Najis

Setiap yang mengalir yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) adalah najis kecuali air mani. Dari Anas bin Malik beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَبَرَّزَ لِحَاجَتِهِ أَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فَيَغْسِلُ بِهِ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat aku mendatanginya dengan membawa bejana berisi air, sehingga beliau bisa bersuci dengannya.” (HR. Bukhari).

(تَبَرَّزَ لِحَاجَتِهِ): keluar ke tempat buang hajat, yakni tanah kosong/lapang, untuk menunaikan hajatnya dari buang air kecil maupun buang air besar. (فَيَغْسِلُ بِهِ): membasuh bekas sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur.

Dari Ali beliau berkata:

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ

“Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi, tetapi aku malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam karena tempat putrinya. Maka kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad supaya bertanya kepada beliau, lalu beliau bersabda, “Hendaklah dia membasuh kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Muslim).

(مَذَّاءً): banyak keluar madzi, yaitu cairan yang halus kekuningan yang keluar dari dzakar tanpa disengaja ketika letusan syahwat.

Dari Abdullah ibnu Mas’ud:

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke tempat buang air besar, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bawa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: “Ini najis.” (HR. Bukhari).

(رِكْسٌ): najis. (الرَّوْثَةَ): kotoran hewan yang dimakan dagingnya.

Hadits – hadits tersebut di atas menunjukkan najisnya semua yang disebutkan di atas karena Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam membasuhnya atau memerintahkan untuk membasuhnya atau menjelaskan mengenai najisnya. Benda – benda najis yang disebutkan dalam hadit – hadits di atas diqiyaskan kepada benda – benda lain yang tidak disebutkan namun keluar dari kedua jalan (qubul dan dubur).

Adapun air mani yang suci adalah air maninya manusia dan hewan kecuali air maninya anjing dan babi.

Dalil sucinya air mani manusia adalah riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

وَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ

“Sesungguhnya aku pernah mengerik air mani yang terdapat pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau menggunakan pakaian tersebut untuk mendirikan shalat.” (HR. Muslim).

Dari hadits tersebut, apabila air mani itu najis, tentu tidak mencukupi apabila mengeriknya saja. Adapun air mani selain air mani manusia, maka sesungguhnya hukum asalnya hewan – hewan itu adalah suci, maka air mani hewan – hewan itu menyerupai air mani manusia. Adapun anjing dan babi, air maninya najis karena kedua hewan tersebut najis.

Membasuh air kencing dan kotoran (tai) adalah wajib kecuali air kencingnya anak laki – laki yang belum makan makanan (selain air susu ibu), maka air kencingnya itu dibersihkan dengan memercikkan air kepadanya.

Wajibnya membasuh air kencing dan kotoran (tai) ini berdasarkan pada riwayat Bukhari dan Muslim dan riwayat selain keduanya yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menuangkan se-ember air pada tempat yang telah dikencingi oleh orang Arab Badui di dalam masjid.

Adapun pengecualian membasuh air kencing anak laki – laki yang belum makan makanan adalah berdasarkan riwayat dari Ummu Qais binti Mihshan radhiyallahu ‘anha:

نَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

bahwa dia datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan. Rasulullah lalu mendudukkan anak kecil itu dalam pangkuannya sehingga ia kencing dan mengenai pakaian beliau. Beliau kemudian minta diambilkan air lalu memercikkannya dan tidak mencucinya.” HR. Bukhari dan Muslim.

(فَنَضَحَهُ): memercikinya, dengan cara membasahi tempat terkenanya najis tersebut dengan air yang tidak mengalir).

Tidak dimaafkan dari najis – najis itu kecuali darah dan nanah yang sedikit, serta yang jasadnya tidak mengalir darahnya: ketika masuk ke dalam bejana dan mati di dalamnya, maka ia tidak menajiskannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seekor lalat hinggap di tempat minum salah seorang dari kalian, hendaknya ia mencelupkan ke dalam minuman tersebut, kemudian membuangnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat penawarnya.” HR. Bukhari.

Apa yang ditunjukkan oleh hadits tersebut adalah: apabila bangkai lalat tersebut akan menajiskannya tentu Beliau tidak akan memerintahkan untuk mencelupkannya, diqiyaskan dengan lalat segala sesuatu yang semakna dengan lalat yaitu setiap bangkai yang tidak mengalir darahnya.

Semua hewan adalah suci (ketika hidup) kecuali anjing dan babi dan apa yang lahir dari keduanya atau dari salah satunya.

Hal ini karena anjing dan babi adalah najis, Allah ta’ala berfirman:

أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

…atau daging babi karena sesungguhnya itu kotor(QS. Al-An’am 6:145).

Juga dari hadits yang memerintahkan untuk mensucikan jilatan anjing, hal itu menunjukkan bahwa anjing adalah hewan yang najis (lihat haditsnya pada pembahasan mengenai membasuh bejana yang dijilat anjing di bawah).

Semua bangkai adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang, dan manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai (QS. Al-Maidah 5:3)

(الْمَيْتَةُ) adalah setiap hewan yang hilang nyawanya tanpa disembelih secara syar’I, yang termasuk dalam kategori ini (bangkai) adalah:

  1. Yang tidak boleh dimakan dagingnya ketika telah disembelih, misalnya saja keledai.
  2. Yang tidak boleh dimakan dagingnya karena tidak terpenuhinya syarat – syarat penyembelihan, misalnya saja sembelihan orang yang murtad, meskipun hal tersebut tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

Dalam ayat tersebut, pengharaman bangkai adalah dalil bagi kenajisannya. Hal ini karena pengharaman sesuatu yang tidak mengandung bahaya dan yang pada mulanya tidak diharamkan adalah dalil bagi kenajisannya. Kenajisan bangkai tersebut berlaku bagi keseluruhan bagiannya.

Adapun manusia, tidak najis bangkainya dan seluruh bagian – bagiannya sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS. Al-Isra’ 17:70).

Ayat tersebut membantah pendapat yang menyatakan bahwa manusia itu najis setelah kematiannya. Selain itu, daging manusia haram dimakan karena kemuliaannya.

Adapun sucinya bangkai ikan dan belalang adalah berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau berkata:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: الْجَرَادُ وَالْحِيتَانِ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Telah di halalkan bagi kita dua jenis bangkai dan darah; bangkai belalang dan ikan paus, hati dan limpa.” HR. Al-Baihaqi. Beliau berkata hadits ini sanadnya shahih.

Bejana yang dijilat oleh anjing ataupun terkena babi dibasuh sebanyak tujuh kali dengan salah satu basuhannya menggunakan tanah.

Dari Abu Hurairah beliau berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah.” HR. Muslim.

Adapun babi diqiyaskan dengan anjing dalam hal ini karena najisnya babi lebih tebal/berat daripada anjing. Anjing dan babi adalah dua hewan yang najis ainiyah (nyata zatnya najis baik air liurnya mapun badannya).

Seluruh najis – najis selain anjing dan babi dibasuh sekali dan apabila tiga kali basuhan maka itu lebih afdhal.

Dari Abdullah Ibnu Umar beliau berkata:

كَانَتْ الصَّلَاةُ خَمْسِينَ وَالْغُسْلُ مِنْ الْجَنَابَةِ سَبْعَ مِرَارٍ وَغَسْلُ الْبَوْلِ مِنْ الثَّوْبِ سَبْعَ مِرَارٍ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ حَتَّى جُعِلَتْ الصَّلَاةُ خَمْسًا وَالْغُسْلُ مِنْ الْجَنَابَةِ مَرَّةً وَغَسْلُ الْبَوْلِ مِنْ الثَّوْبِ مَرَّةً

Pada awalnya perintah shalat adalah lima puluh kali, mandi junub tujuh kali, membasuh pakaian yang terkena kencing tujuh kali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus menerus memohon keringanan hingga akhirnya shalat hanya menjadi lima kali (dalam sehari), mandi junub satu kali, dan membasuh pakaian yang terkena kencing satu kali. (HR. Abu Dawud, beliau tidak mendhaifkannya.)

Diqiyaskan dengan membasuh pakaian yang terkena kencing itu untuk membasuh semua jenis – jenis najis selain najis karena anjing dan babi.

Apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka ia menjadi suci. Apabila berubah karena mencampurkan sesuatu maka ia tetap tidak suci.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor/perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah 5:90).

Illat atau sebabnya khamr itu najis adalah karena ia memabukkan. Sifat memabukkan tersebut akan hilang ketika ia berubah menjadi cuka.

Khamr yang berubah menjadi cuka karena dicampur sesuatu tetap najis karena ketika yang dicampur itu dimasukkan ke dalam khamr maka benda yang dicampur itu menjadi najis. Setelah khamr dicampur kemudian berubah menjadi cuka, benda yang dicampur tadi yang sudah terlanjur menjadi najis, akan menajiskan cuka tadi.

Maraji’:

al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *