Puasa pada permulaan Islam dimulai dengan puasa tiga hari pada setiap bulan dan puasa Asyura’.
Kemudian turun firman-Nya:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah: 183.
Maka barang siapa yang menghendaki, ia berpuasa. Barang siapa yang menghendaki, ia berbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala di akhir ayat:
وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةࣱ طَعَامُ مِسۡكِینࣲ
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” QS. Al-Baqarah: 184.
Kemudian turun firman-Nya:
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡیَصُمۡهُ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.” QS. Al-Baqarah: 185.
Maka puasa menjadi wajib bagi siapa saja yang menyaksikan bulan Ramadhan selama ia mampu untuk melaksanakannya.
Imam Abu Dawud meriwayatkan secara mursal dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ…فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Pelaksanaan puasa telah mengalami perubahan tiga kali…Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengerjakan puasa tiga hari setiap bulan, dan pada hari Asyura’, kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat (yang artinya): “Telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu…, sampai dengan FirmanNya: (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah: 183 184).
Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ قَبْلَ رَمَضَانَ فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ قَالَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Dahulu hari Asyura’ adalah hari berpuasa sebelum Ramadhan, tatkala datang bulan Ramadhan, beliau bersabda: “Barang siapa yang ingin berpuasa Asyura’ hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang tidak ingin, maka berbukalah.”
Dalam satu riwayat beliau radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan puasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharam).”
Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Malik:
كَانَ هُوَ الْفَرِيضَةُ
“Puasa itulah (Ramadhan) yang diwajibkan”.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Samurah, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ لَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ
“Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa di hari ‘Asyura` dan beliau selalu menganjurkan untuk selalu melakukannya, maka ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau tidak lagi memerintahkan kami, dan tidak pula melarang kami dan tidak pula memperhatikan apakah kami berpuasa atau tidak.”
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dengan ta’liq (komentar) yang menggunakan shighat jazm atau pasti, dari al-A’masy bin Amru beliau berkata: “Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepada kami, ketika turun ayat mengenai Ramadhan, mereka kesulitan, di antara mereka ada yang memberi makan orang miskin setiap hari karena meninggalkan puasa, bagi orang yang berat menjalankannya. Mereka diberi keringanan pada yang demikian itu. Kemudian hal itu dinasakh atau dihapuskan oleh ayat:
وَأَن تَصُومُوا۟ خَیۡرࣱ لَّكُمۡ
“Dan puasamu itu lebih baik bagimu.” QS. Al-Baqarah: 184.
Maka mereka pun diperintahkan untuk berpuasa.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Salamah bin Akwa’:
لَمَّا نَزَلَتْ
{ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ }
كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
“Tatkala turun ayat; “Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin, ” adalah barang siapa yang ingin berbuka maka hendaklah membayar fidyah, hingga turunlah ayat setelahnya yang menasakh (menghapus) ayat tersebut.”
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Fiqih As-Shiyam oleh Dr. Muhammad Hasan Hitou