Manhaj Dalam BerIslam (1) – Mengikuti Petunjuk Allah

Tags:

Allah ta’ala berfirman:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” QS. Al-Baqarah: 38.

Abu Al-Aliyah (salah seorang tabi’in) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan huda atau petunjuk dalam ayat tersebut adalah para Nabi, para Rasul, dan penjelasan – penjelasan mereka.

Maka barangsiapa yang menerima kitab yang Allah turunkan serta risalah yang dibawa oleh rasul, tiada atas mereka rasa takut dalam menghadapi urusan – urusan akhirat dan tiada mereka bersedih atas apa yang telah berlalu dari urusan dunia.

Ini adalah perkara pokok yang sangat penting dalam berIslam yaitu mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam agar kita selamat dunia dan akhirat. Petunjuk tersebut ada di dalam Al-Qur’an al-Karim, Al-Hadits dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Maka sudah semestinya bagi setiap muslim untuk senantiasa mencari petunjuk dari keduanya melalui bimbingan para ulama’ tentunya.

Ada sebagian orang yang merasa telah berIslam dan telah merasa mengikuti petunjuk menuju jalan yang benar. Namun di sisi lain, mereka tak pernah mencoba mengetahui apa saja petunjuk – petunjuk yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apalagi mencoba mengamalkannya. Tentu saja dengan bimbingan para ulama’. Akibatnya, mereka berIslam dengan cara yang sama sekali jauh dari tuntunan Rasulullah. Mereka merasa pengikuti petunjuk yang benar namun entah petunjuk siapakah itu, sebab Nabi sendiripun tidak pernah menunjukkan jalan tersebut.

Sebagai contoh adalah para penganut aliran “yang penting isinya, bukan sampulnya”. Dengan slogan tersebut mereka berpendapat bahwa sampul itu tidak penting sebab yang penting adalah isinya. Buat apa sampulnya bagus namun hatinya busuk. Banyak pendapat – pendapat nyeleneh yang muncul dari kalangan ini misalnya saja “tidak apa – apa tidak berjilbab sebab yang penting adalah hatinya berjilbab”, kemudian “sholat itu yang penting hatinya, sholat secara zhahir fisik itu tidak penting sebab yang dilihat oleh Allah adalah hatinya”.

Pendapat – pendapat tersebut tentu tidak benar. Mengapa? Atas petunjuk siapa mereka berkata demikian? Apakah atas petunjuk Allah dan RasulNya? Bila memang ada petunjuk dari Allah dan RasulNya, di manakah petunjuk tersebut? Jawabannya tentu saja tidak ada petunjuk dari Allah dan RasulNya yang mengarahkan pada yang demikian itu. Karena pada faktanya petunjuk Allah justru menunjukkan agar berjilbab dan sholat secara zhahir fisik disertai dengan keihlasan hati. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sholat malam hingga kakinya bengkak, padahal beliau adalah orang yang telah dijamin masuk surga. Lantas atas dasar apa orang yang bukan Nabi dan Rasul, jaminan surga pun tak ada, namun mengatakan sholat fisik zhahir itu tidak penting?

Allah ta’ala berfirman mengenai jilbab:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab: 59.

Allah ta’ala berfirman mengenai sholat:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” QS. Al-Baqarah: 2-3.

Contoh lain lagi adalah sedekah laut, sedekah bumi, dan acara – acara sedekah lain yang serupa. Atas petunjuk siapakah acara – acara tersebut? Adakah kita temukan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan penjelasan -penjelasan para ulama’ mengenainya? Dikatakan bahwa sedekah kepada makhluk apa saja itu ada dalilnya, ada perintahnya. Bahkan seorang wanita pelacur yang bersedekah air kepada seekor anjing pun bisa masuk surga. Maka kita katakan: coba misalnya pelacur tersebut sedekahnya kepala kerbau kepada anjing yang kehausan tadi, kira -kira apakah ia jadi masuk surga atau tidak? Makanan ikan itu pelet ikan atau kotoran, atas pertimbangan apa yang disedekahkan itu adalah kepala kerbau? Tak lain tak bukan tentu itu dimaksudkan bagi para jin penghuni laut ataupun penghuni sawah. Ini tentu hal yang sama sekali mengingkari petunjuk.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” QS. Al-An’am: 162.

Contoh lain lagi, adalah mereka yang mengikuti petunjuk suara mayoritas dalam penetapan hukum yang mana hukum tersebut telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka membahas definisi zina tidak dengan ilmu – ilmu keIslaman namun berdasarkan definisi yang diajukan oleh masing – masing orang. Ada yang menyampaikan bahwa tidak dikatakan berzina bila keduanya suka sama suka dll. Pada akhirnya suara terbanyaklah penentunya. Bila suara terbanyak menghendaki bahwa definisi zina adalah hubungan yang dilakukan tidak suka sama suka, maka sahlah hukum tersebut. Ini tentu sama sekali tidak mengikuti petunjuk sebab Islam telah menetapkan bahwa zina adalah senggama laki – laki dan perempuan yang bukan suami istri. Dengan demikian maka dapat dipastikan bahwa mengikuti petunjuk mereka dalam hal ini tidak akan membawa kebahagiaan dunia akhirat bahkan malah akan tersesat dan celaka. Masyarakat yang menghalalkan zina bukannya malah semakin baik malah semakin hina dan rusak.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” QS. Al-Ma’idah: 50.

Maha benar firman Allah ta’ala:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

“Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” QS. Thaha: 123.

Sungguh celaka orang yang telah mengetahui jalan mana yang seharusnya ditempuh namun ia masih lebih memilih jalan yang akan membuatnya tersesat di tengah hutan.

Semoga kita termasuk di antara orang – orang yang senantiasa mencari petunjuk tersebut dan mengikutinya setiap saat. Sehingga layaklah bagi kita untuk berharap bahwa kita akan selamat dunia dan akhirat.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *