Orang Yang Tidak Memutuskan Dengan Hukum Allah

Tags:

Tafsir QS. Al-Ma’idah: 44-47.

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ * وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ *وَقَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ * وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zhalim. Dan Kami teruskan jejak mereka dengan mengutus Isa putra Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan Kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” QS. Al-Ma’idah: 44-47.

Sebab Turunnya Ayat

Ayat ini: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat” (QS. Al-Ma’idah: 44) diturunkan berkenaan dengan kaum Yahudi yang mengganti hukum Taurat mengenai rajam, sehingga mereka menjadikan hukum cambuk dan dicoreng mukanya sebagai penggantinya (lihat bahasan tafsir surat al-Ma’idah ayat 41).

Imam Muslim meriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau merajam dua orang yahudi laki -laki dan perempuan kemudian bersabda:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ
فِي الْكُفَّارِ كُلُّهَا

Barangsiapa tidak berhukum dengan sesuatu yang telah di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan sesuatu yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang Zhalim. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan sesuatu yang telah di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik’ (Qs. Al Maidah: 44- 47). Semuanya diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir.”

Tafsir dan Penjelasan

“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat” kepada Musa al-Kalim, yang memuat petunjuk yakni penjelasan hukum – hukum dan taklif – taklif, dan memuat nur atau cahaya yakni pokok -pokok aqidah di antaranya adalah Esa nya Allah, perkara kenabian, dan perkara – perkara akhirat. Dan Kami turunkan kepadanya syariat dan hukum yang digunakan oleh Nabi -Nabi mereka yang berserah diri dan ikhlas mencari ridho Allah untuk memberi keputusan di antara mereka. Nabi – nabi tersebut diutus oleh Allah kepada Bani Israil setelah Nabi Musa ‘alaihissalam hingga tiba masanya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.

Al-Anbari berkata: الَّذِينَ أَسْلَمُوا (orang – orang yang berserah diri) adalah sifat bagi para nabi dalam makna pujian, tidak atas makna sifat yang membedakan anatara yang disifati dengan yang lainnya karena tidak mungkin para nabi itu selain daripada orang -orang yang berserah diri. Ini adalah bantahan dan keterangan atas orang – orang Yahudi dan Nashrani bahwa para nabi tidaklah disifati sebagai Yahudi dan Nashrani sebagaimana klaim mereka, akan tetapi mereka adalah orang – orang muslimin (yang berserah diri) kepada Allah dan menuntun kepada hukum – hukumnya.

“Atas perkara orang Yahudi”: yakni para nabi itu memberi keputusan dengan Taurat bagi orang -orang Yahudi dan pada apa yang ada di antara mereka. Itu adalah syariat yang khusus bagi mereka, tidak bersifat umum. Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa adalah para nabi yang memberi keputusan dengan hukum – hukum Taurat tersebut.

Dan demikian juga para ulama (rabbaniyyun) dan pendeta-pendeta (ahbaar) mereka memberi keputusan hukum dengan hukum – hukum Taurat. Mereka adalah orang – orang yang sholih dari keturunan Harun. Maksud dari rabbaniyyun: adalah para ulama’ yang penuh hikmah lagi mengetahui cara mengatur manusia, urusan – urusan mereka, dan kemaslahatan mereka. Adapun Al-Ahbaar: adalah para ulama’ yang bertakwa dan sholih. Mereka menetapkan keputusan dengan Taurat pada zaman – zaman yang tidak ada nabi di masa itu, atau saat ada nabi di masa itu dengan seizin nabi – nabi tersebut.

“Sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah” yakni dengan sebab mereka dipercayai ilmunya, sungguh Allah telah mengambil perjanjian atas para ulama’ untuk menjaga kitab – kitabNya dari dua sisi: hendaknya mereka menjaganya dalam dada – dada mereka dan mengajarkannya dengan lisan – lisan mereka, dan agar tidak menanggalkan hukum – hukumnya serta mengabaikan syariat – syariatnya.

At-Thabari berkata: Ar-Rabbaniyyun: adalah kata jama’ dari Rabbani, mereka adalah para ulama’ yang penuh hikmah lagi mengetahui cara mengatur manusia, mengurus urusan – urusan mereka, dan menegakkan kemaslahatan -kemaslahatan mereka. Al-Ahbaar: adalah para ulama’, ahbaar (الأَحْبَارُ) adalah kata jama’ dari habrun (حَبْرٌ), mereka adalah orang – orang yang mengetahui (‘alim) sesuatu dengan tepat.

“Dan mereka menjadi saksi terhadapnya” yakni para ulama’ yang sholih itu menjadi saksi atas kitab Allah dan penjaga – penjaga yang melindunginya dari pengubahan dan penyimpangan. Mereka bersaksi bahwasanya kitab Allah itu benar berasal dari Rabb mereka semisal Abdullah bin Salam yang bersaksi dengan hukuman rajam dalam Taurat, dan penyembunyian sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta berita gembira tentangnya.

Kemudian Allah berfirman kepada para pemuka kaum Yahudi yang ada di zaman wahyu al-Qur’an turun yang mana mereka itu menyembunyikan dan mengganti isi Taurat, setelah ditegakkan saksi atas mereka dari kalangan mereka sendiri Allah berfirman:

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” QS. Al-Ma’idah: 44.

Yakni bila keadaannya sebagaimana disebutkan, maka janganlah takut kepada manusia wahai para pendeta sehingga kalian menyembunyikan yang haq dari sifat – sifat kenabian dan berita gembira dengan diutusnya dia karena mengharapkan manfaat duniawi yang hanya sekejap saja. Maka takutlah kepada Allah dan jangan menyimpangkan kitabNya karena takut kepada manusia dan pemuka – pemuka mereka sehingga membatalkan hukuman hudud yang diwajibkan atas mereka. Ketika rasa takut itu lebih berdampak yang berasal dari ketamakan mereka, Allah berfirman:

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia”. QS. Al-Ma’idah: 44.

Kemudian disebutkan ketamakan dan hasrat mereka dalam mendapatkan keuntungan tersebut, Allah berfirman:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

“Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.” QS. Al-Ma’idah: 44.

Yakni janganlah mengganti ayat – ayat Ku dan hukum – hukum Ku dengan manfaat dunia yang hina yang engkau ambil dari manusia seperti harta suap, mengharap harta, penghormatan, kepemimpinan, atau ridho dari yang lainnya. Kesenangan dunia itu adalah sedikit, sedangkan harta suap yang engkau ambil itu adalah haram dan tidak bersisa selama -lamanya. Maka janganlah sia – siakan dengannya agama dan pahala yang kekal abadi. Jika demikian bagaimana bisa kalian mengambil yang sedikit lagi fana dan meninggalkan yang banyak lagi kekal abadi?!

Setiap orang yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah semisal menjadikan hukuman cambuk dan pencorengan muka sebagai pengganti hukuman rajam, menyembunyikan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengartikannya dengan selainnya, menetapkan diyat yang sempurna pada sebagian pembunuhan dan menetapkan setengah diyat saja pada sebagian lainnya, serta meninggalkan hukuman qishash, maka mereka itu adalah orang -orang kafir yang menutupi kebenaran, zhalim, dan fasik keluar dari batasan -batasan Allah. Itu adalah sifat – sifat mereka, mereka disifati dengan melampaui batas dalam kekufuran mereka ketika mereka zhalim terhadap ayat – ayat Allah dengan merendahkannya dan menentangnya dengan memutuskan hukum dengan selain hukum Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya orang – orang yang kafir, zhalim, dan fasik itu adalah ahli kitab.

Maka ini adalah ancaman yang keras bagi orang – orang Yahudi yang mengubah Taurat dalam hal hukuman bagi pezina yang telah menikah dan hukuman qishash terhadap pembunuhan. Sehingga dengan itu mereka menjadi orang – orang yang ingkar atau kafir bukan menjadi orang – orang yang beriman, tidak beriman terhadap Musa dan Taurat dan tidak pula beriman terhadap Muhammad dan al-Qur’an.

Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Abi Shalih beliau berkata: ketiga ayat yang ada dalam surat al-Ma’idah: (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِما أَنْزَلَ اللَّهُ) “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah” dst bukanlah berkenaan dengan ahli Islam sedikitpun, namun berkenaan dengan kaum kuffar. Ar-Razi berkata: ini adalah pendapat dhaif karena patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum bukan sebab khususnya. Kemudian beliau menukil dari ‘Ikrimah: firman-Nya: (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِما أَنْزَلَ اللَّهُ) “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah”, sesungguhnya ayat itu membicarakan orang – orang yang mengingkari dengan hatinya dan menolak dengan lisannya, adapun orang yang mengetahui dengan hatinya bahwasanya itu adalah hukum Allah dan membenarkan dengan lisannya bahwa itu adalah hukum Allah, kecuali bahwa ia mengambil yang berlawanan dengannya, maka ia adalah orang yang mengadili dengan apa yang Allah ta’ala turunkan, akan tetapi ia meninggalkannya, maka ia tidak berada di bawah konteks ayat ini. Kemudian Ar-Razi berkata: ini adalah jawaban yang shahih, wallahu ‘alam.

Sebagai kesimpulan: bahwasanya takfir (pengkafiran) itu berlaku bagi orang yang menghalalkan hukum selain hukum yang Allah turunkan, mengingkari hukum Allah dengan hatinya, dan menolak dengan lisannya, orang yang demikian ini adalah orang yang kafir. Adapun orang yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka ia adalah orang yang berbuat kesalahan dan berdosa, ia adalah seorang yang fasik saja yang dicela karena keridhaannya atas hukum selain yang diturunkan oleh Allah.

Tatkala kaum Yahudi menjadikan diyat atas orang dari Bani Nadhir lebih besar daripada diyat atas orang dari Bani Quraizhah dan mereka mengharamkan untuk dihukum mati yakni diqishash sebagai bentuk penyelisihan terhadap hukum Taurat dan saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan hukumnya ketika mereka bertanya kepadanya, turunlah ayat berikut ini untuk menjelaskan pensyariatan Qishash:

وَكَتَبْنا عَلَيْهِمْ فِيها…

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)…” QS. Al-Ma’idah: 45

Yakni kami fardhu kan di dalam Taurat persamaan dan kesetaraan dalam hukuman, maka pembunuhan jiwa dibalas dengan pembunuhan jiwa, mencongkel mata dibalas dengan mencongkel mata, mematahkan hidung dibalas dengan mematahkan hidung, memutuskan telinga dibalas dengan memutuskan telinga, menanggalkan gigi dibalas dengan menanggalkan gigi, dan melaksanakan qishash dalam luka, yakni mempertimbangkan kesetaraan di dalamnya dengan ukuran sesuai kemampuan.

Ayat ini menunjukkan atas adanya qishash pada setiap yang disebutkan dalam ayat tersebut, Abu Hanifah mengambil hukum dari ayat ini: bahwasanya seorang muslim dihukum mati karena membunuh seorang dzimmi. Jumhur ulama’ berkata: seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh seorang dzimmi sebab ayat tersebut adalah syariat kaum sebelum kita dan syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita menurut pendapatnya Syafi’iyah. Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amru:

لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ

“Orang mukmin tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”

Maksud dari firman-Nya: “mata dengan mata”, adalah pelaku mendapatkan balasan semisal perbuatannya tanpa melampaui batas. Maka matanya yang kanan bila ada akan diambil karena ia mengambil mata kanan korbannya, mata kirinya tidak diambil karena ia mengambil mata kanan korbannya meskipun korbannya ridho. Demikianlah dalam kasus yang disengaja, adapun dalam kasus karena tersalah maka pada satu mata yang dihilangkan separuh diyat dan pada dua mata yang dihilangkan diyat yang sempurna.

Apabila seorang buta mencongkel mata orang yang sehat, maka baginya qishash menurut Abu Hanifah dan As-Syafi’i mengambil keumuman firman-Nya: “mata dengan mata”. Ibnu al-Arabi berkata: mengambil keumuman al-Qur’an adalah lebih utama, lebih selamat di sisi Allah ta’ala. Malik berkata: bila mau dapat diqishash, bila mau dapat mengambil diyat sempurna (diyat bagi mata yang buta) karena bila dalil – dalilnya berlawanan, korban dapat memilihnya.

Ahmad berkata: tidak diqishash atasnya, baginya diyat yang sempurna karena dalam qishash pada orang buta, mengambil seluruh penglihatan dengan sebagiannya, yang demikian itu tidak setara.

Demikian pula diqishash hidung, telinga, dan gigi bila itu adalah kejahatan yang disengaja, sebagaimana qishash dari seluruh anggota badan. Adapun lidah: kebanyakan ahli ilmu berkata: padanya terdapat diyat dengan kadar seberapa banyak dari ucapan 28 huruf hijaiyah yang dihilangkannya, bila ia menyebabkan hilangnya seluruh ucapan korban maka ia membayar diyat yang sempurna.

Bagi orang yang menghilangkan lidahnya orang bisu hukumannya diserahkan kepada keadilan pemerintah atau urusannya diserahkan kepada hakim.

Adapun anggota badan, setiap yang mungkin untuk diqishash dengan setara maka akan diqishash juga seperti dua kaki dan dua tangan, juga luka seperti mudhihah atau luka hingga tampak tulangnya. Bila tidak memungkinkan untuk diterapkan qishash seperti memar pada daging atau retak pada tulang seperti retak pada tulang rusuk, maka diserahkan kepada keadilan pemerintah yakni ganti rugi dengan kadar yang ditetapkan hakim dengan bantuan para ahli.

Ini semuanya dalam hal menganiaya dengan sengaja, adapun dalam hal tersalah maka diwajibkan diyat atau sebagiannya atau ganti rugi dengan kadar yang ditetapkan hakim.

Kemudian Allah ta’ala menunjukkan kepada amal insani yaitu memaafkan, pengampunan, dan kemurahan hati. Allah ta’ala berfirman:

فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ

“Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya.” QS. Al-Ma’idah: 45.

Yakni menyedekahkan hak qishashnya dan pengampunan terhadap pelakunya, maka sedekah tersebut menjadi penebus dosa baginya, Allah akan menghapus dosanya dengan sedekahnya itu dan memaafkannya.

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

“Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa.” QS. Al-Baqarah: 237.

At-Thabrani meriwayatkan dari Ubadah bin As-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَصَدَّقَ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ أُعْطِيَ بِقَدْرِ مَا تَصَدَّقَ بِهِ

“Barang siapa yang bersedekah dengan sesuatu dari jasadnya, ia akan diberi dengan ukuran apa yang ia sedekahkan.” Hadits ini hadits hasan.

Barang siapa yang berpaling dari apa yang Allah turunkan berupa hukum qishash yang tegak di atas keadilan dan kesetaraan antara pribadi -pribadi maka ia termasuk orang – orang yang zhalim yang menzhalimi dirinya sendiri dan yang lainnya. Ia melampaui batas – batas hukum Allah dan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Di sini timbul pertanyaan: Apa faedah dalam penyebutan zhalim setelah kafir, dan kafir itu lebih besar urusannya daripada zhalim dan zhalim itu lebih ringan daripada kafir? Jawabnya: bahwasanya kekafiran itu lalai terhadap hak Sang Pencipta subhanahu wa ta’ala, sedangkan zhalim itu lalai terhadap hak jiwa.

Kemudian Allah ta’ala menjelaskan bahwa Taurat itu syariatnya nabi – nabi Bani Israil. Dikatakan: dan Kami meneruskan jejak nabi – nabi Bani Israil dengan mengutus ‘Isa bin Maryam. Beliau adalah nabi terakhir bagi kaum Yahudi. Beliau membenarkan Taurat yang mendahuluinya baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan yakni menyatakan bahwasanya Taurat adalah dari sisi Allah serta bahwasanya Taurat itu haq dan wajib beramal dengannya. Beliau mengamalkan Taurat selama tidak diubah hukumnya oleh Injil. Nabi Isa ‘alaihissalam berkata: “Aku datang tidak untuk membatalkan (Taurat), melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17) yakni menambah sebagian hukum – hukumnya dan nasehat – nasehatnya.

Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman memerintahkan kaum Nashara:

وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ

“Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.” QS. Al-Ma’idah: 47.

Allah juga berfirman:

وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ

“Dan Kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya”. QS. Al-Ma’idah: 46.

Yakni Kami memberinya Injil yang di dalamnya ada petunjuk hukum – hukum amaliyah dan cahaya pokok – pokok aqidah seperti tauhid, meninggalkan syirik dan berhala. Injil itu seperti Al-Qur’an yang membenarkan Taurat. Allah menjadikan Injil sebagai petunjuk dan nasehat -nasehat bagi kaum muttaqin karena mereka adalah orang – orang yang mendapatkan manfaat dengan mengamalkannya. Dengan memperhatikan pengulangan kalimat “dan membenarkan Kitab yang sebelumnya yaitu Taurat”, terdapat dua makna yang saling berbeda padanya. Makna pertama: bahwasanya Isa al-Masih membenarkan Taurat. Makna kedua: bahwasanya Injil membenarkan Taurat.

Adapun pengulangan kata “petunjuk” maka maksudnya yang pertama adalah: penjelasan hukum – hukum, syariat – syariat, dan taklif -taklif, sedangkan “cahaya” adalah: penjelasan mengenai tauhid, kenabian, dan kehidupan akhirat. Adapun maksudnya yang kedua adalah: bahwasanya Injil itu menunjukkan kepada dalil yang jelas atas kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Injil adalah sebab bagi manusia untuk mendapatkan petunjuk kepada risalah Islam karena Injil memuat berita gembira datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam nabi yang terakhir yang disebut dalam Injil sebagai al-Baraqlith (Arab: ﺍﻟﺒﺎﺭﻗﻠﻴﻂ) atau Periclytos (artinya ahmad atau yang terpuji).

Injil spesifik sebagai nasehat bagi orang – orang yang bertaqwa karena mengandung nasehat – nasehat, pelajaran – pelajaran, dan penjelasan balasan – balasan yang pasti. Juga karena orang – orang yang bertaqwalah yang mengambil manfaat darinya sebagaimana firman-Nya mengenai al-Qur’an bahwasanya al-Qur’an itu adalah petunjuk bagi orang – orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah: 2).

Setelah menjelaskan kekhususan Injil, Allah ta’ala memerintahkan untuk beramal dengan Injil tersebut, maka Allah berfirman:

وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ

“Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.”

Yakni kami katakan: agar hendaknya kaum Nashara mengamalkan hukum – hukum yang diturunkan Allah di dalamnya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman bagi Ahli Taurat: “Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)”. Maksud dari perintah berhukum dengan apa yang ada di dalam Injil setelah turunnya al-Qur’an adalah: celaan bagi mereka atas penggantian dan perubahan isi Injil sebagaimana perbuatan kaum Yahudi yang menyembunyikan hukum – hukum Taurat (lihat tafsir QS. Al-Ma’idah: 41-43).

Kemudian Allah berfirman lagi:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” QS. Al-Ma’idah: 47.

Yakni para pemberontak yang keluar dari hukum Allah dan syariat-Nya.

Allah mensifati orang yang enggan memutuskan perkara dengan hukum Allah sebagai orang yang kafir, zhalim, dan fasik, apakah sifat – sifat tersebut adalah sifat yang satu ataukah berbilang? Sebagian mufasir menjadikan tiga sifat itu sebagai sifat bagi satu orang, dan Ibnu Abbas mengkhususkan sifat tersebut bagi ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Yang lebih utama adalah mengatakan: barangsiapa yang menolak hukum Allah dan mengingkarinya maka ia kafir, barangsiapa yang tidak memutuskan dengan hukum Allah sementara ia membenarkan bahwa ia meninggalkannya maka ia zhalim dan fasiq.

Fikih Kehidupan Atau Hukum – Hukum:

QS. Al-Ma’idah ayat 44-47 menunjukkan hal – hal sebagai berikut:

1. Taurat yang asli di dalamnya terdapat petunjuk bagi orang – orang Yahudi, para nabi mereka (nabi – nabi Bani Israil), ulama’ – ulama’ (rabbaniyyun) mereka, dan para rahib – rahib (ahbar) mereka memutuskan hukum dengannya. Al-Rabbaniyyun adalah para ulama’ yang mengurusi urusan manusia dengan ilmu dan memelihara mereka. Al-Ahbar adalah para ulama’ yang bertaqwa yang memutuskan hukum sesuatu dan menjelaskannya kepada manusia dengan penjelasan yang baik.

2. Injil yang asli di dalamnya juga terdapat petunjuk dan cahaya, membenarkan Taurat serta sebagai petunjuk dan nasehat bagi orang – orang yang bertaqwa.

3. Maksud dari isyarat kepada Taurat dan Injil adalah mencela kaum Yahudi dan Nashara mengenai penggantian yang mereka lakukan, peringatan dari lalai dengan hukum -hukum yang telah ditetapkan di dalamnya, dan menjelaskan titik temu keduanya dengan al-Qur’an dalam masalah ushul dan hukum – hukum asasinya. Daripadanya mewajibkan iman terhadap al-Qur’an, iman terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta iman terhadap risalahnya yang menutup risalah samawiyah.

4. Pensyariatan hukum qishash sebagaimana terdapat dalam syariat Nabi Musa juga merupakan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Hanifah dan Syafi’iyah berkata: bila seseorang melukai atau memotong telinga atau tangan orang lain kemudian membunuhnya, maka ia dibalas dengan yang demikian itu karena Allah ta’ala berfirman:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata.” QS. Al-Ma’idah: 45.

Maka diambillah darinya apa yang telah ia ambil dan dibalas sebagaimana ia berbuat (diqishash luka yang ia perbuat kemudian dihukum mati). Malikiyah berkata: bila ia memaksudkan mutilasi maka ia dibalas dengan yang semisal dengan itu meskipun yang demikian itu terjadi di tengah – tengah pertarungannya ia dibunuh dengan pedang.

5. Jumhur ulama’ selain Syafi’iyah berhujjah dengan ayat:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ

“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya.” QS. Al-Ma’idah: 44.

Bahwa syariat sebelum kita adalah syariat kita juga kecuali ada dalil atas dihapusnya syariat tersebut karena Allah ta’ala berfirman: “Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya”. Maksudnya adalah penjelasan ushul syariat dan cabangnya. Jikalau kitab Taurat itu dihapuskan tanpa dianggap sebagai hukum menyeluruh, maka tidaklah di dalamnya ada petunjuk dan cahaya.

6. Kaum Khowarij berdalil dengan firman-Nya:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِما أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولئِكَ هُمُ الْكافِرُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” QS. Al-Ma’idah: 44.

Bahwa setiap orang yang melanggar Allah maka ia kafir. Mereka berkata: sesungguhnya ayat itu adalah nash bahwa setiap orang yang memutuskan hukum dengan apa saja selain yang Allah turunkan maka ia adalah kafir, dan setiap orang yang melakukan dosa sungguh ia telah memutuskan hukum dengan selain apa yang Allah turunkan.

Jumhur ahlus sunnah membantahnya dengan bahwasanya ayat ini terkait dengan perbuatan orang yang mengingkari dengan qalbunya dan menolak dengan lisannya. Adapun orang yang mengakuinya dengan qalbu dan menyatakannya dengan lisannya bahwa itu adalah hukum Allah, kecuali bahwasanya dia memutuskan dengan sebaliknya maka ia mengadili dengan apa yang Allah turunkan akan tetapi ia meninggalkannya.

7. Dalam firman-Nya:

فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ

“Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya.” QS. Al-Ma’idah: 45.

Terdapat dorongan untuk memaafkan tatkala dalam kemarahan serta untuk menjaga jiwa manusia sebanyak mungkin. Dan Allah tidak menambah bagi seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan sebagaimana yang dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah.

8. Barang siapa yang mengingkari apa yang Allah turunkan maka sungguh ia telah kafir, barang siapa yang menetapkannya namun tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan maka ia adalah orang yang zhalim lagi fasik. Ibnu Jarir at-Thabari memilih bahwasanya orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum ahli kitab atau orang yang mengingkari hukum Allah yang diturunkan dalam al-kitab.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *