Sifat ma’ani (jama’ dari ma’na yaitu sesuatu yang mengikuti dzat) sebagaimana telah dibahas sebelumnya yaitu sifat bagi Dzat yang dengan sifat tersebut Dzat Allah ta’ala disifati. Dalil atas sifat – sifat ma’ani bagi Allah ini adalah menurut ketetapan-Nya. Atau sebagaimana perkataan ulama’: setiap sifat yang berdiri bersama yang disifati maka sifat tersebut wajib baginya. Adapun sifat ma’ani yang berdiri di atas dalil ada tujuh:
Qudroh (kuasa), Iradah (kehendak), Ilmu, Hayah (hidup), Kalam, Sama’ (mendengar), Bashor (melihat).
Kami tidak menambah selain sifat tersebut kecuali berdasarkan dalil dari Qur’an dan Sunnah. Karena tidak boleh kita mensifati Allah ta’ala dengan suatu sifat yang Allah tidak mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dalam Qur’an maupun Sunnah. Tidaklah kita temukan di dalam Qur’an maupun Sunnah sifat – sifat ma’ani selain daripada sifat – sifat ini ataupun yang memiliki interpretasi ke sana. Berikut ini kita akan membahas mengenai sifat ilmu bagi Allah ta’ala:
Ilmu
Telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini baik itu dzat – dzat maupun sifat – sifat atau sebagaimana yang mereka katakan yaitu jauhar (substan/zat) dan ‘aradh (karakter benda/zat) adalah makhluk ciptaan Allah dan atas iradah (kehendak) Allah. Hal ini menetapkan bahwasanya Allah ta’ala mengetahui hakikat makhluk – makhluk seluruhnya karena Dia lah yang menciptakannya. Allah ta’ala berfirman:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” QS. Al-Mulk : 14.
Telah kita ketahui pula dalam pembahasan – pembahasan sebelumnya bahwa Allah itu qadim (dahulu) wajibul wujud, demikian juga dengan sifat – sifatNya. Maka Allah ta’ala Maha Mengetahui dengan Dzat-Nya dan sifat-Nya. Tidaklah makhluk ciptaan-Nya mengetahui yang demikian itu kecuali apa saja yang diberitahukan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
“…Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” QS. Thaha : 110.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“…Aku tidak bisa menghitung pujian atasMu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji atas diriMu.” HR. Muslim dan yang lainnya.
Telah kita ketahui juga pada pembahasan sebelumnya bahwa hal – hal yang mungkin terjadi itu sebagiannya terwujud dan sebagiannya lagi tidak terwujud. Kemungkinan – kemungkinan tersebut secara nalar dapat terwujud bila Allah ta’ala menghendakinya. Allah mengetahui itu semua yaitu apa saja yang terwujud dan apa saja yang tidak terwujud. Kita juga telah membahas sebelumnya bahwa hal yang mustahil itu adalah sesuatu yang keberadaannya tidak dapat digambarkan oleh aqal. Allah ta’ala juga mengetahui hal – hal yang mustahil ini.
Oleh karena itu, kita melihat bahwa ilmu Allah itu meliputi segala hal yang wajib, jaiz, dan mustahil, masing – masing dengan sesuatu yang layak dengannya. Hal yang wajib itu memberitahu akan keharusan adanya sesuatu, hal yang mustahil itu memberitahu akan keharusan ketiadaan sesuatu, dan jaiz (boleh – boleh saja) itu memberitahu yang mungkin terwujud dan bisa jadi tidak terwujud darinya. Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“…Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah : 282.
Untuk ini para ulama’ berkata: ilmunya Allah ta’ala adalah sifat yang azali yang berdiri dengan Dzatnya Allah ta’ala terkait dengan segala sesuatu yang wajib, mustahil, dan jaiz dari sisi meliputi segala sesuatunya tanpa didahului oleh ketidaktahuan.
Merupakan sebuah kewajiban bagi kita untuk memperhatikan bahwasanya ilmunya Allah ta’ala tidak menyerupai ilmunya kita dari sisi manapun. Sebelumnya telah kita tetapkan bahwasanya Dzatnya Allah ta’ala tidak menyerupai dzat – dzat yang ada di dunia ini, demikian pula dengan sifat – sifatNya tidak menyerupai sifat – sifat makhluk. Adapun kita, terlahir ke dunia ini tanpa mengetahui sesuatu apa pun kemudian Allah memberi tahu kita. Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.” QS. An-Nahl : 78.
Tidaklah sesuatu yang kita ketahui itu melainkan kita tidak mengetahuinya sebelumnya. Adapun ilmu Allah ta’ala adalah qadim (dahulu) tidak didahului oleh ketidaktahuan. Dengan demikian, ilmu yang kita miliki adalah sesuatu yang diperoleh, yakni haditsan (baru), sementara ilmu Allah ta’ala adalah qadim (dahulu) tanpa diperoleh. Maka Allah azza wa jalla mengetahui segala sesuatu sebelum segala sesuatu itu ada dengan masing – masing detilnya dan sifatnya yang sangat mendalam dan sangat besar. Allah mengetahui ketika sesuatu terbentuk, mengetahui apa saja yang ada, dan bagaimana sesuatu itu ada. Tidak ada perbedaan antara ilmunya Allah azza wa jalla terhadap sesuatu yang ada, akan ada, dan telah ada. Hal ini karena masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah suatu urusan yang nisbi dalam hakikat manusia, sedangkan Allah azza wa jalla tidak dibatasi oleh zaman dan tempat.
Di sini ada sebagian orang yang bertanya: bila demikian, apa maknanya firman Allah azza wa jalla:
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” QS. Al-Kahfi : 12.
Dalam ayat tersebut, seolah – olah ilmu pengetahuan Allah itu diusahakan untuk didapat setelah sebelumnya tidak tahu. Para ulama’ menjawab bahwasanya maksud dari ayat ini bukanlah makna dzhahir nya. Maka wajib untuk mentakwilnya dengan makna yang sesuai dengan aqidah yang shahih bahwasanya ilmu nya Allah itu qadim.
Para ulama’ telah menta’wilkan ayat ini dalam banyak penakwilan, penakwilan yang terpilih adalah: bahwasanya huruf lam dalam kata ( لِنَعْلَمَ ) adalah huruf lam aqibah atau faedah bukan sebagai illat atau sebab. Sehingga maknanya adalah untuk memberi tahu kepada mereka manakah di antara dua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung hari tinggal dalam gua. Karena Allah mengetahui yang sebelum dan yang akan terjadi sedangkan mereka tidak mengetahuinya.
Demikianlah pembahasan mengenai ilmu-Nya Allah ta’ala yang Maha Tahu terhadap segala sesuatu tanpa didahului oleh ketidaktahuan.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.
Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Maliki as-Shawi, Syarh as-Shawi ‘ala Jauharat at-Tauhid.