Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ * فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ * وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ ۙ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ ۚ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) [wali, penolong atau sekutu]; mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, penolong atau sekutu], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan berkata, “Inikah orang yang bersumpah secara sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar beserta kamu?” Segala amal mereka menjadi sia-sia, sehingga mereka menjadi orang yang rugi.” QS. Al-Ma’idah: 51-53.
Sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)
Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Al-Baihaqi mengeluarkan riwayat dari ‘Ubadah bin as-Shomit beliau berkata: “ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdullah bin Ubay tetap bertahan pada urusan mereka dan dia berdiri di sisi mereka. Ubadah bin as-Shamit kemudian pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari persekutuan mereka. Ia adalah salah seorang dari Bani ‘Auf dari suku Khazraj. Ia juga memiliki sekutu dengan mereka semisal dengan Abdullah bin Ubai bersekutu dengan mereka. Maka ia pun bersekutu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berlepas diri dari persekutuan kaum kafir dan perwalian mereka. Berkenaan dengannya dan Abdullah bin Ubai, turunlah ayat di dalam surat al-Ma’idah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) [wali, penolong atau sekutu]”. QS. Al-Ma’idah: 51.
Dalam riwayat lain dari ‘Athiyah bin Sa’ad beliau berkata: Ubadah bin As-Shomit datang dari Bani Khazraj kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku punya penyokong (wali) dari kalangan Yahudi yang jumlahnya banyak, dan sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari perwalian kaum Yahudi dan aku berwali kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian berkatalah Abdullah bin Ubai: Sesungguhnya aku seorang laki – laki yang khawatir dengan ketidakberuntungan, aku tidak melepaskan diri dari perwalian (sokongan) wali – wali ku. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abdullah bin Ubai: Wahai Abu al-Hubbab, tahukah engkau bahwa loyalitas Yahudi atas Ubadah yang tetap engkau pertahankan itu adalah bagimu tidak bagi Ubadah?. Abdullah bin Ubai berkata: kalau begitu aku terima. Maka Allah menurunkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) [wali, penolong atau sekutu]….
Hingga ayat
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
“Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia…” QS. Al-Ma’idah: 51-67.
Disebutkan di dalam sirah: bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah kaum kafir yang bersamanya ada tiga macam:
Di antara mereka ada yang berdamai dengan Rasul, tidak memeranginya, tidak seorangpun mendukungnya, dan tidak pula mendukung musuhnya, mereka ini atas kekafirannya aman darah dan hartanya.
Di antara mereka ada juga yang memeranginya dan memusuhinya.
Di antara mereka ada juga yang netral, tidak berdamai dengannya dan tidak memeranginya, akan tetapi mereka menanti apa yang mendukung urusannya atau urusan musuh -musuhnya. Mereka itu pada hakikat dan batinnya memusuhinya, mereka itu adalah kaum munafik.
Setiap kelompok tersebut diperlakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, maka kaum Yahudi Madinah berdamai dan menulis perjanjian damai dengan Nabi. Mereka ada tiga kelompok di sekitaran Madinah yaitu Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Bani Qainuqa’ memerangi Nabi setelah perang Badar, Bani Nadhir memutuskan perjanjian enam bulan setelahnya, kemudian Bani Quraizhah memutuskan perjanjian ketika Nabi keluar menuju perang Khondaq. Bani Quraizhah adalah kelompok Yahudi yang paling keras permusuhannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setiap kali kelompok – kelompok itu memerangi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah menolongnya terhadap mereka. Kaum Nashara Arab dan Romawi juga memeranginya sebagaimana kaum Yahudi memeranginya.
Tafsir dan Penjelasan
Kandungan QS. Al-Ma’idah: 51-53 tersebut adalah bahwasanya Allah ta’ala melarang hamba – hambaNya yang mu’min dari berwali kepada kaum Yahudi dan Nashara yang mana mereka itu adalah musuh – musuh Islam dan pemeluknya. Allah mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah wali bagi sebagian lainnya, kemudian Allah ta’ala mengancam dan memberi peringatan bagi siapa yang menjadikan mereka sebagai wali.
Wahai kaum yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian menjadikan kaum Yahudi dan Nashara musuh – musuh Islam sebagai wali. Yakni janganlah menjadikan mereka sebagai penolong dan sekutu atas orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Janganlah kalian ceritakan rahasia – rahasia kalian kepada mereka, dan janganlah kalian merasa tentram kepada persahabatan dengan mereka, mencintai mereka, atau berkasih sayang dengan mereka karena mereka tidak akan pernah ikhlas terhadap kalian. Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian lainnya. Yakni sesungguhnya kaum Yahudi itu sebagiannya adalah penolong bagi sebagian lainnya, dan kaum Nashara sebagiannya adalah penolong bagi sebagian lainnya. Sungguh kaum Yahudi telah membatalkan perjanjian mereka dan setiap mereka sepakat untuk melawan dan membenci kalian.
Kemudian dijanjikan bagi siapa saja yang menjadikan mereka sebagai wali, Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, penolong atau sekutu]”. QS. Al-Ma’idah: 51.
Yakni barangsiapa yang menolong mereka atau meminta pertolongan kepada mereka, maka sesungguhnya ia pada hakikatnya adalah bagian dari mereka yakni termasuk golongan mereka pada umumnya dan seolah – olah ia adalah semisal dengan mereka. Ia tidaklah berada di barisannya kaum mu’min yang benar. Ini adalah sebuah ketegasan dari Allah ta’ala dan sebuah penekanan atas kaum munafik yang bersahabat dengan kaum Yahudi dan kaum Nashara penentang agama ini, karena menjadikan mereka sebagai wali menuntut adanya keridhaan dengan agama mereka. Ini menunjukkan bahwa hubungan dan persekutuan antara kaum muslimin dengan yang lainnya dalam kemaslahatan duniawiyah tidaklah terlarang dalam ayat ini.
Sebab dari adanya ancaman keras ini adalah: bahwa barangsiapa yang menjadikan mereka itu sebagai wali dalam urusan agama, permasalahan – permasalahannya, kepentingan dakwah dan kegiatan – kegiatannya, sehingga mereka menolongnya atau mereka meminta pertolongan kepada mereka, maka ia adalah zhalim terhadap dirinya sendiri dengan meletakkan perwalian kepada tempat yang tidak semestinya. Allah tidak memberinya petunjuk kepada kebaikan atau yang haq dengan sebab ia menjadikan orang kafir sebagai penolong.
Realitas dari masalah ini adalah bahwasanya kaum munafik yang dalam hatinya ada keraguan, mereka bersegera dalam urusan ini. Yakni mereka bersegera untuk menjadikan mereka sebagai wali dan sahabat secara zhahir dan batin. Mereka itu adalah Abdullah bin Ubai dan jama’ahnya kaum munafik.
Sebab kaum munafik itu berwali kepada musuh -musuh Islam adalah: karena mereka takut atau khawatir akan kemenangan kaum kafir atas kaum muslimin, sehingga persahabatan mereka saat itu dengan kaum Yahudi dan Nashara dapat menolong mereka dan memberikan manfaat. Ini adalah keadaannya kaum munafik yang lemah di setiap zaman dan tempat. Mereka menjadikan kaum kafir sebagai sahabat untuk menolong dan mendukung mereka ketika krisis. Sungguh merupakan sebuah kenyataan mereka meninggalkannya pada waktu ujian yang berat dan mereka menjual sahabat mereka dengan harga yang murah. Kita dapat melihat pada masa kita kini bagaimana Amerika, misalnya, meninggalkan para pemimpin negara yang menjadi sekutu baginya, melaksanakan keinginannya, berjalan di atas haluannya, dan menjadi pelayannya, kemudian Amerika meninggalkannya pada waktu ada masalah dan krisis. Maka binasalah setiap orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah dan kepada selain pemeluk agamanya.
Oleh karena itu Allah ta’ala membantah klaim dan penjelasan mereka itu: dengan bahwasanya mudah – mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan, pertolongan, dan keputusan antara kaum mu’minin dan kaum kafir sebagaimana terjadi pada Fathu Makkah dan yang lainnya, atau Allah akan mendatangkan suatu keputusan dari sisiNya yang tidak ada bagi manusia itu ikut campur dalam urusan mereka orang – orang kafir itu seperti dimunculkannya rasa takut dalam hati kaum Yahudi Bani Nadhir dan yang semisalnya yang merupakan wujud nyata kemenangan kaum mu’minin yakni Allah menolong mereka atas kaum kafir. Maka menyesallah orang – orang munafik yang menjadikan kaum Yahudi dan Nashara sebagai wali. Sesungguhnya yang demikian itu adalah keburukan dan kerusakan yang sebenarnya. Sesungguhnya mereka terbuka kedoknya di hadapan kaum mu’minin setelah sebelumnya tertutupi.
Para mufassir berkata mengenai kata:
فَعَسَى
“Mudah – mudahan” QS. Al-Ma’idah: 52.
Kata ‘asaa (mudah-mudahan) jika dinisbatkan kepada Allah bermakna wajib, karena Yang Maha Mulia itu ketika menginginkan sesuatu dalam suatu kebaikan maka Ia melaksanakannya, maka itu adalah seperti janji untuk mengaitkan jiwa dan harapan dengannya.
Dengan ini maka menjadi jelas bahwa maksud al-fath (kemenangan) dalam QS. Al-Ma’idah: 52 itu adalah: adanya Fathu Makkah (Peristiwa Pembukaan Kota Makkah) dan peristiwa pembukaan negeri – negeri Arab lainnya serta terusirnya Yahudi dari Hijaz dan Khaibar serta yang lainnya. Adapun maksud dari keputusan dari sisi Allah dalam QS. Al-Ma’idah: 52 itu adalah perencanaan sesuatu yang lembut atau yang tersembunyi bagi musuh – musuh itu seperti terusirnya Yahudi dari negeri mereka, dikuasainya mereka semisal penguasaan atas Bani Quraizhah, adanya rasa takut dalam hati – hati mereka sebagaimana terjadi pada Bani Nadhir, atau penundukkan kaum Yahudi dan Nashara terhadap hukum – hukum Islam dan kekuasaan daulah Islamiyah dengan diwajibkannya jizyah atas mereka.
Ketika itu bubarlah penakwilan kaum munafik, tampaklah kedustaan mereka dan bualan mereka. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman:
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ ۙ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ
“Dan orang-orang yang beriman akan berkata, “Inikah orang yang bersumpah secara sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar beserta kamu?” QS. Al-Ma’idah: 53.
Yakni sebagian kaum mu’minin akan berkata kepada sebagian lainnya atau kepada kaum Yahudi dengan takjub, tercengang, dan gembira: Inikah orang yang bersumpah secara sungguh-sungguh dengan (nama) Allah: sesungguhnya mereka bersama kalian dan sesungguhnya mereka penolong kalian atas musuh – musuh kalian dari kaum Yahudi? Kemudian dibukalah hakikat mereka dan dijelaskan permusuhan mereka sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَٰكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ
“Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; namun mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka orang-orang yang sangat takut (kepadamu).” QS. At-Taubah: 56.
Yakni sesungguhnya mereka adalah kaum yang ketakutan, mereka menampakkan Islam hanya untuk menyembunyikan aslinya mereka, muslihat, atau politik, bukan secara hakikat. Kaum mu’minin melanjutkan perkataannya: telah batal amal – amal mereka kaum munafik itu yang mereka kerjakan dengan nifaq seperti sholat, puasa, haji, dan jihad. Mereka rugi dengan yang demikian itu di dunia dan mereka tidak mendapat pahala di akhirat.
Para mufassir berbeda pendapat mengenai asbabun nuzulnya ayat ini. As-Suddi berkata: bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal.”Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (QS. Al-Maidah: 51).
Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengutusnya kepada Bani Quraizah, lalu mereka bertanya kepadanya, “Apakah yang akan dilakukan olehnya terhadap kami?” Maka Abu Lubabah mengisyaratkan dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam akan menyembelih mereka.
Dikatakan juga bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubai bin Salul sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jarir dan sebagaimana telah dibahas di awal.
Fiqih Kehidupan Atau Hukum – Hukumnya
QS. Al-Ma’idah: 51-53 menunjukkan kepada hal -hal sebagai berikut:
1. Terputusnya perwalian dan persahabatan secara syar’i antara kaum mu’minin dan kaum kafir dalam urusan agama dan dalam perkara besar yang fundamental. Tidak ada larangan adanya hubungan dengan mereka dalam urusan kemaslahatan duniawiyah dengan dalil perkataan at-Thabari mengenai firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, penolong atau sekutu], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” QS. Al-Ma’idah: 51.
Yakni barangsiapa menjadikan kaum Yahudi dan Nashara sebagai wali selain kaum mu’minin, maka ia termasuk golongan mereka. Maka barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai wali dan menolong mereka atas kaum mu’minin maka ia termasuk pemeluk agama mereka dan penempuh jalan hidup mereka. Sesungguhnya ia tidak menjadikan seseorang sebagai wali kecuali ia bersamanya, bersama agamanya, dan ia ridha dengan apa saja yang ada padanya. Bila ia meridhainya dan meridhai agamanya, maka sungguh ia memusuhi apa saja yang menyelisihinya dan mengecewakannya. Hukum atas orang tersebut menjadi hukumnya.
FirmanNya:
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” QS. Al-Ma’idah: 51.
Menunjukkan bahwa hukum baginya adalah sebagaimana hukum mereka, terlarang penetapan waris bagi seorang muslim dari seorang murtad.
Hukum pemutusan perwalian dengan kaum kafir ini terus ada hingga hari kiamat. Sungguh Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka” QS. Hud: 113.
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman.” QS. Ali Imran: 28.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu.” QS. Ali Imran: 118.
Allah ta’ala telah menyatakan keputusan terhadap perwalian kepada kaum kuffar yang dilakukan oleh sekelompok kaum mu’minin dengan firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, penolong atau sekutu], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” QS. Al-Ma’idah: 51.
Yakni karena mereka sungguh telah menyelisihi Allah ta’ala dan Rasul-Nya sebagaimana kaum kafir itu menyelisihiNya, wajib memusuhinya sebagaimana wajib memusuhi mereka, dan wajib baginya api neraka sebagaimana wajibnya api neraka bagi mereka. Maka ia menjadi bagian dari mereka yakni termasuk sahabat mereka.
2. Sesungguhnya yang menggelisahkan kaum munafik sehingga membuat mereka berwali kepada kaum kuffar, akan bubar di hadapan pengaturan Allah, pertolonganNya, pembinasaan musuh – musuhNya, penggagalan rencana mereka, dan penghinaan terhadap mereka.
3. Tampak jelasnya hakikat kaum munafik di hadapan kaum mu’minin, sehingga mereka takjub dengan urusan mereka dan berkata kepada sebagian mereka: apakah ini orang yang menyeru sebagai penolong kami dengan sumpah – sumpah yang berat? Atau mereka berkata kepada kaum Yahudi sebagai bentuk celaan: apakah ini orang – orang yang bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka akan menolong kalian atas Muhammad?
Maka ayat tersebut (QS. Al-Ma’idah: 53) mencakup perkataan kaum mu’minin kepada sebagiannya atau kepada kaum Yahudi.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.