Sholat istisqo’ hukumnya sunnah.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَاسْتَسْقَى فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَقَلَبَ رِدَاءَهُ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju tempat shalat kemudian melaksanakan shalat istisqo’ (meminta hujan). Beliau menghadap kiblat dan membalik posisi selendangnya, lalu melaksanakan shalat dua rakaat.”
Menurut lafadz al-Bukhari:
جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Beliau mengeraskan bacaannya pada kedua rakaat itu.”
Sebelum sholat istisqo’, Imam memerintahkan mereka untuk: bertaubat, bershodaqoh, menghentikan kezhaliman, berdamai antara dua orang yang berselisih, dan berpuasa selama tiga hari karena perkara – perkara tersebut dapat menjadi sebab dikabulkannya doa sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
Kemudian imam keluar bersama – sama kaum muslimin pada hari keempat menggunakan baju yang biasa dipakai sehari – hari dengan ketundukan dan merendahkan diri serta sholat dua raka’at dengan mereka seperti sholat dua hari raya (idul fitri dan idul adha), lalu imam berkhutbah setelah sholat.
Ibnu Majah dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَاضِعًا مُتَبَذِّلًا مُتَخَشِّعًا مُتَرَسِّلًا مُتَضَرِّعًا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ وَلَمْ يَخْطُبْ خُطْبَتَكُمْ هَذِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dengan penuh tawadhu’, memakai baju biasa, khusyu’, perlahan-lahan dan menunduk. Lalu Beliau shalat dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied, namun beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini.”
Sholat istisqo’ dikerjakan sebagaimana halnya sholat ied yaitu bertakbir pada raka’at yang pertama sebanyak tujuh kali dan pada raka’at kedua sebanyak lima kali (lihat penjelasan tata cara sholat ied). Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia ditanya mengenai sholat istisqo’nya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau menjawab:
وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا كَانَ يُصَلِّي فِي الْعِيدِ
“Dan beliau melaksanakan shalat dua raka’at seperti ketika shalat Ied.”
Berkaitan dengan khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah sholat istisqo’, Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar shalat istisqa`, beliau shalat dua raka’at bersama kami tanpa adzan dan iqamah, kemudian beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdo`a kepada Allah, beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan.”
Imam hendaknya memindahkan selendangnya yakni bagian atasnya menjadi bagian bawahnya dan dari kanan ke kiri sebagai bentuk optimisme bahwa Allah akan mengubah keadaan dari kering kerontang menjadi basah subur mengamalkan amalan Rasulullah dalam hadits di atas.
Imam hendaknya beristighfar dalam khutbahnya sebagai pengganti takbir – takbir dalam sholat ied berdasarkan firman-Nya:
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
“Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu.” QS. Nuh: 10-11.
Imam hendaknya berdoa dengan doanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni:
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا ، هَنِيئًا مَرِيئًا ، مَرِيعًا غَدَقًا ، مُجَلِّلًا عَامًّا ، طَبَقًا سَحًّا دَائِمًا ، اللَّهُمَّ اسْقِنَا الْغَيْثَ , وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ الْقَانِطِينَ ، اللَّهُمَّ إِنَّ بِالْعِبَادِ وَالْبِلَادِ وَالْبَهَائِمِ وَالْخَلْقِ مِنَ اللَّأْوَاءِ وَالْجَهْدِ وَالضَّنْكِ مَا لَا نَشْكُو إِلَّا إِلَيْكَ ، اللَّهُمَّ أَنْبِتْ لَنَا الزَّرْعَ , وَأَدِرَّ لَنَا الضَّرْعَ , وَاسْقِنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاءِ , وَأَنْبِتْ لَنَا مِنْ بَرَكَاتِ الْأَرْضِ ، اللَّهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الْجَهْدَ وَالْجُوعَ وَالْعُرْيَ , وَاكْشِفْ عَنَّا مِنَ الْبَلَاءِ مَا لَا يَكْشِفُهُ غَيْرُكَ ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَغْفِرُكَ إِنَّكَ كُنْتَ غَفَّارًا فَأَرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْنَا مِدْرَارًا
“Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai siraman yang membawa rahmat dan jangan menjadikannya sebagai siraman yang membawa adzab, kecelakaan, bencana, kehancuran, dan ketenggelaman. Ya Allah, (jadikanlah hujan ini) meresap di bukit dan onggokan tanah serta menyirami akar-akar tumbuhan dan lembah-lembah. Ya Allah, jauhkanlah dari kami dan janganlah menjadi bencana bagi kami. Ya Allah, turunkan kepada kami hujan deras, yang menyenangkan, mengalir luas lagi lebat dan merata sampai hari kiamat. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami dan janganlah jadikan kami termasuk orang-orang yang putus asa. Ya Allah, sesungguhnya para hamba(Mu) dan negeri-negeri mengalami kelelahan, kelaparan, dan kesempitan yang tidak bisa kami adukan kecuali kepada-Mu. Ya Allah, tumbuhkanlah untuk kami tanaman-tanaman dan perbanyaklah untuk kami susu (hewan peliharaan kami). Turunkanlah kepada kami berkah langit dan tumbuhkanlah untuk kami berkah bumi. Hilangkanlah musibah dari kami. Tidak ada yang mampu menyibakkannya selain Engkau. Ya Allah, kami memohon ampunan-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun. Turunkanlah kepada kami banyak hujan dari langit.” HR. As-Syafi’i dalam al-Umm.
Lafadz do’a tersebut juga diriwayatkan secara sebagian – sebagian oleh Imam Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Apabila air telah bercucuran, hendaknya mandi di lembah dan bertasbih untuk kilat dan petir.
Hal ini berdasarkan khobar yang diriwayatkan oleh as-Syafi’i rahimahullahu ta’ala:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا سَالَ السَّيْلُ يَقُولُ اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا فَنَتَطَهَّرُ مِنْهُ ، وَنَحْمَدُ اللَّهَ عَلَيْهِ
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika air telah bercucuran beliau bersabda, ‘Keluarlah bersama kami menuju air yang dijadikan suci oleh Allah sehingga kita bisa bersuci dengannya dan memuji Allah karenanya”
Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطَرٌ قَالَ فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَهُ حَتَّى أَصَابَهُ مِنْ الْمَطَرِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا قَالَ لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
Kami diguyur hujan ketika bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau membuka pakaiannya sehingga terkena hujan, lalu kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan hal itu?” beliau menjawab: “Karena hujan ini merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ta’ala.”
Imam an-Nawawi berkata: bahwasanya hujan itu adalah rahmat dan dekat masanya dengan ciptaan Allah ta’ala terhadap rahmat itu, maka beliau bertabaruk (mengambil keberkahan) dengan hujan tersebut.
Adapun bertasbih untuk kilat dan petir adalah berdasarkan riwayat Imam Malik dalam al-Muwattho’ nya dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma: bahwa jika dia mendengar suara petir, dia meninggalkan pembicaraan lalu membaca:
سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ
“Maha Suci Allah, Dzat yang disucikan oleh guruh dengan pujiannya dan para malaikat yang takut kepada-Nya”
Kemudian beliau berkata; “Sesungguhnya ini adalah peringatan keras bagi penduduk bumi.”
Yakni untuk memperingatkan dengannya akan turunnya halilintar, air yang banyak (banjir), dan yang semisalnya. Do’a tersebut diambil dari firman Allah ta’ala:
وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ وَيُرْسِلُ الصَّوَاعِقَ فَيُصِيبُ بِهَا مَنْ يَشَاءُ وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللَّهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ
“Dan guruh bertasbih memuji-Nya, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, sementara mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia Mahakeras siksaan-Nya.” QS. Ar-Ra’du: 13.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.