Sholat Berjama’ah

Hukum sholat fardhu berjama’ah adalah sunnah muakkad (menurut sebagian ulama’ madzhab Syafi’i) baik bagi laki – laki maupun wanita berdasarkan riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma: bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَة

“Shalat berjama’ah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”

Pendapat yang lebih kuat (di dalam madzhab Syafi’i) adalah bahwasanya hukum sholat berjama’ah adalah fardhu kifayah bagi laki – laki yang tinggal menetap atau muqim sedemikian rupa sehingga menampakkan syiar sholat berjama’ah. Hal ini sebagaimana riwayat Abu Dawud yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban:

Dari Abu Ad-Darda` beliau berkata; Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”

Yakni syaithan mengalahkan mereka, menguasai mereka, dan mengelilingi mereka.

Bagi ma’mum berniat untuk mengikuti imam sementara imam tidak demikian agar sah sholatnya ma’mum dalam mengikuti sholatnya imam dan baginya pahala sholat berjama’ah. Hal ini dalam rangka mengamalkan hadits:

إنّمَاالأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ

 “Semua perbuatan tergantung niatnya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Dalam sholat jama’ah, orang yang merdeka boleh berma’mum kepada hamba sahaya, dan orang yang baligh berma’mum kepada anak remaja yakni anak – anak yang telah mendekati baligh. Maksud dari anak – anak yang telah mendekati baligh adalah anak – anak yang mumayyiz (telah dapat membedakan yang baik dan buruk). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhari bahwa Amru bin Salamah radhiyallahu ‘anhu pernah mengimami kaumnya di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat ia berusia enam atau tujuh tahun karena ia lebih faqih dan lebih baik bacaannya.

Tidak sah sholat seorang laki – laki yang berma’mum kepada wanita. Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلَا يَؤُمَّهُمْ وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang mengunjungi suatu kaum maka janganlah dia mengimami mereka, akan tetapi hendaklah yang mengimami mereka adalah salah seorang laki – laki dari mereka.”
Pemahaman dari hadits tersebut adalah: bahwasanya wanita tidak mengimami kaum yang terdapat laki – lakinya.

Tidak sah sholatnya qari’ yang berma’mum kepada orang yang ummi. Qari’ adalah orang yang baik bacaan al-Fatihahnya sementara orang yang ummi adalah orang yang rusak bacaan hurufnya. Tidak sah berimam kepada orang yang ummi karena membaca al-Fatihah secara sempurna adalah rukun sholat. Adapun sholat orang yang ummi adalah sah untuk dirinya sendiri sebagai kebutuhan karena ketiadaan kuasa padanya untuk belajar (namun tentu ia harus terus berupaya agar bacaannya baik).

Sholat berjama’ah bersama imam boleh dilakukan di mana saja di masjid selama imam dapat diketahui sholatnya oleh ma’mum, dan ma’mum posisinya tidak melebihi posisi imam. Maksud sholatnya imam dapat diketahui oleh ma’mum adalah ma’mum dapat mendengar imam atau melihat imam atau mendengar mubaligh (orang yang mengeraskan suaranya agar sampai terdengar hingga ke belakang saat beralih gerakan sholat) atau ma’mum melihat sebagian shof.

Bila imam sholat di dalam masjid sementara ma’mum sholat di luar masjid dekat dengan masjid sedangkan ia mengetahui gerakan imam sholat dan tidak ada penghalang di antaranya yakni tidak ada penghalang untuk menuju ke masjid dan menyaksikan imam maka sholat ma’mum pada tempat tersebut dibolehkan.

Wallahu ‘alam bi as-shawab

Rujukan:
al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *