Khobar yang diterima dibagi menjadi dua yaitu khobar yang diamalkan dan khobar yang tidak diamalkan. Dari yang demikian itu muncullah dua pembahasan dalam ulumul hadits yaitu: muhkam dan mukhtalif hadits (المحكم ومختلف الحديث), dan nasikh mansukh (الناسيخ والمنسوخ).
Kali ini akan dibahas permasalahan muhkam dan mukhtalif hadits saja, nasikh mansukh akan dibahas pada tulisan lainnya.
1. Definisi al-muhkam.
A. Secara bahasa: al-muhkam adalah isim maf’ul dari ahkama (أحكم) dengan makna mengetahui dengan baik.
B. Secara istilah: al-muhkam adalah hadits maqbul (hadits yang diterima) yang selamat dari pertentangan dengan yang semisalnya. Kebanyakan hadits – hadits adalah berasal dari jenis yang ini. Adapun hadits – hadits yang bertentangan jumlahnya sedikit sekali bila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah hadits.
2. Definisi mukhtalif hadits.
A. Secara bahasa: mukhtalif adalah isil fail, dari al-ikhtilaf (الاختلاف) yang merupakan lawan kata al-ittifaq (الاتفاق) atau sepakat. Maksud dari mukhtalif hadits adalah: hadits – hadits yang sampai kepada kita yang sebagiannya menyelisihi sebagiannya dalam hal makna, yakni saling berlawanan maknanya.
B. Secara istilah: mukhtalif hadits adalah hadits maqbul (hadits yang diterima) yang bertentangan dengan semisalnya yang mungkin untuk menggabungkan antara keduanya. Mukhtalif hadits adalah hadits yang shahih atau hasan yang mana terdapat hadits yang semisal dengannya dalam kedudukan dan kekuatannya namun bertentangan maknanya secara zhahir dan dimungkinkan bagi para ahli ilmu dan pemahaman yang cemerlang untuk menggabungkan antara maksud keduanya yang dapat diterima.
3. Contoh hadits yang mukhtalif:
Hadits:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ
‘Tidak ada penularan penyakit, tidak ada kesialan, tidak ada Shafar (kematian di karenakan penyakit cacing perut) yang terjadi dengan sendirinya, dan tidak ada arwah yang gentayangan.” HR. Muslim.
Dengan hadits:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
“Tidak ada penularan penyakit, tidak ada kesialan, tidak ada Hammah (arwah gentayangan), tidak ada Shafar (kematian dikarenakan penyakit cacing perut) yang terjadi dengan sendirinya, dan berlarilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”. HR. Bukhari.
Kedua hadits tersebut adalah hadits shahih, zhahir keduanya bertentangan karena hadits yang pertama menafikan adanya penularan penyakit sementara yang kedua menetapkan adanya penularan penyakit kusta. Para ulama’ telah menggabungkan keduanya dan menyesuaikan makna keduanya atas banyak pendapat. Kami sebutkan di sini pendapat yang dipilih oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai sebagai berikut:
4. Cara Menggabungkan Keduanya:
Cara menggabungkan kedua hadits tersebut adalah dengan mengatakan: sesungguhnya penularan itu dinafikan dan tidak tetap dengan dalil sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا يُعْدِي شَيْءٌ شَيْئًا
“Sesuatu tidak dapat menular kepada sesuatu yang lain.” HR. At-Tirmidzi, Kitab al-Qadar.
Juga sabdanya bagi orang yang berbeda pendapat dengan beliau yang mengatakan bagaimana dengan unta yang terkena kudis yang ada di antara unta yang sehat kemudian bercampur dengan unta – unta tersebut sehingga unta yang sehat juga terkena kudis:
فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ
“Lalu siapakah yang menulari unta yang pertama?” HR. Bukhari dalam Kitab at-Thibb.
Yakni bahwasanya Allah ta’ala lah yang memulakan penyakit tersebut pada unta yang kedua sebagaimana Allah memulakannya pada unta yang pertama.
Adapun perintah untuk lari dari penyakit kusta merupakan bagian dari (سدُّ الذَّرائع) atau upaya memutus jalan yang dapat menghantarkan kepada dosa ataupun maksiat. Yakni agar tidak ada persetujuan pada diri seseorang yang bercampur dengan kusta tersebut bahwa percampuran itulah yang menjadikan ia mendapatkan penyakit tersebut, melainkan Allah lah yang memulakannya dengan takdirnya, tidak dengan penularan. Percampuran itu dapat menjadikan ia menduga bahwa penyakit kusta tersebut adalah disebabkan karena ia bercampur dengannya dan meyakini kebenaran penularan lalu ia akan jatuh ke dalam dosa. Sehingga ia diperintahkan untuk menghindari orang yang berpenyakit kusta untuk menolak adanya keyakinan itu yang menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam dosa.
5. Apa yang diwajibkan atas orang yang mendapati dua hadits yang dapat diterima namun saling bertentangan maknanya?
Hendaknya ia mengikuti tahapan – tahapan berikut ini:
a. Bila memungkinkan untuk menggabungkan keduanya: wajib untuk menggabungkan keduanya dan wajib untuk beramal dengan keduanya.
b. Bila tidak memungkinkan menggabungkan keduanya pada satu aspek dari aspek – aspek yang ada:
1. Bila diketahui salah salah satunya menghapus yang lainnya: maka ia didahulukan dan kita beramal dengannya serta kita tinggalkan yang dihapus.
2. Bila tidak diketahui nasikh mansukhnya (yang menghapus dan yang dihapus): kita rajihkan (kita unggulkan) salah satunya atas lainnya dengan jalan tarjih yang mencapai lima puluh aspek atau lebih, kemudian kita beramal dengan yang rajih.
3. Bila tidak dapat dirajihkan salah satunya atas yang lain – ini jarang sekali – maka kita hentikan beramal dengannya hingga nampak jelas bagi kita yang mana yang rajih.
6. Pentingnya Pembahasan Ini dan Siapa Yang Melengkapinya:
Ilmu ini termasuk ilmu ulumul hadits yang paling penting karena mengharuskan seluruh ulama’ untuk mengetahuinya. Seluruh ulama baik hadits, fiqih, maupun ushul melengkapinya dan mahir di dalamnya serta menyelami makna -maknanya yang mendalam. Tidak banyak yang musykil bagi mereka kecuali sangat jarang sekali. Saling bertentangannya dalil – dalil telah menyibukkan para ulama’, menunjukkan talenta mereka, dalamnya pemahaman mereka, dan baiknya usaha mereka. Sebagaimana telah terangkatnya kaki – kaki dari parasit -parasit penyakit atas pertolongan -pertolongan para ulama.
7. Tulisan – Tulisan Yang Masyhur Mengenai Hal Ini:
a. Ikhtilaf al-Hadits: oleh Imam Syafi’i. Ini adalah tulisan yang pertama kali membicarakan mengenai muhkam dan mukhtalif hadits.
b. Ta’wil Mukhtalif al-Hadits: oleh Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.
c. Musykil al-Atsar: oleh at-Thahawi, Abu Ja’far Ahmad bin Salamah.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Mahmud Ahmad Thahhan. Taisir Musthalah al-Hadits.