Sifat ma’ani (jama’ dari ma’na yaitu sesuatu yang mengikuti dzat) sebagaimana telah dibahas sebelumnya yaitu sifat bagi Dzat yang dengan sifat tersebut Dzat Allah ta’ala disifati. Dalil atas sifat – sifat ma’ani bagi Allah ini adalah menurut ketetapan-Nya. Atau sebagaimana perkataan ulama’: setiap sifat yang berdiri bersama yang disifati maka sifat tersebut wajib baginya. Adapun sifat ma’ani yang berdiri di atas dalil ada tujuh:
Qudroh (kuasa), Iradah (kehendak), Ilmu, Hayah (hidup), Kalam, Sama’ (mendengar), Bashor (melihat).
Kami tidak menambah selain sifat tersebut kecuali berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah. Karena tidak boleh kita mensifati Allah ta’ala dengan suatu sifat yang Allah tidak mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dalam Qur’an maupun Sunnah. Tidaklah kita temukan di dalam Qur’an maupun Sunnah sifat – sifat ma’ani selain daripada sifat – sifat ini ataupun yang memiliki interpretasi ke sana. Berikut ini kita akan membahas mengenai sifat Iradah Allah ta’ala:
Iradah
Makna iradah secara bahasa adalah maksud/niat, yang bersinonim dengan kehendak. Telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya bahwasanya karena qudroh atau kuasa Allah ta’ala lah terwujudnya segenap makhluk. Keberadaan makhluk – makhluk tersebut memiliki sifat – sifat yang berbeda – beda, yang ini panjang dan yang itu pendek, yang ini putih dan yang itu hijau, yang ini kaya dan yang itu miskin, yang ini berada di timur dan yang itu di barat, yang ini panas dan yang itu dingin, dan seterusnya.
Siapakah yang memberi sifat – sifat yang demikian itu pada segala sesuatu yang terwujud ini? Sesungguhnya sifat – sifat itu tidak diberi oleh dirinya sendiri, dirinya sendiri itu juga tidak memiliki kemampuan untuk memberi dirinya dengan sifat – sifat yang menjadi sifat dirinya. Maka sudah seharusnya sifat – sifat tersebut berasal dari kehendak yang menentukan sifat secara spesifik yang dengan sifat itu setiap yang ada disifati dengannya. Karena sesungguhnya sifat – sifat selain yang telah ditentukan itu juga bisa saja ada padanya (misal, seseorang bisa jadi miskin ataupun kaya), disamping itu juga bahwa sifat – sifat yang mungkin dimiliki oleh sesuatu itu adalah apa saja yang terwujud dan apa saja yang tidak terwujud (misal, seseorang mungkin miskin dan kaya namun pada kenyataannya yang terwujud adalah dia seorang yang kaya sementara kemungkinannya miskin tidak terwujud).
Ini adalah makna perkataan para ulama’: Iradah Allah (kehendak Allah) adalah sifat yang qadim (dahulu) tambahan atas Dzat, yang dengannya Ia menentukan urusan – urusan, maka Ia menentukan sebagian hal dari banyak kemungkinan apa saja yang mungkin bagi makhluknya.
Iradah adalah sifat Allah ta’ala, dan sifat itu bukanlah yang disifati (melainkan sifatnya Dzat), dan sifat itu adalah qadim (dahulu) yakni: bahwasanya Allah ta’ala memiliki kehendak sebelum kehendak – kehendak itu ada. Karena sifat – sifat Allah itu semuanya adalah qadim (dahulu), ketika sifat itu hadats (baru) maka sifat itu tidaklah berdiri bersama dengan yang qadim, bahkan mustahil mensifati yang qadim dengan sesuatu yang hadats.
Adapun yang menjadi dalil dari sifat Iradah ini adalah terwujudnya sifat – sifat yang berlainan pada segenap makhluk bersamaan dengan bahwasanya sifat – sifat tersebut tidak wajib bahkan merupakan sebuah kemungkinan dan sifat yang lainnya mungkin dimiliki juga. Terwujudnya salah satu sifat tanpa terwujudnya sifat yang lain adalah dalil atas adanya kehendak sang Pencipta Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Qur’an al-Karim menunjukkan atas sifat Iradah Allah ta’ala ini dengan firman-Nya:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” QS. Yasin : 82-83.
Allah ta’ala juga berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” QS. Al-Qashash : 68.
Ikhtiyar (pilihan) adalah iradah (kehendak) terhadap satu kemungkinan dengan pengetahuan terhadap kemungkinan – kemungkinan lainnya. Di dalam Al-Qur’an al-Karim terdapat ayat – ayat yang banyak sekali yang berbicara mengenai sifat iradah ini. Maka setiap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini baik itu dzat maupun sifat adalah ciptaan Allah dan atas kehendak-Nya subhanahu wa ta’ala.
Agar makna iradah tidak menjadi rancu dengan makna lainnya, para ulama’ menegaskan bahwa iradah (kehendak) itu bukanlah amr (perintah), ilmu, ataupun ridho. Hal ini karena setiap kata tersebut memiliki makna khusus masing – masing. Amr (perintah) adalah seruan dengan perkataan untuk mengerjakan suatu perbuatan yang bermakna wajib. Allah memerintahkan hamba – hamba-Nya dengan perintah yang banyak yang menyeru mereka untuk melaksanakannya misalnya saja perintah sholat, zakat, jihad, berbuat baik kepada kedua orang tua, jujur, dst. Kita melihat bahwasanya sebagian hamba-Nya ada yang mentaatinya dan ada yang mendurhakainya. Hal ini menunjukkan bahwa iradah (kehendak) Allah bukanlah perintah. Apabila amr (perintah) dan iradah (kehendak) itu adalah satu hal yang sama maka tentulah setiap orang menjadi orang yang taat kepada-Nya.
Firman Allah ta’ala berikut ini akan memperjelas hal ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْط
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.” QS. Al-Maidah : 8.
Kita telah melihat bahwa sebagian kaum mu’minin bersaksi dengan adil dan ada sebagian lagi yang tidak bersaksi dengan adil. Hal ini karena perintah dalam ayat tersebut adalah perintah yang bersifat tasyri’i (peraturan hukum), sebagian manusia mentaatinya dan sebagian lagi melanggarnya. Allah ta’ala berfirman kepada orang – orang dari Bani Israil yang bermaksiat kepada-Nya dan melampaui batas di hari sabtu:
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kamu kera yang hina.” QS. Al-A’raf : 166.
Maka kemudian jadilah mereka semuanya menjadi kera dan tidak ada satupun yang menyalahinya. Hal ini karena amr (perintah) dalam ayat tersebut adalah amr takwiniyyun (perintah yang bersifat menjadikan sesuatu) yang menyatakan iradah atau kehendak Allah ta’ala. Pemisahan antara iradah dan amr ini adalah bersifat dharuri (mutlak diperlukan), apabila iradah dan amr itu disatukan maka kita dapati diri kita sebagai orang yang mengelak dari kehendak Allah ta’ala (ini tidak mungkin karena kehendak Allah pasti dapat terwujud). Akan tetapi hikmahnya Allah ta’ala menetapkan bahwa Ia akan menguji manusia sehingga Ia memberikan perintah kepada mereka dan menjadikan bagi mereka pilihan. Maka sebagian mereka mentaatinya dan memperoleh kemenangan dengan surga, sedangkan sebagian lainnya melanggarnya dan berhak untuk diberi balasannya. Meski demikian, baik yang taat maupun yang bermaksiat semuanya tidak terlepas dari kehendak Allah ta’ala.
Adapun ilmu, yakni ilmunya Allah ta’ala, maka ilmu tersebut juga bukanlah iradahnya Allah ta’ala. Hal ini karena ilmu itu adalah sifat yang meliputi sesuatu dengan pengetahuan sebagaimana nanti akan dibahas pada pembahasan sifat Ilmu Allah ta’ala insya Allah. Adapun iradah adalah menetapkan sebagian kemungkinan – kemungkinan yang mungkin atas sesuatu itu.
Adapun ridho adalah penerimaan atas suatu perbuatan dan memberikan balasan baginya. Dapat kita ketahui bahwa penerimaan dan balasan itu adalah atas suatu perbuatan yang dikehendaki dan sesuai dengan apa saja yang diperintahkan Allah. Maka ridho itu bukanlah iradah (kehendak) sebagaimana telah kita lihat.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.