Telah dijelaskan pada pembahasan sebelum – sebelumnya bahwasanya salah satu dari sifat – sifat Allah adalah (yakni sifat ma’ani): (الحياة-hidup), (العلم-ilmu), (القدرة-kuasa), (الإرادة-kehendak), (السمع-mendengar), (البصر-melihat), dan (الكلام-perkataan). Sifat – sifat ini menetapkan bahwasanya Allah ta’ala (yakni sifat ma’nawiyah): (حي-Maha Hidup), (عليم-Maha Mengetahui), (قادر-Maha Kuasa), (مريد-Maha Berkehendak), (سميع-Maha Mendengar), (بصير-Maha Melihat), dan (متكلم-Maha Berbicara). Berikut ini adalah penjelasan dalil – dalil dari sifat tersebut:
1. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (حي-Maha Hidup) adalah firman-Nya:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)”. QS. Al-Baqarah: 255.
Telah dibahas sebelumnya bahwasanya hidupnya Allah tabaraka wa ta’ala tidaklah seperti hidupnya salah satu pun dari makhluknya, maka hidupnya Allah ‘azza wa jalla adalah karena Dzat-Nya dan kehidupan selain-Nya adalah ciptaan-Nya.
2. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (عليم-Maha Mengetahui) adalah firman-Nya:
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah: 282.
Ilmunya Allah ta’ala adalah qadim meliputi segala sesuatu yang mungkin untuk diketahui.
3. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (قادر-Maha Kuasa) adalah firman-Nya:
وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah: 284.
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ
Katakanlah: “Dialah yang berkuasa”. QS. Al-An’am: 65.
Al-qaadir adalah Ia yang apabila Ia kehendaki Ia dapat melakukannya atau meninggalkannya. Ia kuasa untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia akan melakukan apa yang Ia kehendaki dan Ia akan meninggalkan apa yang ia kehendaki.
4. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (مريد-Maha Berkehendak) adalah firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” QS. Al-Hajj: 14.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” QS. Hud: 107.
Makna al-muriid adalah Ia yang bila menghadapkan kehendaknya pada yang tiada maka jadilah ia ada dan menetapkan satu kemungkinan dari sebagian kemungkinan. Telah dibahas juga sebelumnya bahwa iradah (إرادة) dan masyi’ah-Nya (مشيءة) itu memiliki makna yang satu, iradah-nya Allah adalah masyi’ah-nya Allah.
5. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (سميع-Maha Mendengar) adalah firman-Nya:
وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. An-Nisa’: 134.
Mendengarnya Allah ta’ala adalah berkaitan dengan hal – hal yang dapat terdengar atau hal – hal yang terwujud, maka Allah mengetahui hal tersebut dengan pengetahuan yang sempurna sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
6. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (بصير-Maha Melihat) adalah firman-Nya:
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Isra’: 1.
Apa saja yang Allah dengar tidak menyibukkan-Nya dari apa saja yang Ia lihat, yang dilihat-Nya tidak menyibukkannya dari melihat yang lainnya, yang didengar-Nya tidak menyibukkannya dari mendengar yang lainnya. Hal ini karena pendengarannya Allah ta’ala tidak seperti pendengaran kita dan penglihatan Allah ta’ala tidak seperti penglihatan kita.
7. Dalil bahwasanya Allah ta’ala (متكلم-Maha Berbicara) adalah firman-Nya:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” QS. An-Nisa’: 164.
Akan tetapi berbicaranya Allah ta’ala tidaklah seperti berbicaranya kita. Berbicaranya Allah bukanlah suara dan bukan pula huruf, hal ini telah kita jelaskan juga sebelumnya.
Sifat Ma’ani Bukanlah Dzat-Nya Dan Bukan Pula Selain Dzat-Nya
Sebagaimana telah kita lihat bahwa penetapan sifat – sifat ma’nawiyah ini adalah hasil dari penetapan sifat – sifat ma’aniy. Maka tetapnya sifat (الحياة-hidup) bagi Allah azza wa jalla menetapkan bahwasanya Dia itu (حي-Maha Hidup). Tetapnya sifat (السمع-mendengar) menetapkan bahwasanya Dia itu (سميع-Maha Mendengar), demikianlah juga dengan sifat – sifat lainnya. Oleh karena itu sifat – sifat tersebut dinamakan dengan sifat ma’nawiyah sebab sifat tersebut ditetapkan oleh tetapnya sifat ma’aniy. Dalil bagi kedua sifat tersebut yakni sifat ma’aniy dan sifat ma’nawiyah adalah dari Qur’an dan Sunnah yang satu sebagaimana telah kita lihat. Maka ayat dan hadits yang menyatakan penyebutan sifat – sifat ma’nawiyah: الحي، ألقدير، العليم، السميع، البصير adalah ayat dan hadits yang menunjukkan kepada sifat ma’aniy. Ayat yang menyatakan penyebutan sifat (الكلام) yang merupakan sifat ma’aniy maka ia menunjukkan kepada sifat (المتكلم) yang merupakan sifat ma’nawiyah. Ayat yang menyatakan perbuatan yang menunjukkan kepada (الإرادة) maka ayat tersebut menunjukkan bahwasanya Dia (مريد-Maha Berkehendak) dan baginya (الإرادة-Kehendak).
Ini adalah perkataan yang jelas sesuai dengan yang ditunjukkan oleh dalil. Akan tetapi, kaum Mu’tazilah mengikuti para filosof, mereka mengatakan: Jika ada tujuh sifat ma’aniy yakni: al-qudrah, al-hayah, iradah, dst…maka bila sifat – sifat tersebut berdiri dengan Dzat maka sifat – sifat tersebut bukanlah Dzat, dan bila sifat – sifat tersebut bersifat qadim (dahulu) maka yang qadim ada delapan yaitu: Dzat Yang Suci dan sifat ma’aniy yang tujuh. Berbilangnya yang qadim adalah kufur menurut kesepakatan kaum muslimin. Maka yang benar adalah kita katakan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dengan Dzat-Nya tidak dengan sifat hayah (hidup), Allah itu Maha Mendengar dengan Dzat-Nya tidak dengan sifat sama’ (mendengar), Allah itu Maha Melihat dengan Dzat-Nya tidak dengan sifat bashar (melihat), dst. Inilah perkataan kaum Mu’tazilah.
Kita lihat bahwa syubhat atau keraguan ini tidak ada yang mengangkatnya di masa kini dan sedikit yang menganutnya. Apabila kita tegakkan hujjah atas adanya Allah ta’ala – yakni dengan tegaknya sifat yang menunjukkan kepada penolakan terhadap apa – apa yang tidak layak bagi Allah ta’ala – maka sesungguhnya manusia mengimani sifat – sifat Allah ta’ala sebagaimana yang tersebut dalam kitab dan sunnah serta tidak mengangkat kebingungan – kebingungan ini. Dengan ini maka sudah seharusnya bagi kita untuk menjawab kebingungan ini karena jawaban atas hal tersebut ada pada ulama’ – ulama’ ahlus sunnah. Jawabannya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya sifat suatu dzat bukanlah dzat nya itu sendiri dari aspek manapun juga, yakni hakikat dari dzat bukanlah hakikat dari sifat. Hal ini karena sifat itu bukanlah yang disifati. Allah ta’ala adalah Dzat yang disifati dengan sifat – sifat, maka sifat – sifat itu bukanlah Dzat dari sisi pemahaman. Tidaklah dzat itu adalah kumpulan dari sifat – sifat seperti jumlah sepuluh yang merupakan kumpulan dari angka satu sebanyak sepuluh. Sifat – sifat ini juga bukan merupakan selain dzat dari aspek manapun karena sifat – sifat itu tidak terpisahkan dari dzat. Ketika kita katakan: Ilmunya Zaid, maka Zaid adalah sesuatu dan ilmunya adalah sesuatu yang lain. Bila kita katakan: Kalamnya Amru, maka Kalam adalah sesuatu dan Amru adalah sesuatu yang lain. Adapun sifat – sifat Allah ta’ala, maka tidak terpisahkan dari Dzat-Nya, karena Qidam (bersifat dahulu) merupakan wajib bagi Dzat-Nya Allah ta’ala yakni sifat – sifat tersebut menetapkan sempurnanya Allah ta’ala sejak azali dan tidaklah sifat – sifat tersebut qidam karena sifat itu sendiri qidam melainkan karena dzat yang qidam. Maka tidak dapat kita pahami bahwa sifat – sifat itu terpisah dari dzat, tidak ada pertentangan antara sifat dan dzat, dan tidak pula ada pertentangan antara satu sifat dengan sifat yang lain. Hal ini karena setiap sifat dari dzat itu tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu tidak berbilang yang qadim, yang qadim adalah Dzatnya Allah ta’ala sementara sifat – sifatnya merupakan wajib bagi Dzat Allah.
Sebagai kesimpulan: sesungguhnya sifat dzat bukanlah dzat akan tetapi sifat tersebut berdiri bersama dzat wajib baginya dan tidak dapat dipisahkan. Ia adalah yang terus menerus wujud, mustahil tidak ada. Oleh karena itu kami katakan sifat itu bukanlah dzat itu sendiri, yakni bukanlah dia itu dia (sifat itu bukanlah dzat); Sifat bukanlah selain dzat, yakni tidak dapat diterima untuk dipisahkan.
Ada yang berkata: sesuatu itu mungkin saja adalah dzat itu sendiri seperti biji gandum yang merupakan gandum itu sendiri, dan mungkin bukanlah dzat itu sendiri, seperti biji gandum bukanlah biji kurma. Maka bagaimana bisa kita katakan sifat itu sebagai: bukanlah dzat itu sendiri namun juga bukanlah selain dzat? Jawabnya adalah bahwasanya kata bukanlah dalam contoh di atas adalah kata bukanlah yang terpisahkan. Maka biji gandum bukanlah biji kurma. Sedangkan yang kami katakan adalah kata bukanlah yang tidak dapat diterima terpisah dari dzat bahkan wajib adanya bagi dzat.
Dengan demikian, kaum ahlus sunnah meyakini bahwa sifat – sifat ma’ani adalah apa saja yang telah kita bahas sebelumnya berdasarkan dalil – dalil sam’iyah. Sementara orang – orang mu’tazilah mengikuti perkataan – perkataan para filosof yang menyandarkan hujah – hujah mereka kepada akal manusia yang serba kekurangan.
Kita perhatikan firman Allah:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.” QS. At-Taubah: 6.
Maka ayat tersebut menetapkan adanya sifat kalam (berfirman) bagi Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ
“Ya Allah, Saya meminta pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta keputusan dengan keputusan-Mu.” HR. Bukhari.
Maka hadits tersebut menetapkan adanya sifat Ilmu dan Qudroh bagi Allah ta’ala.
Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada hadits mengenai surat Al-Mujadalah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَسِعَ سَمْعُهُ الْأَصْوَاتَ
“Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya sangat luas terhadap berbagai macam suara.” HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah.
Maka hadits tersebut menetapkan adanya sifat sama’ bagi Allah.
Oleh karena itu maka Allah ta’ala adalah: Maha Hidup dan bagi-Nya sifat hayah, Maha Mengetahui dan bagi-Nya sifat ilmu, Maha Kuasa dan bagi-Nya sifat qudrah, Maha Berkehendak dan bagi-Nya sifat iradah, Maha Mendengar dan bagi-Nya sifat sama’, Maha Melihat dan baginya sifat bashar, Maha Berbicara dan baginya sifat kalam.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.