NABI shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat berbagai macam perintah dalam firman Allah,
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنْذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ * وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ * وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ * وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (Al-Muddatstsir: 1-7)
Sepintas lalu ini merupakan perintah-perintah yang sederhana dan remeh. Namun pada hakikatnya mempunyai tujuan yang jauh, berpengaruh sangat kuat dan nyata, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Tujuan pemberian peringatan, agar siapa pun yang menyalahi keridhaan Allah di dunia ini diberi peringatan tentang akibatnya yang pedih di kemudian hari, dan yang pasti akan mendatangkan kegelisahan dan ketakutan di dalam hatinya.
2. Tujuan mengagungkan Rabb, agar siapa pun yang menyombongkan diri di dunia tidak dibiarkan begitu saja melainkan kekuatannya akan dipunahkan dan keadaannya dibalik total, sehingga tidak ada kebesaran yang tersisa di dunia selain kebesaran Allah.
3. Tujuan membersihkan pakaian dan meninggalkan perbuatan dosa, agar kebersihan lahir dan batin benar-benar tercapai, begitu pula dalam membersihkan jiwa dari segala noda dan kotoran bisa mencapai titik kesempurnaan, agar jiwa manusia berada di bawah lindungan rahmat Allah, penjagaan, pemeliharaan, hidayah, dan cahaya-Nya, sehingga dia menjadi sosok paling ideal di tengah masyarakat manusia, mengundang pesona semua hati dan decak kekaguman.
4. Tujuan larangan mengharap yang lebih banyak dari apa yang diberikan, agar seseorang tidak menganggap perbuatan dan usahanya sesuatu yang besar lagi hebat, agar dia senantiasa berbuat dan berbuat, lebih banyak berusaha dan berkorban, lalu melupakannya. Bahkan dengan perasaannya di hadapan Allah, dia tidak merasa telah berbuat dan berkorban.
5. Dalam ayat yang terakhir terdapat isyarat tentang gangguan, siksaan, ejekan, dan olok-olok yang bakal dilancarkan orang-orang yang menentang, bahkan mereka berusaha membunuh beliau dan membunuh para sahabat serta menekan setiap orang yang beriman disekitar beliau. Allah memerintahkan agar beliau bersabar dalam menghadapi semua itu, dengan modal kekuatan dan ketabahan hati, bukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, tetapi karena keridhaan Allah semata.
Allah Mahabesar. Alangkah sederhananya perintah-perintah ini jika dilihat secara sepintas lalu. Alangkah lembut sentuhannya. Tetapi betapa besar dan berat pengamalannya, alangkah besar pengaruh guncangannya terhadap seisi alam dan membiarkan sebagian berbenturan dengan sebagian yang lain.
Ayat-ayat ini sendiri mengandung materi-materi dakwah dan tabligh. Pemberian peringatan itu sendiri biasanya mengundang berbagai reaksi yang kurang menyenangkan bagi pelakunya. Apalagi semua orang sudah tahu bahwa dunia ini tidak mau tahu apa yang dilakukan manusia dan tidak akan memberi balasan macam apa pun terhadap apa pun yang mereka kerjakan. Pemberian peringatan menuntut kedatangan suatu hari di luar hari-hari di dunia, yang pada saat itu akan ada pembalasan. Hari itu adalah Hari Kiamat atau hari pembalasan. Hal ini mengharuskan adanya suatu kehidupan lain yang berbeda dengan kehidupan yang dijalani manusia di dunia.
Semua ayat ini menuntut tauhid yang jelas dari manusia, penyerahan urusan kepada Allah, meninggalkan kesenangan diri sendiri dan keridhaan manusia, untuk dipasrahkan kepada keridhaan Allah. Jadi hal-hal yang terangkum di sini meliputi:
1. Tauhid.
2. Iman kepada Hari Akhirat.
3. Membersikan jiwa, dengan cara menjauhi kemungkaran dan kekejian yang kadang-kadang mengakibatkan munculnya hal-hal yang kurang menyenangkan, mencari keutamaan, kesempurnaan, dan perbuatan-perbuatan yang baik.
4. Menyerahkan semua urusan kepada Allah.
5. Semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah Muhammad, bernaung di bawah kepemimpinan dan bimbingan beliau yang lurus.
Di samping itu, permulaan ayat-ayat ini mengandung seruan yang tinggi, sebagai perintah yang ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, agar beliau bangun dari tidur dan melepas selimut, siap untuk berjihad dan berjuang, ”Hai orang yang berkemul, bangunlah lalu berilah peringatan”. Seakan-akan Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya bisa hidup tenang dan santai. Tetapi engkau yang memanggul beban besar ini, mengapa tidur-tiduran saja? Mengapa engkau santai-santai saja? Mengapa engkau masih terlentang di atas tempat tidur yang nyaman dan tenang-tenang saja? Bangunlah untuk menghadapi urusan besar yang sudah menantimu. Beban berat sudah menunggu di hadapanmu. Bangunlah untuk berjihad dan berjuang. Bangunlah, karena waktu tidur dan istirahat sudah habis. Sejak hari ini engkau harus siap untuk lebih banyak berjaga pada malam hari dan perjuangan yang berat lagi panjang. Bangunlah dan bersiaplah untuk semua itu.”
Sungguh ini merupakan perkataan yang besar dan menakutkan, yang membuat beliau melompat dari tempat tidurnya yang nyaman di rumah yang penuh kedamaian, siap terjun ke kancah, di antara arus dan gelombang, antara yang keras dan yang menarik menurut perasaan manusia, terjun ke kancah kehidupan.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, dan setelah itu selama dua puluh lima tahun beliau tidak pernah istirahat dan diam, tidak hidup untuk diri sendiri dan keluarga beliau. Beliau bangkit dan senantiasa bangkit untuk berdakwah kepada Allah, memanggul beban yang berat di pundaknya, tidak mengeluh dalam melaksanakan beban amanat yang besar di muka bumi ini, memikul beban kehidupan semua manusia, beban akidah, perjuangan, dan jihad, di berbagai medan. Beliau pernah hidup di medan peperangan secara terus-menerus dan berkepanjangan selama itu, semenjak beliau mendengar seruan yang agung dan mendapat beban kewajiban. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada beliau dan kepada siapa pun.
Pada lembaran-lembaran berikut ini akan kami sajikan gambaran sederhana dari jihad yang beliau laksanakan selama sekian lama dan penuh rintangan.
Rujukan:
Sirah Nabawiyah/Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri; Penerjemah: Kathur Suhardi; Penyunting: Yasir Maqosid; cet. 1–Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.