Sifat – Sifat Orang – Orang Mukmin dan Balasan Bagi Orang – Orang yang Bertaqwa – Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 2-5

Tags:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah 2:2-5)

(ذَلِكَ) berarti ini. Hal seperti ini banyak terjadi dalam bahasa arab. Al-Qur’an-sebagai penjelas satu – satunya penjelas dalam bahasa arab-tampil dengan uslub ini. Allah ta’ala berfirman:

لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ

“Yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara ini.” (QS. Al-Baqarah 2:68)

ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ

Inilah hukum Allah, Dia memutuskan perkara di antara kamu.” (QS. Al-Mumtahanah 60:10).

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ

“Inilah Allah sebagai Tuhanmu”. (QS al-An’am 6:102).

(الكتاب) Jika al-Kitab ditafsirkan sebagai Taurat dan Injil maka penafsiran ini jauh sekali dari kebenaran dan sebagai pemberlakuan sesuatu yang tidak diketahui oleh penafsir. Yang benar ialah al-Kitab ditafsirkan sebagai al-Qur’an.

(لَا رَيْبَ فِيهِ) yakni, tidak ada kebimbangan/keraguan di dalamnya. Ada pula ulama yang membaca (ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ) diwaqafkan pada kata raiba, kemudian melanjutkan (فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ). Akan tetapi, waqaf yang lebih utama adalah pada laa raiba fiihi, kemudian dilanjutkan dengan membaca hudan lil-muttaqin. Hal itu karena al-Huda adalah sifat bagi al-Qur’an secara keseluruhan. Dan pandangan demikian lebih baik daripada memandang keberadaan kitab yang (فِيهِ هُدًى -di dalamnya ada petunjuk); yang bisa bermakna bahwa di dalam al-Qur’an itu berisi petunjuk dan ada juga hal lainnya.

(هُدًى لِلْمُتَّقِينَ), yakni sebagai cahaya bagi orang – orang yang bertakwa, yaitu bagi orang – orang mukmin yang memelihara dirinya dari menyekutukan Allah. Orang – orang mukmin yang mengesakan-Nya dan mereka beramal dengan taat kepadaNya, takut terhadap azab-Nya, mengharapkan rahmatNya, dan menjaga diri dari hal – hal yang diharamkan-Nya. Makna ini sejalan dengan makna ayat sesudahnya, yaitu ayat yang mengandung sifat – sifat orang yang beriman dan bertakwa yang disifati Allah dengan firman-Nya:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah 2:3).

(الإيمان) Iman adalah membenarkan dengan ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Iman akan bertambah dengan ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan. Keimanan seseorang dengan sifat – sifat yang telah kami sebutkan sebelumnya akan melahirkan rasa takut kepada Allah ta’ala. Oleh karena itu, seorang mukmin yang memiliki rasa takut kepada Allah, tidak akan melakukan suatu perbuatan, meyakini suatu kepercayaan, atau mengatakan suatu ucapan yang menyalahi perintah Allah.

Iman kepada yang ghaib (بِالْغَيْبِ) yaitu iman kepada sesuatu yang tidak Anda lihat. Keimanan Anda itu berarti membenarkan, bahkan sangat membenarkan kepada apa yang telah menyampaikan kepada Anda. Adapun Iman kepada yang ghaib dalam pemahaman syar’i adalah iman kepada Allah ta’ala, malaikat – malaikat-Nya, kitab – kitab-Nya, rasul – rasul-Nya, hari akhir, qadar yang baik dan yang buruk, hari kebangkitan setelah kematian, surga, dan neraka, yang demikian itu ghaib semuanya.

(وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ) Asal makna ash-sholat adalah berdoa. Kemudian istilah itu digunakan dalam syara’ sebagai ibadah yang memiliki gerakan ruku, sujud, dan perbuatan tertentu lainnya, dilakukan dalam waktu tertentu, dengan syarat – syarat yang sudah dimaklumi, dan sifat serta jenis sholat yang sudah masyhur dan diwajibkan oleh Allah kepada hamba – hamba-Nya sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Sholat merupakan rukun Islam yang kedua.

Mendirikan sholat berarti memelihara pelaksanaannya dalam waktu – waktu yang telah ditetapkan, membaguskan wudhu, menyempurnakan berdiri, ruku, I’tidal, sujud, bacaan al-Qur’an, tasyahud, dan sholawat kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dalam sholat. Inilah yang dimaksud dengan mendirikan sholat.

(وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ) Nafkah berarti suami membelanjai keluarganya. Pengertian ini digunakan sebelum turun ayat tentang zakat. Maksud nafkah di sini adalah sedekah dan zakat. Orang yang diprioritaskan untuk menerima nafkah adalah karib kerabat, keluarga, budak sahaya, kemudian orang lain. Tentu saja nafkah itu ditujukan karena Allah dan sebagai ketaatan kepada-Nya, bukan karena mengharapkan imbalan dari makhluk atau karena takut terhadap hukuman mereka, melainkan karena mengharap pahala dan keridhoan Allah, karena takut atas kemurkaan dan hukuman Allah yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Setiap nafkah, baik itu sunnah maupun wajib, dikategorikan ke dalam firman Allah,

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-Baqarah 2:3)

Oleh karena itu, di dalam shahihain ditegaskan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam bersabda,

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam didirikan di atas lima sendi: bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Insya Allah pembicaraan secara rinci mengenai zakat akan dikemukakan kemudian.

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)

“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah 2:4-5)

(وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ) yakni orang – orang yang membenarkan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.

(وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ) Maksudnya, mereka membenarkan Taurat, Injil, Zabur, dan suhuf – suhuf lainnya yang dibawa oleh para rasul sebelum kamu. Mereka tidak membeda – bedakan antara para rasul itu dan tidak mengingkari apa yang mereka bawa itu dari Tuhannya.

(وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ) Yakin merupakan antonym dari ragu. Keyakinan mereka tidaak ternodai oleh keraguan sekecil apa pun kepada hari akhirat: berupa hari berbangkit dari kubur, kiamat, surga, neraka, perhitungan, dan penimbangan amal. Disebut akhirat karena berada setelah dunia.

Mereka itulah orang – orang yang beriman secara keseluruhan, baik orang Arab maupun Ahli Kitab yang beriman kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Setiap orang, baik ia manusia maupun jin, yang beriman hingga hari kiamat kepada Rasulullah, membenarkannya, meyakini kebenaran konsep tentang sifat – sifat kaum mukmin yang terkandung di dalam ayat – ayat terdahulu, mereka itu berada, (عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ) di atas pentunjuk dari Tuhannya, yakni di atas cahaya, penjelasan, dan penglihatan yang jelas dari Allah ta’ala.

(وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) Mereka itulah orang – orang yang beruntung, yakni berhasil mendapatkan apa yang mereka pinta dari Allah melalui berbagai amal dan keimanan kepada Allah, kitab – kitab-Nya, dan para Rasul-Nya. Keberuntungan mendapat pahala, masuk ke dalam surga, dan selamat dari hukuman dan azab yang disediakan Allah bagi musuh – musuh-Nya.

Maraji’:

Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. Taisir al-‘Aliy al-Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *