Sebab Mendapatkan Ganjaran Atau Balasan

Tags:

Ini adalah topik bahasan yang ketiga dari lima topik bahasan yang saling berhubungan yang telah disebutkan sebelumnya. Topik tersebut yaitu sebab didapatnya ganjaran yakni apa saja yang diminta pertanggungjawabannya pada seorang mukalaf sehingga ia mendapatkan pahala atau berhak untuk mendapatkan hukuman? Untuk kejelasan urusan ini sudah seharusnya kita memperhatikan apa saja yang datang dari Sunnah Nabawiyah as-Syarifah yang terkait dengan topik ini:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah akan menggugurkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ

“Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia baligh.” HR. Abu Dawud dan yang lainnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Oleh karena itulah para fuqaha’ (ahli fiqih) sepakat bahwa orang yang melakukan suatu perbuatan karena tersalah, lupa, terpaksa, tidur, gila, dan anak yang masih kecil tidak berdosa dalam perbuatan -perbuatan mereka meskipun menyelisihi hukum – hukum syar’i seperti berbohong atau minum hingga mabuk dst.

Akan tetapi, sifat apakah yang sama – sama ada pada diri mereka saat itu? Sesungguhnya saat itu mereka tidak memiliki ikhtiyar (pilihan) yang sempurna.

Bila demikian maka ikhtiyar itu adalah sebab dari adanya taklif (beban hukum) dan sebab dari didapatnya pahala atau hukuman. Apabila seorang mukallaf memilih amal sholih maka ditulis baginya pahala, apabila ia memilih amal yang diharamkan maka ditulis baginya dosa. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kesaksian akan hal ini:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka”. aku pun bertanya: “Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang terbunuh?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuh temannya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyamakan hukuman antara yang membunuh dengan yang dibunuh karena kesamaan keduanya dalam ikhtiyar dan azam. Semisal dengan hal itu adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ حَقِّهِ وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللَّهُ عِلْمًا وَلَا مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ

“Permisalan ummat ini bagaikan empat orang laki-laki, yaitu; seorang laki-laki yang diberikan oleh Allah berupa harta dan ilmu, kemudian dia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya. Seseorang yang diberi oleh Allah berupa ilmu dan tidak diberikan harta, lalu dia berkata; “Seandainya saya memiliki seperti yang dimiliki orang ini, niscaya saya akan berbuat seperti yang ia perbuat.” Maka dalam urusan pahala, mereka berdua sama. Dan seorang laki-laki yang diberi oleh Allah berupa harta dan tidak diberi ilmu, maka ia menyia-nyiakan hartanya dan membelanjakannya bukan kepada jalan yang benar. Serta seorang laki-laki yang tidak diberi oleh Allah berupa harta dan juga ilmu, lalu dia berkata; “Seandainya aku memiliki seperti yang dimiliki orang ini, niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka dalam urusan dosa, mereka berdua sama.” HR. Ibnu Majah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyamakan balasan kebaikan antara orang pertama dan orang kedua karena kesamaan keduanya dalam ikhtiyar kebaikan dan berazam terhadapnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyamakan dosa antara orang ketiga dan keempat karena kesamaan keduanya dalam ikhtiyar keburukan dan berazam terhadapnya.

Hal yang tampak jelas dari hadits tersebut adalah bahwasanya yang dihisab dari seorang hamba itu adalah azam dan ikhtiyarnya karena secara zhahir salah satunya tidak memiliki apa yang dimiliki oleh yang lain.

Perbuatan itu adalah ciptaan Allah ta’ala sebagaimana telah dibahas sebelumnya, begitu juga dengan kekhususan segala sesuatu juga merupakan ciptaan Allah ta’ala. Untuk memberi contoh akan hal ini misalnya saja sebuah perbuatan ikhtiyari yang mudah dilakukan oleh seorang mukallaf yaitu ia membakar sehelai daun. Perbuatan tersebut baginya terdiri atas beberapa bagian. Yang menjadikan api dapat membakar daun adalah Allah, yang menjadikan daun dapat terbakar adalah Allah, yang menciptakan daun dan api juga Allah ta’ala, yang mengajarkan manusia bahwasanya api itu dapat membakar daun adalah Allah, yang memberikan anugrah kuasa kepada otak manusia untuk mampu mengeluarkan perintah bagi otot dengan perantara saraf adalah Allah ta’ala, yang menciptakan otak, saraf, dan otot serta menganugerahkannya kepada manusia juga Allah ta’ala, yang menciptakan oksigen sehingga proses pembakaran dapat terjadi juga Allah ta’ala, dan bagian -bagian lainnya yang banyak yang semestinya ada agar proses pembakaran dapat terjadi semuanya itu adalah ciptaan Allah ta’ala. Bila telah sempurna proses pembakaran itu maka itu juga ciptaan Allah ta’ala. Lalu apa yang tersisa bagi seorang hamba setelah yang demikian itu? Yang tersisa bagi seorang hamba adalah ikhtiyar (pilihan), dan adalah Allah yang menjadikan seorang hamba dapat memilih:

وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ

“Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah kehendaki.” QS. Al-Insan: 30.

Bila dicabut darinya adanya ikhtiyar (pilihan) itu, maka terputuslah darinya adanya taklif sebagaimana telah dibahas di atas.

Oleh karena itu maka Allah ta’ala memberikan adanya ikhtiyar bagi seorang hamba dan menunjukkan kepadanya kekhususan – kekhususan segala sesuatu serta menundukkannya baginya. Apabila seorang hamba memilih untuk menggunakan kekhususan – kekhususan sesuatu tersebut untuk kebaikan maka ia mendapatkan pahalanya. Apabila seorang hamba memilih untuk menggunakannya untuk keburukan maka ia mendapatkan dosanya. Sama saja apakah sampai kepada maksudnya tersebut ataukah tidak dalam kedua kondisi tersebut.

Bila kita perhatikan pilihan seorang hamba untuk mengerjakan suatu perbuatan yang bersifat pilihan, usahanya dengan sebab – sebabnya, dan munculnya perbuatan tersebut darinya maka kita nisbatkan perbuatan tersebut kepadanya. Kita katakan: ia membakar, ia membunuh, ia sholat, ia bershodaqoh, dst. Bila kita perhatikan bagian – bagian kecil dari perbuatan yang bersifat pilihan tersebut dan bahwasanya yang menciptakan perbuatan – perbuatan tersebut adalah Allah ta’ala tanpa keraguan bahkan sesungguhnya yang memberikan adanya pilihan itu juga adalah Allah ta’ala: kita nisbatkan perbuatan tersebut kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ

“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.” QS. Al-Anfal: 17.

أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ

“Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” QS. Al-Waqi’ah: 64.

Allah ta’ala juga berfirman:

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.” QS. An-Nahl: 32.

Bagian atau andil manusia yang kecil dalam sebuah perbuatan tidak dapat dianggap remeh. Kalaulah tidak karena itu, Allah tidak akan menurunkan kitab, mengutus Rasul, dan memberi beban kepada para mukallaf. Bila manusia itu dipaksa dalam melakukan perbuatan – perbuatannya tanpa adanya pilihan sebagaimana halnya tumbuhan dan hewan, maka Allah tidak akan memberikan taklif, memuliakannya, dan menyiapkan surga baginya.

Oleh karena inilah Ahlus Sunnah tidak mengatakan sebagaimana kaum Jabariyah yang mengatakan: manusia itu dipaksa mengerjakan semua perbuatannya, manusia itu seperti bulu yang melayang -layang di udara. Hal ini karena bila benar demikian, Allah tidak akan membebaninya dengan sesuatupun, sebab bagaimana bisa menuntut suatu amal darinya sementara ia tak punya pilihan terhadapnya kemudian memberikan hukuman bila ia tak mengerjakannya dan memberi ganjaran pahala bila ia mengerjakannya?!

Ahlus Sunnah juga tidak mengatakan sebagaimana perkataannya kaum Mu’tazilah dan orang – orang yang sepakat dengan mereka, mereka berkata: sesungguhnya manusia itu menciptakan perbuatan – perbuatannya dengan kuasa yang diciptakan Allah padanya. Hal ini karena sebagaimana telah kita ketahui bahwa manusia tidak dapat berbuat segala apa yang ia kehendaki, juga sebagaimana telah dibahas bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu sama saja apakah itu dzat atau perbuatan. Akan tetapi berlaku sunnatullah pada ciptaan-Nya bahwa Ia menciptakan dampak saat adanya yang mengakibatkan dampak tersebut. Maka Allah menciptakan hilangnya haus ketika minum dan terbakar ketika terkena api. Maka sebagian orang mengira bahwa air lah yang menghilangkan haus dan api lah yang membakar.

Sebagai rangkuman: bahwa bagi manusia itu ada perbuatan yang sifatnya pilihan dan perbuatan yang sifatnya tidak ada pilihan. Baginya ada usaha atas perbuatan – perbuatan yang bersifat pilihan dan itu adalah ungkapan atas adanya pilihan baginya. Pilihan itu menggunakan sebab – sebab yang dapat melaksanakan perbuatan tersebut. Akan tetapi ikhtiyar (pilihan) tersebut tidak menciptakan perbuatan, penciptanya adalah Allah ta’ala dan ini adalah masalah yang dalam. Yang penting adalah kita tidak meyakini bahwa manusia itu dipaksa atas perbuatan – perbuatannya sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Jabariyah dan kita tidak meyakini bahwasanya manusia menciptakan perbuatan – perbuatannya sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini karena dalil – dalil syar’iyah yang ada menunjukkan atas penafian keterpaksaan dan penafian penciptaan dari selain Allah ta’ala.

Dengan demikian jelaslah bagi seorang mu’min bahwasanya bila Allah ta’ala memberi balasan atas amal sholih maka yang demikian itu adalah keutamaan dari-Nya. Dia lah yang menyesuaikannya dengan amal sholih dan menciptakannya pada diri manusia kemudian menjadikannya baik dan menisbatkannya kepada orang yang secara zhahir mengerjakannya sebagaimana firman-Nya:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” QS. Al-Mu’minun: 1-2.

Maka balasan-Nya atas amal sholih adalah keutamaan mutlak bukan sebuah kewajiban atas Allah azza wa jalla.

Bila Ia mengadzab atas amal – amal yang diharamkan, maka itu adalah keadilan-Nya karena Allah azza wa jalla tidak memaksa seorang hamba untuk melakukan sebuah perbuatan, akan tetapi hamba itu lah yang memilih perbuatan maksiat dan mengusahakan sebab – sebab terjadinya.

Tidak ada keraguan bahwasanya Allah ta’ala kuasa untuk memaksa manusia mengerjakan amal – amal sholih dan kuasa pula untuk memaksa mereka mengerjakan selainnya, Allah ta’ala berfirman:

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ ۖ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

“Katakanlah (Muhammad), “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” QS. Al-An’am: 149.

Akan tetapi hal ini menafikan adanya ikhtiyar (pilihan), oleh karena itu Allah menganugerahkan ikhtiyar kepada manusia dan menjadikannya mungkin berbuat baik atau buruk agar ia dihisab setelahnya atas pilihannya.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *