Sholat sunnah muakkad (yang sangat dianjurkan) setelah sholat sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan secara berjama’ah (sholat I’ed, Istisqa, kusuf) dan setelah sholat sunnah rawatib yang mengikuti sholat fardhu, ada tiga yaitu:
1. Sholat al-Lail (tahajud)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya:
أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَأَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ
“Shalat apakah yang paling utama setelah shalat Maktubah (wajib)? Dan puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadlan?” maka beliau menjawab: “Seutama-utama shalat setelah shalat Maktubah (wajib) adalah shalat pada sepertiga akhir malam, dan seutama-utama puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa di bulan Muharram.” HR. Muslim.
Dinamakan dengan sholat malam dan tahajud karena dilakukan setelah bangun tidur. Allah ta’ala berfirman:
(وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا)
“Dan pada sebahagian malam hari sholat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ : 79).
Yakni meninggalkan al-hujud ( الهجود ) yaitu tidur, maka sholatlah dan bacalah al-Qur’an. ( نَافِلَةً لَكَ ) : yaitu tambahan atas sholat yang diwajibkan atas mu secara khusus.
2. Sholat Dhuha.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
“Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi wasiat kepadaku agar aku berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, mendirikan shalat Dhuha dua raka’at dan shalat witir sebelum aku tidur”. HR. Bukhari dan Muslim.
Jumlah rakaat sholat dhuha yang paling sedikit adalah dua raka’at sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits di atas. Jumlah raka’at sholat dhuha yang paling banyak adalah delapan raka’at.
Dari Ummu Hani’radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَصَلَّى ثَمَانِي رَكَعَاتٍ مَا رَأَيْتُهُ صَلَّى صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuk rumahnya ketika Penaklukan kota Makkah, lalu beliau shalat delapan rakaat, dan aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat yang lebih ringan daripada shalat ketika itu, beliau menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” HR. Muslim.
Sholat dhuha yang afdhal dilakukan dua raka’at – dua raka’at. Dari Ummu Hani` binti Abu Thalib:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ صَلَّى سُبْحَةَ الضُّحَى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Bahwa pada hari penaklukan kota Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan raka’at, di setiap dua raka’at beliau salam.” HR. Abu Dawud.
Waktu sholat dhuha adalah sejak naiknya matahari hingga waktu zawal (matahari tepat di atas kepala). Waktu yang afdhol untuk sholat dhuha adalah ketika telah lewat seperempat waktu siang (+/- jam sembilan pagi).
Diriwayat oleh Imam Muslim bahwa Zaid bin Arqam pernah melihat suatu kaum yang tengah mengerjakan shalat dluha, lalu beliau berkata; “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat diluar waktu ini lebih utama? sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat al-awwabin ( الْأَوَّابِينَ-yaitu orang yang taubat kembali kepada Allah) dikerjakan ketika anak unta mulai beranjak karena kepanasan.” HR. Muslim.
3. Sholat Tarawih
Sholat tarawih dinamakan dengan qiyam Ramadhan (sholat Ramadhan). Jumlah raka’atnya dua puluh raka’at pada setiap malam di bulan Ramadhan. Sholat tarawih dikerjakan dua raka’at – dua raka’at dengan salam. Waktu sholat tarawih adalah antara sholat isya’ dengan sholat fajar (subuh) dan dikerjakan sebelum sholat witir.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang menunaikan (shalat pada malam) Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” HR. Bukhari dan Muslim.
Maksud dari ( إِيمَانًا) adalah membenarkan bahwasanya Allah adalah haq.
Maksud dari ( وَاحْتِسَابًا ) adalah ikhlas lillahi ta’ala.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Bahwasanya pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Masjid, lalu diikuti oleh beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau shalat lagi, dan ternyata diikuti oleh banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar shalat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” HR. Bukhari dan Muslim.
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa beliau berkata;
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
“Aku keluar bersama ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya.)
Maksud dari perkataan Umar ( نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِه) yang artinya sebaik – baik bid’ah adalah ini yakni baiknya perbuatan tersebut. Bid’ah itu sendiri adalah apa – apa yang baru yang tidak ada yang semisal dengannya sebelumnya. Bid’ah ada yang hasanah dan disyariatkan ketika sesuai dengan syariat dan termasuk yang disebut baik dalam syariat. Bid’ah juga ada yang buruk dan tertolak bila menyelisihi syariat atau termasuk yang disebut buruk dalam syariat. Apabila tidak menyelisihi syara’ dan tidak termasuk di bawah salah satu perkara ushul dalam syariat maka perkara tersebut adalah mubah atau boleh.
Al-Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih:
أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة.
Bahwanya mereka sholat (Tarawih) pada masa Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu di bulan Ramadhan sebanyak dua puluh raka’at.
Dari Malik dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam dua puluh tiga rakaat.” HR. Malik.
Al-Baihaqiy menggabungkan kedua riwayat tersebut: bahwasanya tiga raka’at nya adalah sholat witir.
Wallahu a’lam bi as-shawab.
Rujukan:
al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.