Pendahuluan Pembahasan Kitabul Iman Shahih Bukhari (Bagian 3)

Pendahuluan Pembahasan Kitabul Iman Shahih Bukhari (Bagian 3)

Pada pembahasan kedua sebelumnya telah dibahas mengenai cinta dan benci karena Allah itu adalah bagian dari iman. Kini kita lanjutkan kembali pembahasannya masih seputar bertambah dan berkurangnya keimanan serta amal – amal sholih yang merupakan bagian dari keimanan.

Imam Bukhari mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada ‘Adiy bin ‘Adiy:

إِنَّ لِلْإِيمَانِ فَرَائِضَ وَشَرَائِعَ وَحُدُودًا وَسُنَنًا فَمَنْ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلْ الْإِيمَانَ فَإِنْ أَعِشْ فَسَأُبَيِّنُهَا لَكُمْ حَتَّى تَعْمَلُوا بِهَا وَإِنْ أَمُتْ فَمَا أَنَا عَلَى صُحْبَتِكُمْ بِحَرِيصٍ

“Sesungguhnya Iman memiliki kewajiban-kewajiban, syariat-syariat, batasan-batasan dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakan hal tersebut, berarti ia telah menyempurnakan keimanannya dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka ia tidak menyempurnakan keimanannya. Jika aku masih hidup, akan aku jelaskan kepada kalian, sehingga kalian dapat beramal dengannya. Namun jika aku meninggal dunia, berarti aku tidaklah lama menemani kalian”.

Maksud dari kewajiban – kewajiban dalam isi surat tersebut yakni amal – amal yang diwajibkan, syariat – syariat yakni keyakinan – keyakinan agama, batasan – batasan yakni larangan – larangan, dan sunnah – sunnah yakni hal – hal yang disunnahkan untuk dikerjakan. Maksud dari penyebutan atsar ini oleh Imam Bukhari adalah bahwasanya Umar bin Abdul Aziz termasuk orang yang mengatakan bahwa iman itu dapat bertambah dan dapat berkurang.

Allah ta’ala berfirman mengenai Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” QS. Al-Baqarah: 260.

Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanad yang shahih kepada Sa’id bin Jubair berkaitan dengan perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam surat tersebut yaitu “agar hatiku tenang (mantap)” maknanya adalah agar bertambah keyakinanku. Juga dari Mujahid, maknanya adalah agar bertambah imanku. Ketika telah tetap hal tersebut dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, juga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk mengikuti millahnya Nabi Ibrahim, maka seolah – olah hal tersebut telah tetap berasal dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Ayat ini dipisahkan penyebutannya oleh Imam Bukhari dengan ayat – ayat sebelumnya mengenai bertambah dan berkurangnya iman pada bagian pertama karena dalil pada pembahasan pertama diambil dari nash sementara dalil dari ayat ini dengan isyarat. Wallahu ‘alam.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, Mu’adz bin Jabal berkata:

اجْلِسْ بِنَا نُؤْمِنْ سَاعَةً

“Duduklah bersama kami, kita beriman sejenak”

Dalam riwayat lain disebutkan, Mu’adz bin Jabal berkata kepada seorang laki – laki yang merupakan saudaranya:

اجْلِسْ بِنَا نُؤْمِنْ سَاعَةً

“Duduklah bersama kami, kita beriman sejenak”. Maka kemudian mereka berdua duduk dan berdzikir kepada Allah ta’ala serta memujinya.

Mu’adz tidak membawanya kepada makna iman yang pokok namun kepada bertambahnya keimanan dengan berdzikir kepada Allah.

Imam Bukhari menyampaikan bahwa Ibnu Mas’ud berkata:

الْيَقِينُ الْإِيمَانُ كُلُّهُ

“Yakin itu adalah keimanan seluruhnya”.

Pada riwayat lain dalam Al-Iman oleh Ahmad dari jalur Abdullah bin ‘Ukaikum dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata:

اللَّهُمَّ زِدْنَا إِيمَانًا وَيَقِينًا وَفِقْهًا

“Ya Allah tambahkanlah bagi kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman”. Sanad – sanadnya shahih.

Ada yang mengatakan bahwa berdasarkan atsar tersebut sesungguhnya keimanan itu adalah semata – mata at-tashdiq (membenarkan). Maka kami jawab bahwa maksud Ibnu Mas’ud adalah keyakinan itu pokok daripada iman. Bila hati yakin, maka seluruh anggota badan akan memancarkan amal – amal sholih untuk bertemu Allah ta’ala, hingga Sufyan Ats-Tsauri berkata:

لَوْ أَنَّ الْيَقِينَ وَقَعَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يَنْبَغِي لَطَارَ اشْتِيَاقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَهَرَبًا مِنَ النَّارِ .

“Kalau yakin telah ada di dalam hati, sudah selayaknya ia terbang rindu ke surga dan memyelamatkan diri dari neraka”.

Imam Bukhari menyampaikan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يَدَعَ مَا حَاكَ فِي الصَّدْرِ

“Seorang hamba tidak sampai kepada hakikat taqwa hingga ia meninggalkan apa saja yang meragukan di dalam dada”.

Yang dimaksud dengan taqwa adalah penjagaan jiwa dari syirik, penjagaan jiwa dari amal – amal yang buruk, dan rajin untuk mengerjakan amal – amal sholih.

Di dalam hadits tersebut terdapat isyarat bahwa sebagian kaum mu’minin sampai pada pokok keimanan dan hakikatnya, sedangkan sebagian lagi tidak mencapainya.

Dalam riwayat lain dari at-Tirmidzi dan yang lainnya:

لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ

“Seorang hamba tidak akan sampai pada derajat orang – orang muttaqin sehingga dia meninggalkan sesuatu yang boleh (mubah) karena berhati-hati dari hal-hal yang dilarang.” Beliau berkata hadits ini hadits hasan gharib.

Ibnu Abi ad-Dunya mengeluarkan riwayat dalam kitab at-Taqwanya dari Abu Darda’ beliau berkata:

تَمَامُ التَّقْوَى أَنْ تَتَّقِيَ اللَّهَ حَتَّى تَتْرُكَ مَا تَرَى أَنَّهُ حَلَالٌ خَشْيَةَ أَنْ يَكُونَ حَرَامًا

“Sempurnanya ketakwaan itu adalah bertakwa kepada Allah hingga engkau meninggalkan apa saja yang engkau pandang bahwasanya ia halal khawatir ia menjadi keharaman.”

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Disarikan dari Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *