Tafsir QS. Al-A’raf: 161-162
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذۡ قِیلَ لَهُمُ ٱسۡكُنُوا۟ هَـٰذِهِ ٱلۡقَرۡیَةَ وَكُلُوا۟ مِنۡهَا حَیۡثُ شِئۡتُمۡ وَقُولُوا۟ حِطَّةࣱ وَٱدۡخُلُوا۟ ٱلۡبَابَ سُجَّدࣰا نَّغۡفِرۡ لَكُمۡ خَطِیۤـَٔـٰتِكُمۡۚ سَنَزِیدُ ٱلۡمُحۡسِنِینَ * فَبَدَّلَ ٱلَّذِینَ ظَلَمُوا۟ مِنۡهُمۡ قَوۡلًا غَیۡرَ ٱلَّذِی قِیلَ لَهُمۡ فَأَرۡسَلۡنَا عَلَیۡهِمۡ رِجۡزࣰا مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ بِمَا كَانُوا۟ یَظۡلِمُونَ
Dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil), “Diamlah di negeri ini (Baitul Maqdis) dan makanlah dari (hasil bumi)nya di mana saja kamu kehendaki.” Dan katakanlah, “Bebaskanlah kami dari dosa kami,” dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik.” Maka orang-orang yang zalim di antara mereka mengganti (perkataan itu) dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka, maka Kami timpakan kepada mereka azab dari langit disebabkan kezaliman mereka. QS. Al-A’raf: 161-162.
Tafsir dan Penjelasan
Penjelasan kisah ini telah disampaikan pada Surat al-Baqarah dalam dua ayat (58 & 59) dengan perbedaan pada lafadz – lafadznya saja. Yang demikian itu sesuai dengan balaghah al-Qur’an dan kesempurnaan mukjizatnya. Karena pengulangan lafadz – lafadz itu tidak menunjukkan kefasihan, sedangkan balaghah itu menghendaki pemunculan satu makna dengan jalan yang beragam dan lafadz yang bermacam – macam.
Ar-Razi telah menyebutkan delapan aspek perbedaan lafadz – lafadz antara kedua surat itu sebagai berikut. Hal ini memberi tahu kita bahwasanya tidak mengapa memiliki dua penjelasan ketika di situ tidak ada kontradiksi, dan memang tidak ada kontradiksi di dalamnya:
1. Di sini Allah berfirman (اُسْكُنُوا) “Diamlah”, sedangkan di sana Allah berfirman (اُدْخُلُوا) “Masuklah kamu”. Faidahnya, di sini lebih lengkap. Karena yang namanya mendiami itu pasti mengharuskan untuk masuk terlebih dahulu, tidak berlaku sebaliknya. Maka barangsiapa yang akan mendiami suatu tempat pasti dia akan masuk terlebih dahulu namun tidak sebaliknya.
2. Di sini Allah berfirman (وَكُلُوا) “dan makanlah”, sedangkan di sana Allah berfirman (فَكُلُوا) “maka makanlah”. Hal ini karena permulaan makan itu terjadi mengikuti aktivitas masuk. Maka akan lebih baik menyebutkan huruf fa’ ta’qib (huruf fa’ yang memiliki faidah urutan tanpa selang waktu) setelahnya. Adapun huruf wawu, menunjukkan bahwa aktivitas makan itu berlangsung bersamaan dengan saat mendiaminya bukan setelahnya.
3. Di sana, makan digambarkan dengan firman-Nya (رَغَداً) yakni dalam keadaan lapang lagi menyenangkan, sedangkan di sini tidak disebutkan penggambarannya. Hal ini karena makan itu bagi yang baru datang saat pertama kali masuk terasa sangat lezat dan nikmat. Biasanya setiap orang menyukainya. Adapun setelah lamanya keadaan dan penantian, maka kenikmatan yang seperti itu tidak terjadi lagi kecuali ketika sangat butuh dan sangat lezat. Maka Allah tidak menggunakan firman-Nya (رَغَداً) di sini.
4. Di sini kata (حِطَّةٌ) didahulukan atas kata masuk, sebaliknya di sana kata masuk didahulukan daripada kata (حِطَّةٌ). Tidak ada perbedaan antara kedua ungkapan itu. Hal ini karena huruf wawu itu tidak menuntut adanya urutan. Maka sama saja mereka berdoa terlebih dahulu kemudian menampakkan ketundukan dengan sujud yakni menundukkan kepala, atau mereka menyatakan ketawadhu’an dan ketundukan terlebih dahulu kemudian mereka berdoa dengan perkataan mereka (حِطَّةٌ). Sebab, maksud dari itu semua adalah mengagungkan Allah ta’ala dan menampakkan ketundukan dan kekhusyu’an.
5. Di sini Allah berfirman (نَغْفِرْ لَكُمْ خَطِيئاتِكُمْ), di sana Allah berfirman (نَغْفِرْ لَكُمْ خَطاياكُمْ). Kedua bentuk kata jama’ tersebut adalah sama. Keduanya memberi isyarat bahwa ampunan terhadap dosa itu mencakup yang sedikit maupun yang banyak.
6. Di sini Allah berfirman (سَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ) tanpa huruf wawu di depan. Di sana disebutkan huruf wawu tersebut: (وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ) dengan disambungkan. Maknanya satu. Akan tetapi tidak disebutkannya wawu yang berfaidah sebagai permulaan kalimat menunjukkan bahwa bertambahnya kebaikan itu tidak terikat dengan ampunan setelah doa, sebagai anugerah dari Allah ta’ala. Juga bahwasanya yang dijanjikan terhadapnya itu ada dua hal: yaitu ampunan dan bertambahnya kebaikan.
7. Di sini Allah berfirman (فَأَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِجْزاً) “maka Kami timpakan kepada mereka azab”, sedangkan di sana dalam Surat al-Baqarah (فَأَنْزَلْنا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا) “Maka Kami turunkan kepada orang-orang yang zalim itu”. Kata الإنزال itu tidak menginformasikan makna banyak, sedangkan kata الإرسال menginformasikannya. Maka seolah – olah Allah ta’ala memulai dengan diturunkannya adzab yang sedikit kemudian Allah menjadikannya adzab yang banyak.
8. Di sini Allah berfirman (بِما كانُوا يَظْلِمُونَ) “disebabkan kezaliman mereka”, sedangkan di sana Allah berfirman (بِما كانُوا يَفْسُقُونَ) “karena mereka (selalu) berbuat fasik”. Ini sebagai isyarat adanya dua sifat tersebut pada diri mereka. Mereka itu menzhalimi diri mereka sendiri dan mereka itu fasik keluar dari ketaatan kepada Allah ta’ala. Sesungguhnya kezhaliman itu juga mengandung makna pelanggaran atas yang lain dan kefasikan itu juga mengandung makna keluar dari agama.
Allah ta’ala di sini menambahkan kata (مِنْهُمْ) dalam firman-Nya:
فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
Maka orang-orang yang zalim di antara mereka mengganti…QS. Al-A’raf: 162.
Sedangkan di sana Allah ta’ala tidak menyebutkannya. Penambahan tersebut sebagai penegasan dalam penjelasan. Makna at-tabdil (التبديل) adalah bahwasanya mereka itu berani menyelisihi secara sempurna dengan perkataan dan perbuatan, tanpa ijtihad dan penafsiran sama sekali.
Makna ayat secara umum adalah: bahwasanya Allah ta’ala mengingatkan Bani Israil yang ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap apa yang terjadi pada pendahulu – pendahulu mereka. Mereka dicela karena keridhaan mereka terhadap para pendahulu tersebut. Sungguh Allah telah memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam Baitul Maqdis atau desa lainnya, orang Arab itu biasa menyebut kota dengan sebutan desa, seraya menyeru Allah agar mengampuni dosa – dosa mereka serta menampakkan ketundukan dan kekhusyu’an kepada Allah ta’ala. Allah menjanjikan dua hal kepada mereka: ampunan dan bertambahnya kebaikan. Akan tetapi, tabiat orang Yahudi yang didominasi oleh kedurhakaan dan pembangkangan itu mendorong mereka untuk menentang dan mengingkari perintah ilahi serta berani menyelisihinya dengan perkataan dan perbuatan. Mereka justru berkata: (حَبَّة) yang berarti biji gandum, sebagai pengganti (حِطَّة) yang berarti “bebaskanlah kami dari dosa”, dan mereka merangkak pada pantat mereka sebagai pengganti menundukkan kepala, khusyu’, dan merendahkan diri kepada Allah sebagai bentuk syukur kepada-Nya atas nikmat – nikmat-Nya ketika masuk ke dalam Baitul Maqdis dengan kesenangan – kesenangannya berupa makanan, buah -buahan, dan minum – minuman.
Apa akibat yang ditunggu – tunggu dari perbuatan mereka itu? Akibatnya adalah Allah ta’ala menurunkan adzab dari langit kepada mereka karena kezhaliman mereka terhadap diri mereka sendiri, kezhaliman mereka terhadap orang lain, kefasikan mereka, keluarnya mereka dari ketaatan kepada Allah ta’ala menuju ketaatan terhadap hawa nafsu dan syaitan – syaitan mereka, juga karena olok – olokkan mereka terhadap perintah – perintah Allah ta’ala.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Tafsir Al-Munir Syaikh Wahbah Zuhaili.