Al-hawadits (الحواديث) adalah segala sesuatu selain Allah ta’ala dan telah kita tetapkan pada pembahasan – pembahasan sebelumnya bahwa selain Allah ta’ala adalah haadits (حادث) atau baru atau ada awalnya dan makhluknya Allah azza wa jalla. Maka Dzatnya Allah ta’ala tidaklah seperti dzatnya makhluk – makhluk-Nya. Setiap sifat dari sifat – sifatnya tidak seperti sifat – sifat makhluk – makhluk-Nya. Setiap perbuatan-Nya tidaklah seperti perbuatan makhluk – makhluknya. Allah subhanahu wa ta’ala berbicara mengenai dirinya sendiri:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” QS. As-Syuro : 11.
Sebagian al-hawaadits disifati dengan bahwasanya ia memiliki jasad yang tersusun dari atom dan sel. Ia memiliki dimensi panjang, berat, dan warna. Setiap yang haadits selalu dibatasi oleh zaman dan tempat. Sifat – sifat ini semuanya mustahil bagi Allah ta’ala karena semua dzat – dzat tersebut adalah haadits (baru) dan makhluk yang diciptakan. Sementara Allah ta’ala bersifat qadim (dahulu) tidak menyerupai dzat yang memiliki awal dan akhir.
Seorang manusia apabila ia tidak dapat mengindra sesuatu namun ia mengetahui keberadaannya, maka ia akan berkhayal. Akan tetapi khayalannya tersebut tidak melampaui hal -hal yang dapat diindera meskipun ia menyusunnya dengan jalan yang tidak umum. Sebagai contoh misalnya ada sebagian orang ketika ia mendengar Buroq yang disebutkan di dalam hadits mengenai isra’ nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam namun ia tidak melihatnya, maka ia mulai menggambarkan bahwa Buroq itu kuda yang punya sayap, berwajah perempuan, dan pada kepalanya terdapat mahkota. Penggambaran yang demikian itu tidak terdapat di alam semesta, namun bagian – bagian dari penggambaran tersebut ada wujudnya. Raganya kuda itu ada wujudnya, sayap juga ada wujudnya, demikian pula dengan wajah seorang manusia dan juga mahkota. Urusan – urusan tersebut semuanya kembali kepada bagian – bagian dari sesuatu yang dapat diindera dan diketahui oleh panca indera.
Adapun Allah ta’ala keadaannya tidak diketahui oleh panca indra, maka ketika imajinasi menggambarkannya ia telah salah. Kesalahan itu terjadi karena ia menyerupakan-Nya dengan al-hawaadits (yang baru ada). Allah ta’ala berfirman mengenai diri-Nya sendiri:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” QS. As-Syuro : 11.
Oleh karena itu para ulama’ mengatakan: “segala sesuatu yang datang pada pikiran anda maka Allah ta’ala tidaklah seperti itu”. Hal ini karena segala sesuatu yang datang pada pikiran kita adalah sesuatu yang haadits (baru) yang dapat diindera.
Para ulama’ juga berkata: “meninggalkan untuk mengetahui itu adalah mengetahui, dan pembahasan mengenai Dzat Allah adalah musyrik”. Hal ini karena yang dibahas dengan panca indera dan pikiran adalah segala sesuatu yang terindera dan haadits (baru). Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah ta’ala menyerupai sesuatu yang terindera maka sungguh ia telah meyakini tuhan yang lain selain Allah ta’ala dan ia telah jatuh dalam kesyirikan.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.