalah kecerdasan dan kuat hujahnya dari sisi kemampuan mereka untuk menegakkan hujah atas benarnya apa yang mereka serukan. Juga mampu untuk membatalkan syubhat orang – orang yang menentang mereka. Yang demikian itu karena mereka adalah mubaligh (penyampai pesan) dari Allah ta’ala maka sudah seharusnya Allah menjadikan adanya kecerdasan dan kuatnya hujah pada diri mereka. Ini adalah kenyataan yang ada pada seluruh nabi dan rasul. Allah ta’ala berfirman:
وَتِلۡكَ حُجَّتُنَاۤ ءَاتَیۡنَـٰهَاۤ إِبۡرَ ٰهِیمَ عَلَىٰ قَوۡمِهِ
“Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” QS. Al-An’am: 83.
قَالُوا۟ یَـٰنُوحُ قَدۡ جَـٰدَلۡتَنَا فَأَكۡثَرۡتَ جِدَ ٰلَنَا
“Mereka berkata, “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami.” QS. Hud: 32.
Allah ta’ala juga berfirman kepada nabi-Nya yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُ
“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” QS. An-Nahl: 125.
4.Menyampaikan atau tabligh (التَّبْلِيْغُ). Rasul itu menyampaikan pesan dari Allah ta’ala sebagaimana disebutkan sebelumnya. Maka apa saja yang diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk disampaikan, pasti rasul menyampaikannya apapun topiknya. Jika tidak maka ia adalah orang yang bermaksiat. Sedangkan kemaksiatan itu adalah mustahil baginya. Allah ta’ala berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَاۤ أُنزِلَ إِلَیۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ یَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِ
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia.” QS. Al-Ma’idah: 67.
Adapun perkara – perkara yang tidak diperintahkan untuk menyampaikannya maka para rasul tidak menyampaikannya. Khususnya jika akal manusia tidak mampu mencernanya seperti perkara – perkara ghaib.
Ini adalah syarat – syarat yang ditetapkan oleh akal yang sehat yang ada pada diri para nabi sehingga mereka menjadi hujah bagi manusia. Ada juga syarat – syarat yang ditunjukkan oleh syara’ yaitu:
1.Manusia (البَشَرِيَّةُ). Allah ta’ala mengutus para rasul kepada manusia, maka wajib mereka itu juga manusia agar memungkinkan bagi manusia untuk mengambil dan mengikuti tingkah laku mereka. Ada orang – orang kafir yang menuntut bahwa rasul itu dari kalangan malaikat. Maka Allah ta’ala pun membantah mereka dengan firman-Nya:
وَلَوۡ جَعَلۡنَـٰهُ مَلَكࣰا لَّجَعَلۡنَـٰهُ رَجُلࣰا وَلَلَبَسۡنَا عَلَیۡهِم مَّا یَلۡبِسُونَ
“Dan sekiranya rasul itu Kami jadikan (dari) malaikat, pastilah Kami jadikan dia (berwujud) laki-laki, dan (dengan demikian) pasti Kami akan menjadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu.” QS. Al-An’am: 9.
2.Merdeka (الحُرِّيَّةُ). Hamba sahaya itu tidak menguasai urusan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia menjadi rasul yang membimbing umatnya? Bagaimana ia bisa memiliki kehormatan sementara ia diperjualbelikan?
3.Laki – laki (الذُّكُوْرَة). Allah ta’ala berfirman:
وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالࣰا نُّوحِیۤ إِلَیۡهِم مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰۤ
“Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” QS. Yusuf: 9.
Hikmah dari yang demikian itu adalah bahwasanya rasul itu wajib untuk bergaul dengan manusia dalam rangka menyampaikan dakwah, sedangkan bergaul seperti itu akan menghadapkan seorang wanita kepada kebodohan orang – orang yang bodoh (dijahili), maka seorang laki – laki lebih pas dan lebih mampu untuk menyampaikan dakwah daripada wanita.
4.Sempurnanya akal, kecerdasan, dan kuat pikirannya. Karena ini adalah senjatanya para nabi dan rasul, tentu saja Allah membekalinya dengan hal ini untuk menyampaikan dakwahnya. Sungguh orang – orang kafir itu menuduh Rasul sebagai orang gila. Allah ta’ala telah membantah mereka dalam banyak sekali ayat al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman:
مَاۤ أَنتَ بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ بِمَجۡنُونࣲ
“Dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila.” QS. Al-Qolam: 2.
5.Selamat dari setiap penyakit dan yang lainnya yang membuat manusia mengasingkannya. Karena Allah ta’ala itu menegakkan hujah atas manusia dengan apa yang mereka dengar dan mereka saksikan dari para rasul dan para nabi. Bagaimana bisa mereka mendengar dan berkumpul dengannya sementara padanya terdapat sesuatu yang membuat manusia mengasingkannya. Oleh karena ini, wajib untuk membantah apa yang ada dalam kisah – kisahnya Bani Israil mengenai para nabi bahwasanya sebagian mereka ada yang terkena penyakit – penyakit yang membuat mereka terasing. Benar bahwasanya para nabi itu adalah manusia dan sungguh salah seorang mereka terkena penyakit yang parah. Akan tetapi, tidaklah setiap penyakit itu menjadikan manusia terasing dari sahabat – sahabatnya.
Hal – Hal Yang Mustahil Pada Diri Para Nabi dan Rasul
Sifat – sifat yang mustahil bagi para nabi ‘alaihimussalam adalah kebalikan dari sifat – sifat wajib mereka. Hal yang mustahil bagi mereka adalah sebagai berikut:
1.Khianat. Yakni jatuh pada menyelisihi syariat sebelum maupun setelah kenabian.
2.Dusta. Mengabarkan sesuatu yang tidak sebenarnya.
3.Bodoh, lalai, dan tidak cerdas.
4.Menyembunyikan sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan.
5.Gila, baik itu sedikit maupun banyak.
6.Teledor dalam menyampaikan hal yang harus disampaikan dan yang lainnya seperti perkataan terkait agama. Adapun lupa dalam perkara yang harus disampaikan, maka hal itu mustahil sebelum perkara itu disampaikan.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.