Sepuluh Hal Yang Diharamkan atau Sepuluh Perintah – Perintah Dalam QS. Al-An’am

Tafsir QS. Al-An’am: 151-153

Allah ta’ala berfirman:

قُلۡ تَعَالَوۡا۟ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَیۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ وَبِٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ إِحۡسَـٰنࣰاۖ وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَوۡلَـٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقࣲ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِیَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلۡفَوَ ٰ⁠حِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُوا۟ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِی حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ * وَلَا تَقۡرَبُوا۟ مَالَ ٱلۡیَتِیمِ إِلَّا بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ یَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥۚ وَأَوۡفُوا۟ ٱلۡكَیۡلَ وَٱلۡمِیزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُوا۟ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُوا۟ۚ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ *  وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَ ٰ⁠طِی مُسۡتَقِیمࣰا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِیلِهِۦۚ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. QS. Al-An’am: 151-153.

Tafsir dan Penjelasan

Katakanlah Wahai Muhammad kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah, yang mengharamkan apa yang Allah rezekikan kepada mereka, yang membunuh anak – anak mereka, dan yang mengharamkan dan menghalalkan bagi diri mereka sendiri sesuai hawa nafsu dan bisikan syaitan kepada mereka: Marilah dan terimalah, aku bacakan dan aku yakinkan atas kalian serta aku kabarkan kepada kalian apa yang benar -benar diharamkan oleh Rabb kalian, dengan wahyu dan perintah dari sisi-Nya, tidak mengada – ada dan tidak pula menduga – duga, bagi-Nya lah semata – mata hak untuk mensyariatkan dan mengharamkan. Aku adalah Rasul-Nya yang menyampaikan dari-Nya apa yang Ia turunkan yaitu sepuluh wasiat: lima di antaranya dengan bentuk larangan dan lima di antaranya dengan bentuk perintah.

Pengharaman disebutkan secara khusus bersama dengan kalimat perintah yang lebih umum karena penjelasan hal – hal yang diharamkan membutuhkan pemisahan dari pembahasan selainnya. Penjelasan mengenainya dimulai dengan kesyirikan terhadap Allah karena itu merupakan keharaman yang paling besar dosanya.

Perintah – perintah itu adalah sebagai berikut:

1. Meninggalkan Kesyirikan Terhadap Allah:

أَلَّا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔا

Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun. QS. Al-An’am: 151.

Dalam perkataan itu ada yang dihilangkan, perkiraan kata yang dihilangkan itu adalah: Aku perintahkan kalian agar jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya ciptaan yang paling besar seperti matahari, bulan, dan bintang – bintang, atau kuasa dan kedudukan seperti para malaikat, para nabi, dan orang – orang yang shalih, setiap yang demikian itu adalah ciptaan Allah dan hamba-Nya:

إِن كُلُّ مَن فِی ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ إِلَّاۤ ءَاتِی ٱلرَّحۡمَـٰنِ عَبۡدࣰا

Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. QS. Maryam: 93.

Maka wajib atas kalian untuk beribadah dan mengagungkan-Nya saja serta meninggalkan ibadah yang kalian syariatkan atas dasar hawa nafsu.

2. Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua:

وَبِٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ إِحۡسَـٰنࣰا

Berbuat baik kepada ibu bapak. QS. Al-An’am: 151.

Yakni berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan kebaikan yang sempurna yang bersumber dari hati.

Banyak sekali ayat yang Allah ta’ala rangkaikan antara larangan syirik dan perintah untuk mentaati-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini karena Allah ta’ala adalah sumber penciptaan dan penghidupan, dan kedua orang tua adalah perantaranya, keduanyalah yang menegakkan tanggungjawab pengasuhan dan menolak bahaya bagi anak – anaknya. Allah ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوۤا۟ إِلَّاۤ إِیَّاهُ وَبِٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ إِحۡسَـٰنًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. QS. Al-Isra’: 23.

أَنِ ٱشۡكُرۡ لِی وَلِوَ ٰ⁠لِدَیۡكَ إِلَیَّ ٱلۡمَصِیرُ *  وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰۤ أَن تُشۡرِكَ بِی مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمࣱ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِی ٱلدُّنۡیَا مَعۡرُوفࣰا

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. QS. Luqman: 14-15.

Oleh karena itu durhaka kepada kedua orang tua itu termasuk dosa besar dan berbakti serta berbuat baik kepada keduanya termasuk salah satu amal yang paling utama. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Saya bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Amalan apakah yang paling utama? ‘ Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.”

Al-Hafidz ibnu Mardawaih juga meriwayatkan dari Abu Darda’ dan ‘Ubadah bin as-Shamit, masing – masing keduanya berkata:

أَوْصَانِي خَلِيلِي ﷺ: “أَطِعْ وَالِدَيْكَ، وَإِنْ أَمَرَاكَ أَنْ تَخْرُجَ لَهُمَا مِنَ الدُّنْيَا، فَافْعَلْ”

“Kekasihku shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku: Taatilah kedua orang tuamu; dan jika keduanya memerintahkan kepadamu untuk keluar dari dunia ini bagi keduanya, maka lakukanlah.” (Ibnu Katsir berkata, akan tetapi dalam sanad keduanya dhaif).

Berbuat baik kepada kedua orang tua itu: memperlakukan keduanya dengan perlakuan yang mulia yang terpancar dari kasih sayang dan kecintaan, tidak berasal dari rasa takut. Sebagaimana seorang anak memperlakukan kedua orang tuanya, begitulah juga anak – anaknya nanti memperlakukannya meskipun setelah beberapa waktu. At-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

بُرُّوا آبَاءَكُمْ تَبُرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ وَعِفّوا تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ

“Berbaktilah kepada bapak ibu kalian maka anak-anak kalian akan berbakti pada kalian. Jagalah diri kalian maka istri-istri kalian akan menjaga diri. “

3. Pengharaman Mengubur Anak Perempuan Hidup – Hidup:

وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَوۡلَـٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقࣲ

Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. QS. Al-An’am: 151.

Manakala Allah ta’ala memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan nenek moyang, Allah menyambung atas kebaikan yang demikian itu dengan perintah berbuat baik kepada anak – anak dan anak cucu, maka Rasul menyebutkannya: Di antara yang diperintahkan Rabb kalian adalah agar kalian jangan membunuh anak – anak kalian karena takut fakir. Sesungguhnya Allah akan memberi rezeki kalian dan mereka, yakni memberi mereka rezeki mengikuti kalian. Maka janganlah kalian takut fakir saat ini, dan janganlah kalian khawatir akan kefakiran yang kalian kira akan terjadi di masa mendatang. Sesungguhnya Allah ta’ala lah yang menjamin rezki seorang hamba. Ayat ini serupa dengan firman Allah ta’ala:

وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَوۡلَـٰدَكُمۡ خَشۡیَةَ إِمۡلَـٰقࣲۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ وَإِیَّاكُمۡۚ إِنَّ قَتۡلَهُمۡ كَانَ خِطۡـࣰٔا كَبِیرࣰا

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra’: 31.

Perbedaan di antara kedua penjelasan itu adalah: bahwa penjelasan pada Surat Al-An’am itu memaksudkan: janganlah kalian membunuh mereka sebagai akibat dari kemiskinan kalian, sehingga penjelasan dimulai dengan rezki kedua orang tua karena itu merupakan hal terpenting yang mengakibatkannya. Adapun penjelasan pada Surat al-Isra’ maksudnya adalah: Janganlah kalian membunuh mereka karena takut miskin di masa mendatang, maka penjelasan dimulai dengan rezki anak – anak untuk menaruh perhatian terhadap mereka, yakni janganlah kalian khawatirkan kefakiran kalian yang disebabkan rezeki mereka, sesungguhnya itu atas tanggungan Allah. Pada hal ini terdapat isyarat kepada butuhnya penjagaan atas manusia dengan pengharaman menyakiti yang pokok (orang tua) dan cabang – cabangnya (anak – anak) serta penjagaan masing – masing keduanya. Kemudian pengharaman membunuh jiwa manusia secara mutlak ditentukan dalam perintah yang kelima dalam ayat ini nanti.

4. Pengharaman Melakukan Perbuatan yang Keji:

وَلَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلۡفَوَ ٰ⁠حِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ

Janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi. QS. Al-An’am: 151.

Yakni waspadalah kalian dari mendekati perbuatan – perbuatan yang keji yaitu setiap perbuatan yang besar dosa dan keburukannya berupa perkataan dan perbuatan seperti zina dan menuduh wanita baik -baik yang beriman telah berzina, sama saja secara terang – terangan atau secara diam – diam. Orang – orang Arab di masa jahiliyah tidak memandang perbuatan zina yang dilakukan diam – diam sebagai sebuah kerusakan, mereka baru menganggap perbuatan zina yang dilakukan terang – terangan sebagai perbuatan yang tercela. Maka Allah pun mengharamkan keduanya, yang demikian itu semisal dengan firman Allah ta’ala:

قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّیَ ٱلۡفَوَ ٰ⁠حِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡیَ بِغَیۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ یُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنࣰا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” QS. Al-A’raf: 33.

Di dalam Shahihain terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا أَحَدٌ أَغْيَرَ مِنْ اللَّهِ وَلِذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

“Tidak ada yang lebih pencemburu dari Allah. Karena itulah Dia mengharamkan segala yang keji baik yang nampak maupun yang tidak nampak.”

Sa’ad bin ‘Ubadah berkata pada riwayat yang disampaikan oleh Syaikhain: “Kalaulah kulihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku penggal dia dengan pedang di bagian mata pedangnya, bukan dengan pinggirnya.” Berita ini kemudian terdengar oleh Rasulullah ﷺ, sehingga beliau bersabda:

أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ وَاللَّهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللَّهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

“Adakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripada dia, dan Allah lebih cemburu daripada aku, dan karena kecemburuan Allah itulah Allah mengharamkan segala perbuatan yang keji baik yang nampak maupun yang tersembunyi”.

Dikatakan juga: Az-Zhahir itu adalah apa saja yang terkait dengan perbuatan – perbuatan anggota badan, dan Al-Bathin itu adalah apa saja yang terkait dengan perbuatan – perbuatan hati seperti sombong dan hasad.

Abu Syaikh ibnu Hayyan al-Anshari meriwayatkan dari ‘Ikrimah, beliau berkata: “baik yang terlihat”: menzhalimi manusia; “ataupun yang tersembunyi”: zina dan pencurian, yakni karena manusia itu melakukan keduanya secara sembunyi – sembunyi.

5. Mengharamkan Membunuh Manusia Tanpa Hak:

وَلَا تَقۡتُلُوا۟ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِی حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ

Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. QS. Al-An’am: 151.

Larangan membunuh di sini disebutkan secara khusus sebagai bentuk penegasan dan perhatian, meskipun larangan itu sudah termasuk dalam larangan berbuat keji baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi. Yakni Allah mengharamkan atas kalian membunuh jiwa yang haram untuk diserang dengan Islam, atau dengan perjanjian antara kaum muslimin dan kaum yang lainnya seperti ahli kitab yang menetap di negara Islam dengan perjanjian dan perlindungan.

Syaikhain meriwayatkan dari Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah”

At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

أَلَا مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدًا لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يُرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

“Ketahuilah, barangsiapa membunuh seseorang yang terikat janji dengan kaum muslimin dan memiliki jaminan keamanan dari Allah dan rasul-Nya, maka ia telah melanggar perlindungan Allah dan ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya baunya dapat dicium sejauh perjalanan tujuh puluh masa.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara marfu’:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh orang kafir yang telah mengikat perjanjian (mu’ahid) dengan pemerintahan muslimin, ia tak dapat mencium harum surga, padahal harum surga dapat dicium dari jarak empat puluh tahun.”

Adapun pembunuhan yang hak maka ada tiga kondisi yang terdapat penjelasannya dalam hadits Shahihain dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

“Darah seorang muslim yang telah bersyahadat laa-ilaaha-illallah dan mengakui bahwa aku utusan Allah terlarang ditumpahkan selain karena alasan diantara tiga; membunuh, berzina sedangkan dia telah menikah, dan meninggalkan agama, meninggalkan jamaah muslimin.”

Dalam satu lafadz:

كفر بعد إيمان، وزنى بعد إحصان، وقتل نفس بغير حق

“Kafir setelah iman, berzina setelah menikah, dan membunuh jiwa tanpa hak”.

Membunuh itu diharamkan karena merupakan kejahatan besar dalam hak kemanusiaan, juga merupakan pelanggaran atas Sang Pencipta yang mewujudkan dan menyempurnakan segala ciptaan-Nya.

Hal – hal yang diharamkan bagi kalian itu sebagaimana disebutkan dan diperintahkan, adalah agar kalian mengerti perintah – perintah dan larangan – larangan-Nya. Yakni membuat kalian memahami kebaikan dan kemaslahatan pada perbuatan yang diperintahkan dan meninggalkan perbuatan yang dilarang. Al-wasiat itu: tugas bagi manusia untuk melaksanakan kebaikan atau meninggalkan keburukan.

Penutupan ayat ini dengan kalimat itu menunjukkan bahwa kesyirikan yang mereka lakukan dan pengharaman sebagian hewan ternak yang mereka tetapkan adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami faidahnya (lihat tafsir QS. Al-An’am pada ayat – ayat sebelumnya).

6. Penjagaan Harta Anak Yatim:

وَلَا تَقۡرَبُوا۟ مَالَ ٱلۡیَتِیمِ إِلَّا بِٱلَّتِی هِیَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ یَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥ

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. QS. Al-An’am: 152.

Yakni jangan kalian ambil sedikitpun hartanya anak – anak yatim yang kalian pelihara, kecuali bila didalamnya ada maslahat dan manfaat bagi mereka, dalam menjaga harta dan pengembangannya, perlindungannya dari bahaya, dan pengeluaran darinya sesuai kebutuhan. Yang demikian itu seperti firman Allah ta’ala:

إِنَّ ٱلَّذِینَ یَأۡكُلُونَ أَمۡوَ ٰ⁠لَ ٱلۡیَتَـٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا یَأۡكُلُونَ فِی بُطُونِهِمۡ نَارࣰاۖ وَسَیَصۡلَوۡنَ سَعِیرࣰا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). QS. An-Nisa’: 10.

Larangan untuk mendekati sesuatu itu lebih sampai daripada larangan mengenai sesuatu itu sendiri: karena larangan untuk mendekati sesuatu itu mencakup larangan terhadap sebab – sebab dan wasilah – wasilah yang dapat menghantarkannya ke sana, juga dari syubhat yang merupakan tempatnya kerancuan, seperti memakan sesuatu dari hartanya itu di waktu ia menunaikan suatu pekerjaan yang menguntungkannya. Sungguh Allah ta’ala melarang makan dari harta anak yatim kecuali karena terpaksa atau kebutuhan. Allah berfirman:

وَلَا تَأۡكُلُوهَاۤ إِسۡرَافࣰا وَبِدَارًا أَن یَكۡبَرُوا۟ۚ وَمَن كَانَ غَنِیࣰّا فَلۡیَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِیرࣰا فَلۡیَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ

Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. QS. An-Nisa’: 6.

Harta – harta anak yatim itu diserahterimakan kepada mereka ketika telah dewasa. Oleh karena itulah Allah ta’ala berfirman:

حَتَّىٰ یَبۡلُغَ أَشُدَّهُۥ

Sampai dia mencapai (usia) dewasa. QS. Al-An’am: 152.

Yakni janganlah kalian mendekati harta anak yatim hingga mereka dewasa dalam hal kebijaksanaan, kekuatan, kepemilikan, dan mentalnya. Yang demikian itu sebagaimana dikatakan oleh As-Sya’bi, Malik, dan sekelompok Salaf: hingga mimpi basah, dan mimpi basah itu biasanya antara usia lima belas dan delapan belas tahun:

فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدࣰا فَٱدۡفَعُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡ أَمۡوَ ٰ⁠لَهُمۡ

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. QS. Al-An’am: 6.

Maksud dari ayat itu: menjaga harta anak yatim hingga ia dewasa tanpa menghambur – hamburkannya atau menyia – nyiakannya.

7 dan 8. Menyempurnakan Takaran dan Timbangan Dengan Adil:

وَأَوۡفُوا۟ ٱلۡكَیۡلَ وَٱلۡمِیزَانَ بِٱلۡقِسۡطِ

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. QS. Al-An’am: 152.

Yakni sempurnakanlah takaran ketika kalian menakar bagi manusia, jangan menambahinya jika kalian menakarnya bagi diri sendiri, sempurnakanlah timbangan jika kalian menimbang sendiri pada apa yang kalian beli atau bagi orang lain pada apa yang kalian jual. Sehingga tidak ada padanya kelebihan dan kekurangan, sempurna dengan adil tanpa pengurangan sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَیۡلࣱ لِّلۡمُطَفِّفِینَ * ٱلَّذِینَ إِذَا ٱكۡتَالُوا۟ عَلَى ٱلنَّاسِ یَسۡتَوۡفُونَ * وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ یُخۡسِرُونَ

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. QS. Al-Muthaffifin: 1-3.

Yakni memenuhi hak dalam dua keadaan: saat menjual dan saat membeli.

Firman Allah ta’ala dalam QS. Al-An’am ayat 152: بِٱلۡقِسۡطِ (dengan adil), mewajibkan untuk memeriksa keadilan dalam menjual dan membeli sesuai kemampuan. Oleh karena itu lah Allah ta’ala berfirman:

لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا

Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. QS. Al-An’am: 152.

Yakni Allah tidak membebani seseorang kecuali apa yang sanggup ia kerjakan dengan membuatnya tanpa kesukaran dan kesulitan yakni dengan kadar kemampuan dan tenaganya. Maka jika seseorang keliru tanpa ada maksud maka ia tidak berdosa.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Said ibnu al-Musayyab beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda berkenaan dengan ayat:

وَأَوۡفُوا۟ ٱلۡكَیۡلَ وَٱلۡمِیزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. QS. Al-An’am: 152.

مِنْ أَوْفَى عَلَى يَدِهِ فِي الْكَيْلِ وَالْمِيزَانِ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ صِحَّةَ نِيَّتِهِ بِالْوَفَاءِ فِيهِمَا، لَمْ يُؤَاخَذْ. وَذَلِكَ تَأْوِيلُ {وُسْعَهَا}

Barang siapa yang menunaikan dengan sempurna takaran dan timbangan yang ada di tangannya —Allah lebih mengetahui kebenaran niatnya dalam melakukan keduanya—, maka ia tidak berdosa. Demikianlah takwil ‘menurut kesanggupannya’.

Hadis ini berpredikat mursal garib.

Akibat dari mengurangi takaran dan timbangan sangatlah buruk dan diberi peringatan dengan balasan yang pedih sebagaimana Allah ta’ala menceritakan kaumnya Nabi Syuaib ‘alaihissalam:

وَیَـٰقَوۡمِ أَوۡفُوا۟ ٱلۡمِكۡیَالَ وَٱلۡمِیزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا تَبۡخَسُوا۟ ٱلنَّاسَ أَشۡیَاۤءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِینَ

Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan. QS. Hud: 85.

9. Adil Dalam Perkataan atau Hukum:

وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُوا۟ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰ

Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu). QS. Al-An’am: 152.

Yakni bicaralah sejujurnya dalam persaksian atau hukum meskipun yang dibicarakan itu adalah karib kerabat kalian. Jika itu disampaikan secara jujur maka jadi baiklah urusan – urusan umat dan individu – individunya. Hal itu adalah pondasi pemerintahan dan peradaban serta kaidah hukumnya. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّ ٰ⁠مِینَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَاۤءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰۤ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِینَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. QS. An-Nisa’: 135.

Adil dengan perkataan ini sama halnya dengan tuntutan sebelumnya untuk adil dalam perbuatan seperti takaran dan timbangan.

10. Penepatan Janji:

وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُوا۟

Dan penuhilah janji Allah. QS. Al-An’am: 152.

Yakni penuhilah janji dengan Allah, yang demikian itu adalah dengan pemenuhan dan penjagaannya, mentaati Allah pada apa saja yang diperintahkan dan dilarang-Nya, serta beramal dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Pemenuhan janji itu mencakup:

1. Apa saja yang Allah tugaskan kepada manusia melalui lisan para Rasul dan apa saja yang Allah berikan kepada mereka berupa akal dan fitrah yang selamat sebagaimana firman Allah ta’ala:

أَلَمۡ أَعۡهَدۡ إِلَیۡكُمۡ یَـٰبَنِیۤ ءَادَمَ أَن لَّا تَعۡبُدُوا۟ ٱلشَّیۡطَـٰنَۖ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوࣱّ مُّبِینࣱ

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu. QS. Yasin: 60.

2. Apa saja yang manusia janjikan atas-Nya sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَأَوۡفُوا۟ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ إِذَا عَـٰهَدتُّمۡ

Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. QS. An-Nahl: 91.

3. Apa saja yang saling dijanjikan antar manusia. Sebagaimana firman Allah ta’ala mengenai sifat kaum mu’minin:

وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَـٰهَدُوا۟

Orang-orang yang menepati janji apabila berjanji. QS. Al-Baqarah: 177.

ذَ ٰ⁠لِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat. QS. Al-An’am: 152.

Yakni Allah ta’ala memerintahkan kalian dengan harapan kalian mengambil pelajaran dan berhenti dari apa yang kalian kerjakan sebelum ini, juga untuk mengingatkan sebagian kalian dengan sebagian lainnya dalam pengajaran dan wasiat yang Allah perintahkan:

وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ

Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. QS. Al-‘Ashr: 3.

Kemudian Allah ta’ala menutup perintah – perintah ini dengan penjelasan bahwa ini adalah manhaj yang benar dan jalan yang lurus. Allah ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَ ٰ⁠طِی مُسۡتَقِیمࣰا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِیلِهِۦۚ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. QS. Al-An’am: 153.

Yakni oleh karena ini adalah jalan yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan janganlah mengikuti jalan yang berbeda yang mengikuti hawa nafsu, kebid’ahan, dan kesesatan sehingga mengantarkan kalian kepada perpecahan dan perselisihan serta penyimpangan dari agama Allah yang haq dan manhaj-Nya yang lebih utama. Ibnu Abbas berkata berkenaan dengan firman-Nya: “Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain)”: Allah memerintahkan kaum mu’minin untuk berjamaah dan melarang mereka dari perselisihan dan berpecah belah, dan Dia mengabarkan bahwasanya orang – orang sebelum kalian itu celaka karena perbantahan dan pertengkaran pada agama Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan jalan yang lurus itu. Imam Ahmad, an-Nasa’i, Abu Syaikh ibnu Hayyan, dan al-Hakim meriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud beliau berkata:

خَطَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ مُسْتَقِيمًا قَالَ ثُمَّ خَطَّ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ السُّبُلُ وَلَيْسَ مِنْهَا سَبِيلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ { وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ }

“Rasulullah ﷺ pernah membuat garis dengan tangannya, lalu beliau mengatakan, “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau membuat garis di samping kanan dan kirinya seraya bersabda, “Ini adalah jalan-jalan, tidak ada satu jalan pun kecuali ada setan yang menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat: ‘ (Dan sesungguhnya ini adalah jalan-ku yang lurus maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain)) ‘ (QS. Al-An’aam: 153).

Ahmad, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i meriwayatkan dari an-Nawwas bin Sam’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تَتَفَرَّجُوا وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ جَوْفِ الصِّرَاطِ فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ قَالَ وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ تَعَالَى وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِي فَوْقَ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ

“Allah memberikan perumpamaan berupa jalan yang lurus. Kemudian di atas kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding. Dan pada kedua dinding itu terdapat pintu-pintu yang terbuka lebar. Kemudian di atas setiap pintu terdapat tabir penutup yang halus. Dan di atas pintu jalan terdapat penyeru yang berkata, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah kalian semua ke dalam shirath dan janganlah kalian menoleh kesana kemari.’ Sementara di bagian dalam dari Shirath juga terdapat penyeru yang selalu mengajak untuk menapaki Shirath, dan jika seseorang hendak membuka pintu-pintu yang berada di sampingnya, maka ia berkata, ‘Celaka kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya.’ Ash Shirath itu adalah Al Islam. Kedua dinding itu merupakan batasan-batasan Allah Ta’ala. Sementara pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dan adapun penyeru di depan shirath itu adalah kitabullah (Al-Qur’an) ‘Azza wa Jalla. Sedangkan penyeru dari atas shirath adalah penasihat Allah yang terdapat pada setiap kalbu seorang muslim.”

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *