Syarah Shahih Bukhari Hadits No. 16.
Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, jika ia mencintai seseorang dia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka”. HR. Bukhari.
Penjelasan Lafadz – Lafadz Hadits
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
Artinya “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang”. Yakni tiga karakter yang terpuji dan tiga sifat yang mulia. Barangsiapa yang memiliki sifat – sifat tersebut, maka sungguh benar – benar ada keimanan padanya dan ia mendapatkan manisnya iman dalam hatinya.
وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ
Artinya “ia mendapatkan manisnya iman”. Makna manisnya iman adalah kelezatannya dan perasaan akan agungnya nikmat iman dalam hatinya. Ia menikmatinya dengan ketaatan dan sanggup menahan kesulitan dalam menggapai ridha Allah ta’ala. Maka keimanan itu baginya terasa manis di hati sebagaimana manisnya makanan yang lezat setelah merasakan lapar dan haus yang amat sangat.
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
Artinya “lebih dicintainya dari selain keduanya”. Yakni cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar daripada cintanya kepada segala sesuatu di dunia ini. Baik itu cintanya kepada harta, anak, istri, perhiasan, dan selainnya dari kenikmatan – kenikmatan dunia.
لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ
Artinya “dia tidak mencintainya kecuali karena Allah”. Yakni tidak mencintai seseorang karena maslahat dan manfaat, sesungguhnya ia mencintainya karena Allah dan mencari ridhonya. Maka jadilah cintanya itu cinta yang ikhlas karena Allah ta’ala.
أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
Artinya “kembali kepada kekufuran”. Yakni benci kembali kepada kekufuran yang dapat menjadikannya kafir setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu dengan Islam. Ia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia takut dilemparkan ke dalam api neraka yang bergejolak.
An-Nawawi berkata: ini adalah hadits yang agung dan merupakan ushul (perkara pokok) dari ushul – ushul Islam. Bagaimana tidak, di dalamnya terdapat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang merupakan pokok keimanan bahkan itu merupakan hakikatnya. Tidak akan nyata cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ia tidak benci kembali kepada kekufuran, kecuali bagi orang yang kuat keimanannya dalam dirinya dan digembirakan hatinya. Keimanan ini telah bercampur dalam darah dan dagingnya. Inilah orang – orang yang mendapatkan manisnya keimanan.
Faidah Yang Dapat Diambil Dari Hadits
Pertama, bahwa sudah seharusnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya lebih berharga daripada segala sesuatu di dunia ini dan dari seluruh perhiasan dunia.
Kedua, cinta seseorang kepada sahabatnya hendaklah ikhlas mengharap Allah ta’ala tidak untuk mendapatkan manfaat – manfaat duniawiyah.
Ketiga, hendaknya benci kepada kekufuran dan menyelamatkan diri darinya sebagaimana manusia menyelamatkan diri dari api neraka dan sebagaimana manusia menyelamatkan diri dari terkaman binatang buas.
Keempat, bahwasanya cinta kepada Allah ta’ala semata tidaklah mencukupi hingga seseorang menggabungkannya dengan cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kelima, bahwasanya keimanan di dalam qolbu itu memiliki suatu hal yang manis, lebih dari manisnya makanan dan minuman atas rasa lapar dan dahaga.
Keenam, bahwasanya ketiga perkara yang terdapat dalam hadits tersebut merupakan jenis – jenis penyempurna keimanan yang dapat menyampaikan kepada kelezatan iman dan merupakan bukti yang nyata akan mantapnya keimanan di dalam qolbu seorang muslim.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan: Syarah al-Muyassar Li Shahih al-Bukhari oleh Syaikh Muhammad ‘Ali As-Shabuni.