Manhaj Dalam BerIslam (2) – Tidak Mencampur Adukkan Agama – Agama

Tags:

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan”. QS. Al-Baqarah: 42.

Berkaitan dengan ayat tersebut, Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Qotadah bahwa beliau menjelaskan maksudnya adalah:

وَلَا تَلْبِسُوا الْيَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ بِالْإِسْلَامِ؛ إِنَّ دِينَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ، وَالْيَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ بِدْعَةٌ لَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ.

“Janganlah kamu campur agama Yahudi dan Nashrani dengan agama Islam. Sesungguhnya agama Allah itu adalah agama Islam, sedangkan agama Yahudi dan Nashrani itu adalah bid’ah tidak berasal dari Allah.”

Bila ada yang mengatakan: bukankah Yahudi dan Nashrani itu adalah sama – sama agama samawi?

Perlu kita tekankan di sini apa yang dimaksud dengan agama samawi. Bila maksudnya adalah perkara ushul dan syariat dari agama – agama tersebut yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam, serta apa yang ada dalam Taurat dan Injil yang asli maka memang kedua agama tersebut dengan penjelasan ini adalah agama samawi.

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ

“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” QS. Al-Ma’idah: 44.

وَقَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ

“Dan Kami teruskan jejak mereka dengan mengutus Isa putra Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan Kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” QS. Al-Ma’idah: 46.

Adapun agama Yahudi dan Nashrani sekarang sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi keasliannya karena mengalami pengubahan dan penggantian. Pengubahan – pengubahan itulah yang menjadikan keduanya terputus statusnya sebagai agama samawi bahkan bid’ah yang mereka ada – adakan itu menjadikannya sebagai agama bumi. Bid’ah – bid’ah yang dibuat oleh rahib – rahib mereka itu di antaranya adalah menisbatkan sifat kekurangan pada diri Allah azza wa jalla, syirik, trinitas kaum Nashara, dll.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ * اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” QS. At-Taubah: 30-31.

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا * تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا * أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا

Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.” QS. Maryam: 88-92.

Kemudian, terkait dengan pembahasan apakah syariat sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam adalah juga syariat bagi kita, para ulama’ berbeda pendapat.

Sebagian para ahli ushul berpendapat bahwa syariat sebelum kita tidak dapat dijadikan dalil. Mereka berhujjah dengan firman Allah ta’ala:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” QS. Al-Ma’idah: 48.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ

“Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada setiap bangsa merah dan hitam.” HR. Muslim.

Sebagian ulama’ lainnya berpendapat bahwa syariat sebelum kita dapat dijadikan hujjah namun melalui Qur’an dan Sunnah tidak melalui kitab mereka yang sudah berubah isinya, mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” QS. Al-An’am: 90.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

أَنَّ الرُّبَيِّعَ وَهِيَ ابْنَةُ النَّضْرِ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا الْأَرْشَ وَطَلَبُوا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَأَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهُمْ بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا فَقَالَ يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ الْقَوْمُ وَعَفَوْا

“Bahwa Ar Rubayyi’, -dia adalah putri dari AnNadhar- mematahkan gigi depan seorang anak perempuan lalu mereka meminta ganti rugi, namun mereka menolaknya hingga akhirnya mereka (kedua kaum itu) menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan qishosh (tuntutan balas yang setimpal). Maka Anas bin an-Nadhar berkata: “Apakah kami harus mematahkan gigi depannya ar-Rubayyi’ wahai Rasulullah? Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan benar, kami tidak akan mematahkan giginya”. Maka Beliau berkata: “Wahai Anas, di dalam Kitab Allah ada ketetapan qishosh (Allah yang menetapkan qishosh) “. Maka kaum itu ridha lalu memaafkannya.” HR. Bukhari.

Pada intinya kedua pendapat tersebut memiliki kesamaan. Yaitu bahwa syariat Islam telah sempurna dan mencakup segala sesuatu yang merupakan syariat umat terdahulu namun menjadi syariat juga bagi umat Islam. Ini semua sebagaimana ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Qur’an dan Sunnah. Bukan yang terdapat dalam kitab – kitab Yahudi dan Nashrani yang sekarang yang tidak terjamin keasliannya.

Kemudian, ada yang mengatakan bahwa bukankah setiap agama itu mengajarkan kepada kebaikan? Tidak ada yang mengajarkan keburukan. Misalnya saja di Jepang, negeri itu sangat bersih. Warga Jepang sangat menghargai kebersihan sebagaimana yang telah diajarkan salah satu agama mayoritas di Jepang, yaitu Shinto. Ajaran agama Shinto beranggapan bahwa kebersihan adalah cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga mereka yang menganut agama Shinto berlomba-lomba menjaga kebersihan dan menjadikan hal itu sebagai budaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Bukankah ini sama saja dengan ajaran Islam yang mengatakan bahwa kebersihan itu adalah sebagian daripada Iman? Bahkan kebersihan yang dipraktekkan oleh orang kafir jauh lebih baik daripada yang dipraktekkan oleh umat Islam. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka lebih Islami daripada umat Islam dalam hal kebersihan.

Jawabannya adalah meskipun ada kemiripan atau kesamaan dengan praktek ibadah umat lain, semua amal ibadah kaum kuffar sama sekali tidak bernilai di hadapan Allah ta’ala.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” QS. Ali Imran: 85.

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” QS. Al-Furqan: 23.

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ

“Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” QS. Ibrahim: 18.

Mengapa amal – amal mereka tidak ada nilainya di sisi Allah ta’ala? Sebab amal yang mereka kerjakan tidak memenuhi syarat – syarat diterimanya amal yaitu ikhlas karena Allah ta’ala dan sesuai dengan syariat Allah ta’ala. Katakanlah apa yang mereka lakukan itu sesuai dengan syariat Allah ta’ala, namun karena tidak dilandasi dengan keimanan maka amal mereka pun tidak ada nilainya. Jangankan kaum kafir yang melakukan itu, umat Islam sendiri pun bila sholat tidak diniatkan ikhlas karena Allah ta’ala juga akan tertolak bahkan bernilai dosa riya’.

Meski demikian, apa yang mereka usahakan di dunia tetap dapat tercapai sesuai dengan kebiasaan atau sunnatullah yaitu adanya akibat ketika ada penyebabnya. Bila mereka menjalani semua sebab – sebab yang dapat menghantarkan kepada kebersihan, maka tentulah sesuai sunnatullah akan menjadikan negeri mereka menjadi bersih. Itu berlaku secara umum bagi kaum muslimin ataupun kaum kafir di dunia.

Adapun contoh – contoh penyimpangan terkait pencampur adukkan agama ini adalah:

1. Penggunaan atribut – atribut agama lain yang mengandung arti khusus bagi para pemeluknya. Cukuplah surat berikut sebagai pegangan kita:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ * لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ * وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ * وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ * وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ * لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” QS. Al-Kafirun: 1-6.

2. Mengatakan semua agama sama padahal sebagaimana telah kita bahas sebelumnya tidak sama dan masing -masing memiliki konsepnya sendiri – sendiri. Islam berneda dengan Kristen, berbeda dengan Yahudi, berbeda dengan Hindu dst.

4. Sinkretisme agama sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok – kelompok menyimpang di antaranya oleh Gafatar di Indonesia yang telah dinyatakan sesat oleh MUI. Kelompok tersebut mencampur adukkan ajaran – ajaran Yahudi, Kristen, dan Islam.

5. Mengatakan bahwa konsep trinitas dalam aqidah kaum Nashrani itu sama dengan konsep 99 asmaul husna dalam Islam. Padahal jelas bahwa dalam Islam Dzat Allah hanya satu namun memiliki banyak sifat dan nama sedangkan dzat tuhan dalam kepercayaan Nashrani ada 3 dzat yaitu Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Al-Qur’an sendiri mengecam:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا

“Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga,” berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” QS. An-Nisa’ : 171.

Wallahu ‘alam bi as-shawwab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *