Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa melakukan kebaikan (الصَّلَاحُ) dan yang lebih baik (الاَصْلَاحُ) itu wajib atas Allah ta’ala bagi seorang hambanya. Meninggalkan berbuat yang demikian itu adalah kikir dan bodoh, dan itu adalah mustahil bagi Allah ta’ala.
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah memaparkan bantahan terhadap mereka sebagai berikut:
Kebaikan dan keburukan itu saling bercampur di dunia. Setiap manusia menyadari yang demikian itu. Akan tetapi, apa sebenarnya kebaikan dan keburukan itu? Manusia berbeda pendapat dalam menjawab masalah ini, yang kami anggap penting ada empat perkara yaitu:
1. Bahwasanya kebaikan dengan dinisbatkan kepada manusia semata – mata manusia adalah apa saja yang ada kesenangan padanya yang tidak diikuti dengan sesuatu yang menyakitkan di saat sekarang maupun di masa mendatang. Keburukan adalah apa saja yang di dalamnya ada sesuatu yang menyakitkan di masa sekarang maupun di masa mendatang. Kesenangan adalah apa saja yang menyenangkan bagi panca indera atau akal. Sesuatu yang menyakitkan adalah apa saja yang mengganggu akal atau salah satu panca indera. Contoh dari yang demikian itu: makanan yang halal dan thoyyib adalah baik ketika tidak berlebihan saat memakannya, makanan yang busuk adalah keburukan, dan demikian juga dengan makanan yang haram.
2. Sesungguhnya engkau tidak akan mendapati urusan duniawi itu adalah kebaikan dari segala sisi dengan makna kebaikan yang telah dibahas sebelumnya. Tidak juga engkau dapati ia adalah keburukan dari segala sisi. Akan tetapi saling bercampur antara yang ini dan yang itu. Hukum yang berlaku atasnya adalah yang dominannya yang mana. Maka apa saja yang dominan padanya kebaikan, ia disebut sebagai kebaikan dan apa saja yang dominan padanya keburukan, ia disebut sebagai keburukan. Adapun dalam urusan agama maka kita dapati adanya kebaikan secara mutlak seperti orang yang diberi rizqi oleh Allah berupa ma’rifat kepada-Nya, sehingga ia suka berdzikir atau mengingat-Nya. Itu adalah kesenangan dunia yang diikuti dengan kesenangan di akhirat. Oleh karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dan yang menyejukkan hatiku adalah Shalat.” HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan yang lainnya.
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia itu terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan yang berhubungan dengannya, atau seorang yang ‘alim dan mengajarkan ilmunya.” HR. Ibnu Majah.
3. Bahwasanya ilmu manusia itu tidak meliputi manfaat yang ada pada sesuatu, kondisinya di masa sekarang dan yang akan datang, serta lahir dan batin. Demikian juga ilmu manusia itu tidak meliputi segala sesuatu yang dapat memudharatkan yang ada pada sesuatu. Maka penampakan kebaikan itu kebanyakannya dari perasaan dan secara maknawi, demikian pula penampakan keburukan. Apa saja yang merupakan kebaikan dengan suatu pertimbangan, dapat merupakan suatu keburukan dengan pertimbangan lainnya.
4. Sesungguhnya sesuatu yang merupakan kebaikan di sisi manusia, terkadang merupakan keburukan bagi selainnya, begitu juga sebaliknya.
Permasalahan yang berbelit ini menjadikan manusia kesulitan untuk menentukan suatu urusan sebagai baik atau buruk kecuali apa saja yang telah diputuskan oleh syara’ bahwa ini baik atau itu buruk. Allah ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 216.
Allah ta’ala juga mengisahkan kepada kita kisahnya Nabi Musa ‘alaihissalam bersama dengan Nabi Khidhir. Dalam kisah tersebut terdapat urusan – urusan yang secara zhahirnya adalah sebuah keburukan di dunia namun secara batinnya adalah kebaikan di akhirat. Dari sini dan dengan keutamaan Allah ta’ala kaum mu’minin mendapatkan kemenangan dengan husnuzhon (berbaik sangka) terhadap Allah. Maka seorang mu’min memandang setiap yang terjadi atasnya adalah dari Allah dan sebuah kebaikan. Sama saja apakah ia mengetahui aspek kebaikannya ataukah tidak, kecuali apa saja yang ditetapkan oleh syara’ sebagai keburukan. Akan tetapi, tidak boleh menghubungkan urusan tersebut hingga sampai pada ucapan:
“Sesungguhnya wajib bagi Allah melakukan apa saja yang di dalamnya kebaikan bagi hamba atau yang lebih baik baginya”, meskipun maksudnya adalah apa saja yang Allah perbuat adalah kebaikan atau yang lebih baik karena ucapan ini memiliki beberapa masalah:
1. Bila dikatakan: wajib atas Allah berbuat kebaikan, maka siapakah yang mewajibkannya? Allah ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Keputusan itu hanyalah milik Allah.” QS. Yusuf: 40.
Maka Allah ta’ala lah yang memutuskan, mewajibkan, dan mengharamkan, tidak ada seorang pun yang mewajibkan atasnya.
2. Terdapat urusan – urusan yang tidak tampak padanya aspek – aspek kebaikan atau yang lebih baik, seperti penciptaan orang kafir yang faqir lagi sakit. Ia diadzab di dunia dan di akhirat. Demikian juga penyakit – penyakit yang menjadi ujian bagi anak – anak.
3. Bila kita dapati suatu urusan yang tidak ada kebaikan bagi seorang hamba maka apakah kita katakan sesungguhnya Allah ta’ala telah meninggalkan sebuah kewajiban? Apakah makna meninggalkan kewajiban dan apa yang mengikutinya?
Berdasarkan hal ini, kaum ahlus sunnah tidak sepakat dengan kaum mu’tazilah dalam perkataan mereka: sesungguhnya berbuat yang terbaik adalah wajib atas Allah ta’ala bagi seorang hamba. Apapun takwil perkataan tersebut di sisi mereka, sesungguhnya itu adalah sebuah kata yang buruk yang akan menyebabkan apa saja yang tidak layak bagi Allah azza wajalla. Adapun kami berhusnuzhon kepada Allah ta’ala dan kami katakan:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan.” QS. Al-Anbiya’: 23.
Keanehan itulah yang menjadi sebab berpisahnya Syaikh Abu Hasan al-Asy’ari (Imamnya Asya’irah) dari gurunya Abu Hasyim al-Jubbai al-Mu’tazili.
Abu Hasan pernah bertanya kepada al-Jubbai dalam salah satu sesi belajarnya: apa yang engkau katakan dalam hal ada tiga orang bersaudara yang salah satunya meninggal saat dewasa dalam ketaatan, kemudian yang lainnya meninggal saat dewasa dalam keadaan durhaka kepada Allah, dan yang ketiga meninggal saat masih kecil?
Al-Jubbai menjawab: orang yang pertama diberi ganjaran dengan surga, orang yang kedua dibalas dengan neraka, dan anak yang ketiga tidak diberi ganjaran dan tidak diberi balasan.
Al-Asy’ari berkata: apabila anak yang ketiga berkata: ya Rabbi mengapa engkau mematikanku saat masih kecil, aku tidak dapat tinggal sehingga aku taat kepadamu dan masuk ke surga; Apa yang akan dikatakan Rabb?
Al-Jubbai berkata: Rabb akan berkata, sesungguhnya Aku lebih mengetahui apabila engkau sampai pada usia dewasa engkau akan mendurhakaiku dan masuk ke neraka. Maka itu adalah yang lebih baik bagimu yaitu meninggal saat masih kecil.
Al-Asy’ari berkata: bila orang yang kedua berkata: ya Rabb mengapa tidak engkau matikan aku saat masih kecil sehingga aku tidak masuk neraka? Apa yang akan dikatakan oleh Rabb? Al-Jubbai kehilangan akal menjawabnya.
Maka al-Asy’ari meninggalkan madzhabnya dan menyibukkan diri membatalkan pendapat -pendapatnya kaum mu’tazilah serta menetapkan apa saja yang terdapat di dalam sunnah dan al-jama’ah. Oleh karena itulah mereka disebut dengan sebutan ahlussunnah wal jama’ah. (Lihat Hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Jauharat).
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.
Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Maliki as-Showi, Syarh as-Showi ‘Ala Jauharat at-Tauhid.