Penciptaan Perbuatan Manusia

Di dalam kitab at-Tauhid terdapat lima topik bahasan yang saling berkaitan satu sama lainnya hingga tidak ada pembahasan yang khusus dan terpisah di antara topik – topik tersebut. Lima topik bahasan tersebut kembali kepada permasalahan – permasalahan dalam kesimpulan – kesimpulan berikut ini:

Topik Pertama: ilmu Allah ta’ala. Telah kita bahas sebelumnya bahwa ilmu Allah ta’ala itu qadim dan meliputi segala sesuatu. Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya sesuatu. Maka sudah seharusnya kejadian itu bersesuaian dengan ilmu Allah ta’ala. Atau katakanlah: sesungguhnya ilmu Allah ta’ala itu selaras dengan apa yang akan terjadi.

Topik Kedua: penciptaan perbuatan -perbuatan. Madzhab ahlussunnah mengatakan bahwa Allah ta’ala adalah pencipta perbuatan – perbuatan sebagaimana halnya Dia adalah pencipta segala sesuatu. Apabila daun diletakkan ke dalam kobaran api maka daun tersebut akan terbakar, sesungguhnya pencipta dari keadaan terbakar itu adalah Allah ta’ala. Penisbatan keadaan terbakar kepada manusia atau kepada api adalah kiasan. Dalilnya adalah bahwasanya Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam api namun tidak terbakar, padahal kaumnya saat itu sangat berkehendak untuk membakarnya.

Topik Ketiga: berkaitan dengan pembalasan. Yakni: atas dasar apakah seorang hamba dihisab? Ketika ilmu Allah mendahului dan Dia adalah pencipta perbuatan – perbuatan, maka apa hubungan antara hamba dengan perbuatannya sehingga ia dihisab atasnya? Akan saya jelaskan kemudian bahwa ia dihisab atas pilihannya dalam berbuat.

Topik Keempat: Qadha’.

Topik Kelima: Qadar.

Kedua topik tersebut (qadha’ dan qadar) akan saya bahas nanti pada tempatnya insya Allah.

Pembahasan kita saat ini adalah mengenai penciptaan perbuatan manusia. Akidah ahlussunah mengatakan bahwa Allah ta’ala menciptakan zat – zat seluruhnya, tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum mu’minin mengenai hal ini. Allah jua lah yang menciptakan perbuatan – perbuatan, baik yang dikehendaki maupun terpaksa yakni perbuatan yang tidak dikehendaki misalnya saja gerakan jantung, paru – paru, dan darah dalam tubuh. Demikian juga halnya dengan gemetar saat sakit ataupun kedinginan dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa perbuatan yang sifatnya terpaksa adalah makhluknya/ciptaannya Allah ta’ala. Akan tetapi sungguh sebagian orang sulit dalam memahami bahwa perbuatan – perbuatan yang dikehendaki manusia itu adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu kita perlu memandang kepada dua hal berikut ini:

Pertama: dalam kehidupan sehari – hari kita melihat misalnya orang yang kehausan kemudian ia minum hingga hilang dahaganya. Maka kita katakan: air telah menghilangkan dahaganya sehingga kita nisbatkan penghilang dahaga itu kepada air. Kita juga melihat orang yang sedang lapar kemudian ia makan sehingga ia kenyang. Maka kita katakan: makanan telah mengenyangkannya. Kita juga melihat orang yang melemparkan daun ke api sehingga api membakar daun tersebut. Maka kita katakan: Fulan telah membakar daun tersebut atau api telah membakar daun tersebut. Dan seterusnya…

Kedua: bahwasanya Allah ta’ala menisbatkan perbuatan – perbuatan kepada manusia di dalam al-Qur’an al-Karim, Allah berfirman:

فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ

“Maka berperanglah engkau (Muhammad) di jalan Allah.” QS. an-Nisa’ : 84

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ

“Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan…” QS. Al-Kahfi: 30.

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” QS. Al-Zalzalah: 7-8.

Jawaban atas dua permasalahan ini adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya adanya akibat tidak menunda adanya sebab. Meskipun terbakar itu disebabkan oleh terkenanya api kepada jisim sehingga akan ada akibat terbakar setiap kali ada pertemuan dengan api, namun setiap mu’min meyakini bahwa Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam kobaran api dan tidak terbakar. Ismail ‘alaihissalam juga dipotong lehernya dengan pisau namun tidak terpotong. Maka hal ini menunjukkan bahwa yang membakar secara hakiki adalah Allah dan yang memotong secara hakiki juga Allah. Akan tetapi Allah membuat suatu kebiasaan yakni menghubungkan antara terbakar dengan terkena api dan menghubungkan antara terpotong dengan pisau. Demikian seterusnya…Penisbatan terbakar kepada api dan terpotong kepada pisau adalah bentuk kiasan. Allah ta’ala berfirman:

وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ

“Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.” QS. Al-Anfal: 17.

Setiap mukjizat dan karomah adalah sebuah kejadian yang melanggar kebiasaan. Yakni tidak adanya akibat dengan adanya penyebab atau adanya akibat tanpa adanya penyebab. Seperti terpancarnya air dari sela – sela jari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Bukhari & Muslim) dan munculnya unta betina dari padang pasir dengan doanya Nabi Sholeh ‘alaihissalam.

Benar bahwa sunnatullah terjadi pada ciptaan-Nya yaitu Dia menciptakan akibat – akibat ketika ada penyebab – penyebab dan menghilangkan penghalang – penghalang terjadinya akibat, akan tetapi Dia lah yang menciptakan sebab dan akibat tersebut dan menjadikan akibat – akibat atas sebab – sebab. Sungguh hal ini menjadi rancu bagi sebagian manusia sehingga mereka menyangka bahwa sebab – sebablah yang mewujudkan akibat – akibat. Ini adalah sebuah kesalahan dengan dalil bahwasanya Allah ta’ala kadang tidak menjadikan akibat – akibat itu terjadi meskipun ada sebab – sebabnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

2. Adapun penisbatan perbuatan – perbuatan kepada manusia adalah karena mereka yang memilih adanya perbuatan tersebut serta mengerjakan sebab – sebabnya dan nampak hal itu dari mereka. Maka orang – orang yang memilih untuk membakar Ibrahim ‘alaihissalam mereka berdosa meskipun Nabi Ibrahim tidak terbakar. Ini adalah masalah al-kasbu (perbuatan) yang merupakan topik pembahasan taklif (pembebanan) yang akan kita bahas nanti insya Allah.

Sebagai ringkasan dari ini semua, bahwa Allah ta’ala adalah pencipta hakiki dari semua dzat dan perbuatan. Penisbatan hal itu kepada selainnya adalah bentuk kiasan sebagaimana firman Allah ta’ala mengenai Isa ‘alaihissalam:

وَاِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ بِاِذْنِيْ

“Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung dengan seizin-Ku” QS. Al-Ma’idah: 110.

Penciptaan itu adalah mewujudkan sesuatu dari tiada menjadi ada. Sedangkan Nabi Isa tidak menjadikan sesuatu itu ada dari tiada, akan tetapi beliau membentuk dari bahan yang sudah ada sehingga jadi bentuk yang spesifik. Allah lah yang menjadikannya mampu untuk melakukan yang demikian itu. Maka kemampuan untuk membuat bentuk tersebut dinisbatkan kepada Isa ‘alaihissalam dan tidaklah ia memiliki kemampuan untuk menciptakan kecuali hanya pilihan saja.

Ahlussunnah menyeru kepada hal ini yaitu tidak boleh meyakini adanya pencipta selain Allah. Allah ta’ala berfirman:

هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللّٰهِ

“Adakah pencipta selain Allah?” QS. Al-Fatir: 3.

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا

“Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” QS. al-Furqon: 2.

هٰذَا خَلْقُ اللّٰهِ فَاَرُوْنِيْ مَاذَا خَلَقَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهٖۗ ࣖ

“Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh (sesembahanmu) selain Allah.” QS. Luqman: 11.

اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

“Allah pencipta segala sesuatu.” QS. Az-Zumar: 62.

Ayat – ayat yang semakna dengan ayat – ayat tersebut banyak sekali dan penisbatan pencipta kepada selain Allah dalam hal ini dianggap sebagai kesyirikan.

Berdasarkan atas hal ini, maka orang – orang yang beramal sholih ia beramal karena taufik/bimbingan dari Allah ta’ala. Dia lah yang menjadikan baginya anggota – anggota tubuh yang dengannya ia mengerjakan ketaatan dan menjadikan di dalam dirinya kecenderungan pada ketaatan tersebut. Kemudian Allah memberi keutamaan kepadanya dengan pahala, ridho, kecintaan, dan masuk ke dalam surga-Nya. Oleh karena itulah ahli surga berkata di dalam surga:

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدٰىنَا لِهٰذَاۗ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَآ اَنْ هَدٰىنَا اللّٰهُ

“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami.” QS. al-A’raf : 43.

Orang – orang yang melaksanakan kemungkaran, bagaimanapun juga tidak lepas dari kehendak Allah. Akan tetapi ia yang memilih jalan kemaksiatan, melaksanakan sebab – sebabnya yang mengantarkan kepadanya, dan menggunakan segala sesuatu yang Allah jadikan untuk hal itu hingga mengantarkannya kepada kemungkaran.

Maka orang yang menang dan kalah keduanya ada dalam genggaman Allah azza wa jalla. Allah ta’ala berfirman:

فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاۤءِ

“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit.” QS. Al-An’am: 125.

فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْ

“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” QS. As-Shaf : 5.

Yakni ketika mereka memilih untuk berpaling dari kebenaran, Allah menciptakan berpalingnya mereka itu dalam hati mereka.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *