Sifat ma’ani (jama’ dari ma’na yaitu sesuatu yang mengikuti dzat) sebagaimana telah dibahas sebelumnya yaitu sifat bagi Dzat yang dengan sifat tersebut Dzat Allah ta’ala disifati. Dalil atas sifat – sifat ma’ani bagi Allah ini adalah menurut ketetapan-Nya. Atau sebagaimana perkataan ulama’: setiap sifat yang berdiri bersama yang disifati maka sifat tersebut wajib baginya. Adapun sifat ma’ani yang berdiri di atas dalil ada tujuh:
Qudroh (kuasa), Iradah (kehendak), Ilmu, Hayah (hidup), Kalam, Sama’ (mendengar), Bashor (melihat).
Kami tidak menambah selain sifat tersebut kecuali berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah. Karena tidak boleh kita mensifati Allah ta’ala dengan suatu sifat yang Allah tidak mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dalam Qur’an maupun Sunnah. Tidaklah kita temukan di dalam Qur’an maupun Sunnah sifat – sifat ma’ani selain daripada sifat – sifat ini ataupun yang memiliki interpretasi ke sana. Berikut ini kita akan membahas mengenai sifat kalam bagi Allah ta’ala:
Kalam
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (firman Allah)…” QS. At-Taubah: 6.
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara (berkalam) kepada Musa dengan langsung.” QS. An-Nisa’: 164.
Setiap muslim meyakini bahwasanya Al-Qur’an adalah kalamullah, akan tetapi kita juga mengetahui bahwa sifat Allah ta’ala tidak menyerupai sifat makhluk – makhluk. Al-Qur’an adalah perkataan dalam bahasa arab baik kosa katanya maupun susunannya, maka bagaimanakah dapat dikatakan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah? Atau bagaimanakah dapat dikatakan: sesungguhnya sifat Allah tidak menyerupai sifat makhluk – makhluknya? Pertanyaan ini menimbulkan masalah di antara kaum muslimin dan menimbulkan fitnah yang karenanya menimbulkan bahaya bagi Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama – ulama’ yang lainnya di masa lalu. Bisa jadi sebagian kaum muslimin lalai untuk beramal dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an, sehingga mereka lalai dari firman-Nya:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. QS. Ali Imran: 7-8.
Maka kaum muslimin yang awal meyakini bahwasanya Allah ta’ala mutakalimun (berbicara) dan bahwasanya Al-Qur’an itu adalah kalamullah, sehingga mereka beramal dengan apa yang ada di dalamnya tanpa masuk ke dalam pembahasan yang keliru. Ini adalah posisi Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika ditanya mengenai al-Qur’an: apakah Al-Qur’an itu pencipta (khaliq) atau makhluk? Beliau berkata: ia adalah kalamullah, dan beliau berkata: Al-Qur’an adalah qadim, tanpa merincinya.
Mungkin merupakan hal yang tepat untuk kami bicarakan ringkasan pendapat – pendapat kaum muslimin mengenai hal ini. Karena ada sebagian manusia yang tidak cukup dengan apa yang dikatakan oleh imam Ahmad.
1. Adapun kaum mu’tazilah mereka berkata: Al-Qur’an itu adalah huruf dan suara yang menyerupai perkataan orang Arab. Maka tidak mungkin hal itu adalah sifat Allah yang qadim (dahulu) karena hal ini menetapkan adanya tasybih (keserupaan). Maka Al-Qur’an adalah makhluknya Allah ta’ala. Setiap perkataan sudah seharusnya terdiri atas huruf dan suara. Maka perkataan apapun yang disandarkan kepada Allah ta’ala adalah perkataan yang diciptakan oleh Allah pada sesuatu dari makhluknya, seperti perkataan yang didengar oleh Musa dari arah pohon. Kalam atau perkataan disandarkan kepada Allah ta’ala karena Ia menciptakannya. Kaum Mu’tazilah hendak membawa manusia kepada pemahaman yang demikian itu dengan pedangnya (kekuasaannya) Khalifah Al-Ma’mun yang merupakan seorang Mu’tazilah.
2. Berlawanan dengan pendapatnya Mu’tazilah tadi adalah pendapatnya Hanabilah (Orang yang menisbatkan diri kepada Imam Ahmad, bukan perkataan Imam Ahmad sendiri), mereka berkata: Al-Qur’an itu qadim (dahulu) dengan hurufnya, maknanya, dan lafadznya. Sebagian mereka berlebihan dengan mengatakan: kertas yang tertulis al-Qur’an padanya adalah qadim. Mereka mencela Imam Bukhari karena beliau mengatakan: lafadz al-Qur’an yang aku ucapkan adalah haadits (baru). Yakni apa yang didengar dariku sementara aku membaca al-Qur’an adalah haadits (baru).
3. Adapun al-Asya’irah mereka berkata: Sebutan Al-Qur’an itu berlaku untuk makna – maknanya dan suara yang kita dengar. Kita menamakannya al-Qur’an dan kalamullah. Sebutan Al-Qur’an itu juga berlaku atas huruf – huruf yang tertulis di atas kertas dan berlaku juga atas kertas serta jilidan kertas yang di dalamnya terdapat huruf – huruf al-Qur’an. Sebutan tersebut juga berlaku atas makna yang ditunjukkan oleh suara. Adapun tulisan maka ia menunjukkan kepada suara. Tidak diragukan lagi bahwa suara itu adalah haadits (baru) maka tidaklah ia sebagai sifat bagi Allah ta’ala, demikian halnya juga dengan huruf, kertas, dan kata. Bahkan bahasa Arab itupun adalah haadits (baru) karena ia adalah huruf dan kata, sebagiannya datang setelah sebagian lainnya. Sementara al-qadiim (yang dahulu) tidaklah sebagiannya mendahului dan sebagiannya didahului.
Sekarang tersisa makna yang ditunjukkan oleh lafadz. Makna inilah yang qadim (dahulu), itulah kalamullah ta’ala. Meski demikian, apakah benar mengatakan hal ini secara bahasa: sesungguhnya kalam itu adalah makna? Apabila kita perhatikan fakta manusia, maka kita dapati bahwasanya lafadz yang tidak memiliki makna tidak disebut dengan kalam dan kita dapati pula bahwa lafadz menunjukkan kepada makna di dalam dirinya sendiri. Kita katakan: Fulan menghadirkan kalam (perkataan) di dalam dirinya sendiri. Kita dapati bahwa sebuah makna bisa jadi didatangkan dari dirinya dengan isyarat tangan, isyarat kepala, isyarat mata, dan lain sebagainya. Sungguh hal ini banyak sekali terjadi di zaman kita sekarang ini misalnya dalam bentuk sinyal lalu lintas dan yang lainnya. Bahkan huruf itu adalah isyarat atas lafadz, sedangkan lafadz menunjukkan atas makna. Itulah maksud dari perkataan kami: sesungguhnya kalamullah adalah qadim, atau sesungguhnya al-Qur’an adalah qadim, yakni makna yang ditunjukkan oleh kata yang tertulis atau kata yang dilafadzkan. Adapun suara, huruf – huruf, kata, dan kertas, maka ini semua adalah haaditsah (baru ada) dan makhluknya Allah ta’ala.
Akan tetapi mereka mengingatkan dan menekankan bahwa hal ini dikatakan dalam lingkup ta’lim/pembelajaran dan dalam lingkup bantahan bagi orang – orang yang menyimpang dalam kajian – kajian mereka tentang apa yang sesuai dengan syara’ dan apa yang sesuai dengan akal. Tidaklah kami lupakan bahwa kata – kata Al-Qur’an, huruf – hurufnya, kertas – kertasnya, dan jilidannya terdapat kehormatan yang agung. Hingga bahwasanya barang siapa yang menghinanya atau memandangnya remeh maka ia kafir dan bahwasanya berbuat sia – sia (tidak menghiraukan) ketika mendengar al-Qur’an adalah haram.
Oleh karena itu mereka mendefinisikan al-kalam yang merupakan salah satu sifat dari sifat – sifat Allah ta’ala sebagai: sifat azaliyah (kekal adanya dengan tanpa permulaan) yang berdiri dengan Dzat Allah ta’ala yang berlawanan dengan diam dan menggumam (bisu). Dengan sifat tersebut Allah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas yang memberi tahu kita pada jenis – jenis perkataan selain yang ada saat ini.
Mereka menetapkan sifat kalam bagi Allah berdasarkan dalil sam’i dan memastikan bahwasanya sifat tersebut adalah qadim (dahulu) karena sifat – sifat Allah ta’ala seluruhnya adalah qadim. Mereka tidak membicarakan hakikatnya karena tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi mereka menyebutkan hal yang berlawanan dengannya yaitu diam dan lemah dari berbicara serta mensucikan Allah dari keduanya sebab kedua hal tersebut tidak layak bagi Allah ‘azza wa jalla. Mereka menyebutkan jejak dari sifat kalam Allah tersebut yakni perintah, larangan, khabar, dst. Oleh karena itu bisa kita lihat bahwa mereka menetapkan apa yang ditetapkan oleh dalil dan mendiamkan tentang apa saja yang tidak ditanggapi oleh dalil.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.