Allah ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” QS. Al-Maidah : 3.
Di dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan 10 jenis makanan yang diharamkan untuk dimakan yaitu:
1. Bangkai
Bangkai yaitu hewan yang mati pernafasannya dengan sendirinya tanpa disembelih ataupun diburu. Maksud dari bangkai secara syar’i adalah: hewan apa saja yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Bangkai diharamkan untuk dimakan karena keburukannya dan karena pada bangkai tersebut terdapat bahaya akibat tertinggalnya sebagian zat – zat yang berbahaya baik itu karena sakit ataupun karena menyimpan darah di dalamnya. Apabila hewan itu disembelih, darah yang berbahaya itu keluar dari hewan tersebut dengan jalan yang baik. Oleh karena itulah Allah azza wa jalla mengharamkan bangkai.
Maka haram untuk memakan bangkai sesuai kesepakatan para ulama’. Adapun berkaitan dengab rambut dan tulang bangkai, Hanafiyah berkata: keduanya suci dan boleh untuk memanfaatkan keduanya. As-Syafi’i berkata: keduanya najis tidak boleh memanfaatkan keduanya.
Dikecualikan dari keharaman bangkai itu dua jenis bangkai hewan: ikan dan belalang. Hal ini karena riwayat yang disampaikan oleh Ahmad, Daruquthni, Baihaqi, dan Ibnu Majah mengenai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Umar:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah: dua bangkai maksudnya ikan dan belalang, dua darah maksudnya hati dan limpa.”
Disamping itu juga karena riwayat yang disampaikan oleh Malik dalam Muwattho’nya, As-Syafi’i dan Ahmad dalam musnadnya, Abu Dawud, at-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka serta Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam shahih keduanya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai air laut maka beliau bersabda:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
2. Darah
Yakni darah yang mengalir, meleleh, dan tumpah dari hewan dalam keadaan tidak membeku seperti hati dan limpa dan tidak tertinggal pada daging setelah penyembelihan sebagaimana biasanya. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah ta’ala dalam ayat yang lain:
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
“…atau darah yang mengalir…” QS. Al-An’am : 145.
Ibnu ‘Abbas ditanya mengenai limpa maka beliau menjawab: makanlah ia. Beliau berkata: sesungguhnya yang diharamkan atas kalian adalah darah yang mengalir. Yakni cairan yang keluar dari hewan ketika penyembelihan, baik itu sedikit ataupun banyak.
Sebab diharamkannya darah yang mengalir adalah bahwasanya darah itu adalah tempatnya kuman bakteri dan racun serta pada asalnya adalah kotor, sulit dicerna dan mengangkut sisa – sisa kotoran tubuh. Darah juga memiliki golongan yang berbeda – beda yang tidak cocok bagi selainnya, sehingga darah tersebut adalah kotoran dan berbahaya bagi tubuh. Pada masa jahiliah orang Arab melakukan yang demikian itu yaitu memakan darah yang bercampur dengan bulu halus unta yang dinamakan dengan ilhiz kemudian diisikan ke usus dan dimakan (kalau di masa kita sekarang ada makanan dari darah beku yang disebut dengan saren, marus, dedeh, dll).
3. Daging Babi
Yaitu segala sesuatu yang mencakup bagian dari babi hingga minyak dan kulitnya. Dalam QS. Al-Maidah ayat 3 ini disebutkan khusus dagingnya karena itu adalah bagian yang terpenting, sungguh Syara’ telah membenci untuk memanfaatkan seluruh bagian babi dalam firman Allah ta’ala:
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْس
“…atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor…” QS. Al-An’am : 145.
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya dari Buraidah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ
“Barang Siapa yang bermain dadu, maka seolah-olah ia telah melumuri tangannya dengan daging dan darah babi.”
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak untuk menyentuh daging dan darah babi, maka memakannya tentunya lebih keras lagi ancamannya.
Di dalam shahihain (shahih Bukhari dan Muslim) bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang jual beli khamr, bangkai, daging babi serta jual beli berhala.” Ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda dengan minyak (lemak) yang terdapat dalam bangkai? Sebab lemak tersebut bisa digunakan untuk melumasi perahu, untuk meminyaki kulit dan menyalakan lampu?” Lalu beliau bersabda: “Tidak boleh, hal itu tetaplah haram.”
Sungguh suatu kaum telah membolehkan untuk memanfaatkan rambut/bulu babi untuk menjahit karena darurat, namanya darurat itu dihitung sesuai dengan kadar kebutuhannya saja. Di masa sekarang tidak ada lagi kebutuhan darurat tersebut sebab kemajuan industri yang ada.
Sebab diharamkannya daging babi adalah karena di dalamnya terdapat bahaya dan jorok/kotor karena babi suka ditempat kotoran. Babi juga merupakan hewan tempatnya cacing pita. Babi juga susah dicerna karena banyaknya serat otot yang berlemaknya. Babi itu secara karakter juga buruk semisal kurangnya semangat untuk menggauli babi betina dsb. Karakter – karakter itu ditransfer kepada manusia melalui dagingnya dan memakannya.
Apabila terdapat tempat ternak yang modern yang merawat babi dengan higienis, dan terdapat dokter yang mengawasi pemeriksaan dagingnya, maka sesungguhnya hal ini tidak tersedia bagi seluruh manusia, sebagaimana juga bahwasanya bahaya – bahaya yang bersifat maknawi dari babi itu tidak mungkin untuk dihindari. Bagaimanapun juga seorang muslim haruslah berkomitmen mengenai keharamannya secara mutlak. Sama saja baik itu ada sebab yang melarangnya saat ini ataupun tidak ada karena pengharamannya adalah secara syar’i untuk kemaslahatan manusia tanpa terkecuali tidak hanya bagi individu yang tertentu saja.
4. Apa saja yang disembelih karena selain Allah
Yakni apa saja yang disembelih dengan menyebutkan nama padanya selain nama Allah. Makna uhilla dalam QS. Al-Maidah : 3 adalah mengeraskan suara bagi selain Allah ketika menyembelih hewan. Sama saja apakah itu terbatas menyebut nama selain Allah saja seperti “dengan memyebut nama Al-Masih” atau “dengan menyebut nama Fulan” ketika menyembelih, ataukah menggabungkan antara menyebut nama Allah dan nama selain-Nya dengan kata sambung, misalnya saja, “dengan menyebut nama Allah dan nama Fulan”. Apabila menyebut suatu kalimat tanpa kata sambung semisal “dengan menyebut nama Allah, Al-Masih nabiyullah” atau “dengan menyebut nama Allah, Muhammad Rasulullah”, maka pengikut madzhab Hanafi berkata: halal sembelihan tersebut, penyebutan nama selain Allah adalah permulaan perkataan lain, namun makruh format sambungan yang demikian itu.
Sebab pengharamannya adalah karena mengagungkan selain Allah, syirik dan kufur dalam beribadah kepada selain Allah serta mendekatkan diri kepada tuhan – tuhan mereka dengan penyembelihan. Sungguh kaum jahiliah meninggikan suara – suara mereka ketika menyembelih di depan berhala – hala dengan berkata: “dengan menyebut nama Lata dan Uzza atau dengan menyebut nama Hubal”.
Oleh karena itu Islam mengharamkan yang demikian itu karena Allah ta’ala mewajibkan untuk menyembelih hewan – hewan atas nama-Nya saja yang agung. Maka kapan saja seseorang berpaling dari ketetapan syar’i ini dan menyebut nama selain Allah dari nama – nama berhala, thaghut, atau patung, atau yang lainnya dari seluruh makhluk – makhluk-Nya maka sesungguhnya hal itu adalah haram berdasarkan ijma’ atau kesepakatan. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai meninggalkan menyebut nama Allah ketika menyembelih hewan baik itu sengaja ataupun karena lupa, insya Allah pembahasan tersebut akan ada saat membahas surat al-An’am.
5. Hewan yang tercekik.
Yaitu hewan yang mati dengan tercekik mungkin karena dicekik dengan sengaja dan mungkin juga karena tidak sengaja tercekik ikatannya, tercekik tali atau yang lainnya. Maka hewan mati yang tercekik tersebut adalah bangkai yang tidak disembelih dengan tata cara penyembelihan yang syar’i. Bahayanya sama dengan bahayanya bangkai. Al-Qur’an menyebutkannya secara khusus di bawah penjelasan mengenai bangkai agar tidak disangka bahwa hewan yang mati tercekik itu adalah hewan yang mati karena sebab perbuatan yang menyerupai dengan penyembelihan dan tidak mati dengan sendirinya. Hal ini penting bahwa bila penyembelihan itu adalah penyembelihan yang syar’i maka tidak perlu dibicarakan lagi di sini.
6. Hewan yang mati terpukul
Yakni hewan yang dipukul dengan suatu benda yang tumpul seperti kayu, batu, atau batu kerikil hingga mati tanpa penyembelihan syar’i. Sama saja baik itu mati dilempar dengan tangan, ketapel, atau yang selainnya, hewan tersebut adalah bangkai. Orang – orang jahiliah pada masanya memakan hewan – hewan yang mati semacam ini.
Memukul hewan hingga mati adalah haram dalam Islam karena hal itu adalah penyiksaan kepada hewan dan tidak ada padanya penyembelihan.
Imam Ahmad dan Muslim dan para pemilik kitab Sunan meriwayatkan dari Abi Ya’a: Syadad bin Aus radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan senangkanlah hewan sembelihanmu.”
Adapun hewan yang terbunuh dengan sesuatu seperti peluru yang dipergunakan saat ini di senjata api maka dapat dimakan secara syar’i karena riwayat yang disampaikan oleh Ahmad dan Syaikhaan (Bukhari dan Muslim) bahwasanya ‘Adiy bin Hatim berkata:
فَإِنِّي أَرْمِي بِالْمِعْرَاضِ الصَّيْدَ فَأُصِيبُ فَقَالَ إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فَخَزَقَ فَكُلْهُ وَإِنْ أَصَابَهُ بِعَرْضِهِ فَلَا تَأْكُلْهُ
“Bagaimana jika saya melempar buruan dengan anak panah dan mengenainya?” Beliau menjawab: “Apabila kamu melempar dengan anak panah dan dapat mengoyaknya maka makanlah buruanmu itu. Namun jika jika yang mengenai adalah pada bagian yang tumpul maka jangan kamu makan.”
Maka apa saja yang terkena bagian yang tajam dari anak panah atau tombak dan yang sejenisnya maka dihalalkan memakannya, dan apa saja yang terkena bagian yang tumpulnya maka hewan tersebut kalau mati maka mati karena terpukul, tidak halal dagingnya. Ini adalah hal yang disepakati di antara para fuqaha.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam dua pendapat apabila anggota badan binatang buruan menabrak kemudian hewan tersebut mati karena beratnya dan tidak terluka, dua pendapat itu adalah pendapat yang disandarkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah yaitu: yang pertama, tidak halal memakannya sebagaimana dalam kasus anak panah karena hewan tersebut adalah hewan yang mati tanpa luka, maka hewan tersebut adalah hewan yang mati dipukul. Pendapat yang kedua, bahwasanya hewan tersebut halal dimakan karena hukum bolehnya apa saja yang ditangkap/diburu oleh anjing, hewan yang diburu oleh anjing tersebut tidak dirinci lagi, maka hal itu menunjukkan atas bolehnya apa yang disebutkan di atas.
7. Hewan yang mati terjatuh
Yaitu hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi seperti gunung, atap, atau jatuh ke bawah sumur, kemudian mati. Hewan yang mati karena demikian maka tidak halal untuk dimakan sebagaimana bangkai yang tidak dihalalkan tanpa penyembelihan.
8. Hewan yang mati ditanduk
Yakni hewan yang ditanduk oleh hewan lainnya kemudian mati meskipun tanduknya tersebut melukainya dan keluar darinya darah. Hukumnya adalah seperti hukum bangkai, haram memakannya secara syar’i.
9. Hewan yang diterkam binatang buas
Yakni hewan yang terbunuh karena serangan hewan buas seperti singa, serigala, harimau, macan, dan yang sejenisnya. Hewan yang diserang tersebut mati karena hewan buas memakannya sebagian atau melukainya. Tidak halal untuk memakan hewan yang mati demikian itu berdasarkan kesepakatan para ulama’ meskipun mengalir atau bercucuran darahnya. Sebagian orang – orang arab jahiliah memakan apa saja yang tersisa dari hewan yang diterkam hewan buas. Akan tetapi karakter manusia yang selamat akan menganggap hal itu sebagai sebuah kehinaan.
10. Hewan yang disembelih untuk berhala
Di masa jahiliah terdapat patung (nusub) yang terbuat dari batu disekeliling ka’bah. Jumlahnya adalah sebanyak 360 buah patung batu. Orang – orang arab pada masa jahiliah menyembelih hewan di samping patung itu untuk mendekatkan diri kepada patung tersebut yang diagungkan oleh mereka. Mereka melumuri semua rumah yang menghadapnya dengan darah sembelihan tersebut. Seolah – olah mereka menetapkan dengan penyembelihan tersebut adanya kedekatan kepada patung tersebut. Mereka mengiris – iris dagingnya dan meletakkannya pada patung itu. Patung (nusub) bukanlah patung berhala (autsan), patung (nusub) adalah patung batu yang tidak berukir, sementara patung berhala (autsan) adalah patung batu yang berukir.
Maka Allah melarang kaum mukminin dari perbuatan ini dan mengharamkan bagi mereka memakan sembelihan tersebut yang disembelih bagi patung batu. Meskipun saat menyembelihnya disebut nama Allah tetap saja diharamkan, hal itu untuk menjauhi syirik yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sepuluh makanan yang diharamkan oleh Allah untuk dimakan oleh kaum muslimin. Maha Suci Allah yang telah memberikan aturan mengenai makanan ini yang sungguh sangat besar hikmahnya bagi kesehatan manusia itu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui mana yang baik bagi hambanya dan mana yang buruk bagi hambanya karena Allah lah yang menciptakan mereka.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.