Kisah Nabi Shalih ‘Alaihissalam

Tafsir QS. Al-A’raf, ayat 73-79

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ * وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الأرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا آلاءَ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ * قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ * قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ * فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَا صَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ * فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ * فَتَوَلَّىٰ عَنۡهُمۡ وَقَالَ یَـٰقَوۡمِ لَقَدۡ أَبۡلَغۡتُكُمۡ رِسَالَةَ رَبِّی وَنَصَحۡتُ لَكُمۡ وَلَـٰكِن لَّا تُحِبُّونَ ٱلنَّـٰصِحِینَ

Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkanlah ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih.” Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi. Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, yaitu orang-orang yang telah beriman di antara kaumnya, “Tahukah kamu bahwa Shalih adalah seorang rasul dari Tuhannya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami percaya kepada apa yang disampaikannya.” Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu percayai.” Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, “Wahai Shalih! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul.” Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka. Kemudian dia (Shalih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat.” QS. Al-A’raf: 73-79.

Para Ulama tafsir dan nasab mengatakan bahwa nasab kaum Tsamud ialah Tsamud ibnu Asir ibnu Iram ibnu Sam ibnu Nuh. Mereka semuanya adalah kabilah-kabilah dari kalangan bangsa Arabul Aribah sebelum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Kaum Tsamud ada sesudah kaum ‘Ad, tempat tinggal mereka terkenal terletak di antara Hijaz dan negeri Syam serta Wadil Qura dan daerah sekitarnya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melalui negeri dan bekas tempat tinggal mereka ketika dalam perjalanannya menuju medan Tabuk, yaitu pada tahun sembilan Hijriah.

Imam Ahmad berkata dari Ibnu Umar bahwa beliau berkata:

لَمَّا نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ عَلَى تَبُوكَ، نَزَلَ بِهِمُ الْحِجْرَ عِنْدَ بُيُوتِ ثَمُودَ، فَاسْتَسْقَى النَّاسُ مِنَ الْآبَارِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا ثَمُودُ، فَعَجَنُوا مِنْهَا وَنَصَبُوا مِنْهَا الْقُدُورَ. فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَهْرَقُوا الْقُدُورَ، وَعَلَفُوا العجينَ الإبلَ، ثُمَّ ارْتَحَلَ بِهِمْ حَتَّى نَزَلَ بِهِمْ عَلَى الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَشْرَبُ مِنْهَا النَّاقَةُ، وَنَهَاهُمْ أَنْ يَدْخُلُوا عَلَى الْقَوْمِ الَّذِينَ عُذِّبُوا وَقَالَ: “إِنِّي أَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ، فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ”

Manakala Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersama dengan orang – orang menuju medan Tabuk, beliau berhenti bersama mereka di daerah Al-Hijr, yaitu di bekas tempat tinggal kaum Tsamud. Kemudian orang-orang (para sahabat) meminta air dari sumur-sumur yang dahulu dipakai untuk minum oleh kaum Tsamud. Mereka membuat adonan roti dengan air sumur-sumur itu dan menem­patkannya di panci-panci besar. Tetapi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kepada mereka agar menumpahkan air yang ada di panci-panci itu dan mem­berikan adonan mereka kepada unta-unta mereka sebagai makanannya. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membawa mereka berangkat hingga turun istirahat bersama mereka di sebuah sumur yang pernah dijadikan sebagai tempat minum unta tersebut (unta Nabi Shalih). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka memasuki bekas daerah kaum yang pernah diazab, dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya saya merasa khawatir bila kalian akan ditimpa oleh azab seperti yang menimpa mereka, maka janganlah kalian memasuki bekas tempat tinggal mereka.

Imam Ahmad mengatakan pula dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ketika di Al-Hijr pernah bersabda:

لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ المعذَّبين إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ، فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مثلُ مَا أَصَابَهُمْ

Janganlah kalian memasuki daerah mereka yang pernah diazab itu kecuali bila kalian sambil menangis. Dan jika kalian tidak dapat menangis, janganlah kalian memasukinya, (sebab) dikhawatirkan kalian akan ditimpa azab seperti yang pernah menimpa mereka.

Pokok hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا

Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. QS. Al-A’raf: 73.

Yaitu sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kabilah Tsamud saudara mereka, Shalih.

قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. QS. Al-A’raf: 73.

Pada garis besarnya semua utusan Allah menyerukan untuk menyembah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. QS. Al-Anbiya: 25.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”. QS. An-Nahl: 36.

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً

Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. QS. Al-A’raf: 73.

Artinya, telah datang hujah Allah kepada kalian yang membenarkan apa yang aku sampaikan kepada kalian. Sebelum itu mereka selalu meminta suatu tanda dari Allah (mukjizat) kepada Nabi Shalih. Mereka meminta agar Shalih mengeluarkan dari sebuah batu besar seekor unta untuk mereka yang hal itu disaksikan oleh mata kepala mereka sendiri. Batu besar itu memang lain dari yang lain, terdapat di suatu bagian dari daerah Al-Hijr; batu itu dinamakan Al-Katibah.

Mereka meminta kepada Nabi Shalih untuk mengeluarkan se­ekor unta betina yang unggul dari batu besar itu buat mereka. Maka Nabi Shalih membuat perjanjian dan ikrar terhadap mereka: Jika Allah mengabulkan permintaan mereka, maka mereka mau beriman kepada Nabi Shalih dan benar-benar akan mengikutinya. Setelah mereka bersedia dan memberikan janji dan ikrar mereka kepadanya, maka Nabi Shalih ‘alaihissalam bangkit menuju ke tempat salatnya dan berdoa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Maka batu besar itu mendadak bergerak dan terbelah, kemudian keluarlah darinya seekor unta betina yang janinnya bergerak pada kedua sisi lambungnya (yakni sedang mengandung kembar), persis seperti apa yang mereka minta.

Pada saat itu juga berimanlah kepada Nabi Shalih pemimpin mereka (yaitu Junda’ ibnu Amr) bersama para pengikutnya yang taat kepada perintahnya.

Unta betina itu beserta anaknya sesudah ia melahirkannya tinggal bersama mereka dalam suatu masa. Unta itu minum dari air sumur mereka sehari, dan hari yang lainnya air sumur itu merupakan bagian untuk minum mereka. Pada hari minum unta itu mereka dapat minum dari air susu unta itu yang mereka perah. Air susunya dapat memenuhi semua wadah dan panci besar mereka menurut sekehendak mereka. Hal ini dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui firman-Nya:

وَنَبِّئْهُمْ أَنَّ الْمَاءَ قِسْمَةٌ بَيْنَهُمْ كُلُّ شِرْبٍ مُحْتَضَرٌ

Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa air itu dibagi di antara mereka (dengan unta betina itu); setiap orang berhak mendapat giliran minum. QS. Al-Qamar: 28.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya yang mengatakan:

هَذِهِ نَاقَةٌ لَهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَعْلُومٍ

Dia (Shalih) menjawab, “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan.” QS. Asy-Syu’ara: 155.

Tersebutlah bahwa unta betina itu hidup bebas di lembah-lembah tempat mereka tinggal, datang dari suatu lembah dan keluar menuju lembah yang lain mencari kebebasan. Unta tersebut konon hidup dari air, dan menurut kisahnya unta betina itu sangat besar tubuhnya dan mempunyai penampilan yang sangat indah. Apabila unta betina itu melewati ternak milik mereka, maka semua ternak mereka memisahkan diri darinya karena ketakutan.

Setelah hal tersebut berlangsung cukup lama di kalangan mereka, dan mereka makin gencar dalam mendustakan Nabi Shalih ‘alaihissalam, maka mereka bertekad membunuh unta betina itu dengan tujuan agar bagian airnya dapat mereka peroleh setiap harinya.

Menurut suatu pendapat, mereka semuanya sepakat untuk mem­bunuh unta betina itu. Qatadah mengatakan, telah sampai kepadaku suatu kisah yang mengatakan bahwa lelaki yang membunuh unta itu terlebih dahulu berkeliling menemui semua kaumnya untuk memperoleh persetujuan dalam membunuhnya; yang dimintai persetujuan termasuk kaum wanita yang berada di dalam kemah-kemah pingitannya, juga anak-anak.

Menurut kami, memang demikianlah pengertian lahiriahnya karena berdasarkan kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatakan:

فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا

Namun mereka mendustakannya dan menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah). QS. Asy-Syams: 14.

وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا

Dan telah Kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya (unta betina itu). QS. Al-Isra: 59.

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَعَقَرُوا النَّاقَةَ

Kemudian mereka sembelih unta betina itu. QS. Al-A’raf: 77.

Perbuatan membunuh unta itu disandarkan kepada keseluruhan kabilah, maka hal ini menunjukkan bahwa mereka semuanya setuju dengan perbuatannya.

Imam Abu Ja’far ibnu Jarir dan lain-lainnya dari kalangan ulama tafsir mengatakan bahwa penyebab terbunuhnya unta betina itu ialah karena seorang wanita dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Unaizah yang dipanggil dengan nama Ummu Utsman. Dia adalah seorang nenek-nenek yang kafir, juga seorang yang sangat sengit dalam memusuhi Nabi Shalih ‘alaihissalam. Dia seorang wanita yang berharta dan mempunyai banyak anak perempuan yang semuanya cantik. Suaminya bernama Dzuab ibnu Amr, salah seorang pemuka kaum Tsamud.

Juga karena seorang wanita lainnya yang dikenal dengan nama Shadaqah yang mempunyai kedudukan tinggi, berharta, lagi cantik. Pada asalnya ia menjadi istri seorang lelaki muslim dari kaum Tsamud, tetapi suaminya telah menceraikannya.

Kedua wanita itulah yang menyebabkan terbunuhnya unta betina tersebut, dan keduanya menyediakan hadiah buat orang yang mau membunuhnya.

Shadaqah memanggil seorang lelaki yang dikenal dengan nama Al-Hubab, lalu Shadaqah menawarkan dirinya kepada Al-Hubab jika Al-Hubab berhasil menyembelih unta betina itu. Tetapi Al-Hubab menolak­nya. Kemudian Shadaqah memanggil sepupunya yang dikenal dengan nama Mishda’ ibnu Muhayya, dan ternyata saudara sepupunya ini mau menerima tawarannya.

Sedangkan Unaizah binti Ghanam memanggil Qidar ibnu Salif, seorang lelaki berkulit merah, bermata biru, dan bertubuh pendek. Mereka menduga bahwa Qidar adalah anak zina, bukan anak orang yang ia dinisbatkan kepadanya, yaitu Salif. Unaizah berkata kepadanya, “Aku akan memberikan anak perempuanku yang kamu sukai jika kamu berhasil membunuh unta betina itu.”

Maka pada saat itu berangkatlah Qidar ibnu Salif bersama Mishda’ ibnu Muhayya, lalu mereka membujuk orang-orang yang sesat dari kalangan kaum Tsamud. Akhirnya mereka berdua dapat membawa tujuh orang lagi untuk mengikuti mereka, sehingga mereka semuanya berjumlah sembilan orang. Mereka disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ وَلا يُصْلِحُونَ

Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan. QS. An-Naml: 48.

Mereka yang sembilan orang itu merupakan pemimpin-pemimpin pada kaumnya masing-masing. Akhirnya mereka beroleh dukungan dari semua kabilah Tsamud yang kafir dan setuju dilakukannya perbuatan tersebut. Mereka berangkat dan mengintai unta itu di saat unta itu keluar dari tempat air. Qidar memasang perangkap yang dipancangkan pada sebuah batu besar di jalan yang biasa dilaluinya, sedangkan Mishda’ memasang perangkap pula pada bagian lainnya.

Ketika unta betina itu melewati perangkap Mishda’, ia membidik­kan anak panahnya dan mengenai bagian betisnya. Lalu anak perempuan Ghanam yang bernama Unaizah memerintahkan kepada anak perempuan­nya yang memiliki paras paling cantik untuk membukakan penutup wajahnya di hadapan Qidar dan teman-temannya. Dengan serta merta Qidar menebaskan pedangnya ke bagian belakang teracaknya, maka unta betina itu terjungkal ke tanah, mengeluarkan rintihan sekali rintih, memperingatkan kepada anaknya agar melarikan diri. Kemudian Qidar menusuk bagian tenggorokannya dan langsung menyembelihnya.

Sedangkan anak unta betina itu lari menuju sebuah bukit yang kokoh dan menaiki sebuah batu besar yang ada padanya.

Setelah mereka melakukan hal tersebut dan penyembelihan unta betina itu telah selesai mereka kerjakan, beritanya terdengar oleh Nabi Shalih ‘alaihissalam. Maka Nabi Shalih mendatangi mereka di saat mereka sedang berkumpul. Ketika Nabi Shalih melihat bahwa unta betina itu telah disembelih, ia menangis dan berkata, seperti yang dikisahkan oleh firman-Nya:

تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ

“Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari.” QS. Hud: 65, hingga akhir ayat.

Pembunuhan unta tersebut terjadi pada hari Rabu. Pada petang harinya kesembilan orang lelaki itu bertekad akan membunuh Nabi Shalih. Mereka mengatakan, “Jika dia benar, maka berarti kita mendahuluinya mati sebelum kita mati (karena azab). Jika dia dusta, maka kita timpakan kepadanya nasib yang sama seperti yang dialami untanya itu.”

قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ. وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ * فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ مَكْرِهِمْ أَنَّا دَمَّرْنَاهُمْ وَقَوْمَهُمْ أَجْمَعِينَ * فَتِلْكَ بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا

Mereka berkata, “Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari, kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh, kita orang yang benar.” Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya. Maka itulah rumah-rumah mereka yang runtuh karena kezhaliman mereka. QS. An-Naml: 49-51), hingga akhir ayat.

Ketika mereka bertekad melaksanakan niatnya dan telah sepakat, maka mereka datang di malam hari untuk membunuh Nabi Shalih secara mengejutkan. Tetapi Allah mengirimkan batu-batuan yang membendung mereka sampai kepada Nabi Shalih.

Pada pagi hari Kamis (yaitu hari pertama penangguhan tersebut) wajah mereka berubah warnanya menjadi kuning, persis seperti apa yang dijanjikan oleh Nabi Shalih kepada mereka. Selanjutnya pada hari keduanya dari hari-hari tersebut (yakni hari Jumat) wajah mereka berubah menjadi merah. Pada hari ketiganya (yaitu hari Sabtu) wajah mereka berubah menjadi hitam. Dan pada pagi hari Ahadnya mereka duduk seraya memandang kepada azab Allah dan siksa-Nya yang menimpa mereka; semoga Allah melindungi kita dari hal seperti itu. Mereka tidak mengetahui apakah yang harus mereka lakukan dan tidak mengerti pula bagaimanakah azab itu dapat datang menimpa mereka.

Matahari terbit dengan cerahnya, dan datanglah kepada mereka suatu teriakan dari langit dan gempa yang dahsyat dari bagian bawah mereka. Maka semua ruh mereka sekaligus tercabut dalam masa yang sama saat itu juga.

فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ

dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka. QS. Al-A’raf: 78.

Yakni mereka mati tidak bernyawa lagi; tiada seorang pun yang luput dari azab itu, baik anak kecil, orang dewasa, laki-laki, maupun perempuan.

Tidak ada seorang pun yang tersisa dari keturunan kaum Tsamud selain Nabi Shalih ‘alaihissalam beserta orang-orang yang mengikutinya, dan seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama panggilan Abu Righal. Ketika azab menimpa kaumnya, ia sedang bermukim di tanah suci selama beberapa waktu, sehingga ia selamat dari azab itu dan tidak ada sesuatu pun yang menimpanya. Tetapi ketika di suatu hari ia keluar dari tanah suci menuju ke tanah lainnya yang tidak suci, maka datanglah batu dari langit dan menimpa dirinya, lalu ia mati seketika itu juga.

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ

Kemudian dia (Shalih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat.” QS. Al-A’raf: 79.

Ungkapan ini merupakan kecaman dari Nabi Shalih ‘alaihissalam terhadap kaumnya setelah Allah memusnahkan mereka karena menentangnya, membangkang terhadap perintah Allah, serta takabur tidak mau menerima kebenaran, dan berpaling dari petunjuk menuju kepada kebutaan.

Nabi Shalih mengatakan demikian kepada mereka setelah mereka dibinasakan sebagai kecaman dan cemoohan, karena mereka memang mendengarnya.

Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beroleh kemenangan dalam Perang Badar, maka beliau tinggal di Badar selama tiga hari. Setelah itu beliau memerintah­kan agar unta kendaraannya dipersiapkan untuk berangkat; hal ini terjadi setelah tiga malam berlangsung, yaitu pada penghujungnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menaiki unta kendaraannya dan berjalan sampai di sumur Qulaib, lalu berhenti di dekatnya dan bersabda:

يَا أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ، يَا عُتْبَةُ بْنَ رَبِيعَةَ، يَا شَيْبَةُ بْنَ رَبِيعَةَ، وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ: هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ فَإِنِّي وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقًّا. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تُكَلّم مِنْ أَقْوَامٍ قَدْ جُيِّفُوا؟ فَقَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، وَلَكِنْ لَا يُجِيبُونَ

Hai Abu Jahal ibnu Hisyam, hai Atabah ibnu Rabi’ah, hai Syaibah ibnu Rabi’ah, dan hai Fulan bin Fulan, bukankah kalian sekarang telah menjumpai apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian sebagai suatu kenyataan. Karena sesungguhnya aku pun telah menjumpai apa yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku secara nyata. Maka Umar bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara kepada orang-orang yang telah menjadi bangkai?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan­Nya, kalian sekali-kali bukanlah orang-orang yang lebih mendengar perkataanku daripada mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawab.

Di dalam kitab Sirah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada mereka (orang-orang musyrik Makkah yang terbunuh dalam Perang Badar):

بِئْسَ عَشِيرَةُ النَّبِيِّ كُنْتُمْ لِنَبِيِّكُمْ، كَذَّبْتُمُونِي وَصَدَقَنِي النَّاسُ، وَأَخْرَجْتُمُونِي وَآوَانِي النَّاسُ، وَقَاتَلْتُمُونِي وَنَصَرَنِي النَّاسُ، فَبِئْسَ عَشِيرَةُ النَّبِيِّ كُنْتُمْ لِنَبِيِّكُمْ

Kalian adalah keluarga seorang nabi yang paling buruk terhadap nabinya. Kalian telah mendustakan aku, sedangkan orang-orang lain membenarkan aku. Kalian mengusir aku, sedangkan orang lain memberikan perlindungannya kepadaku. Kalian memerangi aku, sedangkan orang lain menolongku. Maka kalian adalah seburuk-buruk keluarga nabi terhadap nabinya.

Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Shalih kepada kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ

“Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu.” QS. Al-A’raf: 79.

Maksudnya, kalian tidak mau mengambil manfaat apa yang telah aku sampaikan kepada kalian, karena memang kalian tidak menyukai perkara yang hak dan tidak mau menuruti nasihat.

Dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ

Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat. QS. Al-A’raf: 79.

Menurut sebagian ahli tafsir, setiap nabi yang umatnya dibinasakan, nabinya pergi dari tempat kaumnya, lalu bermukim di tanah suci Makkah. Wallahu ‘alam.

Imam Ahmad mengatakan dari Ibnu Abbas beliau berkata:

لَمَّا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي عُسْفان حِينَ حَجّ قال: “يا أبا بكر، أيّ وادي هَذَا؟ ” قَالَ: هَذَا وَادِي عُسْفَان. قَالَ: “لَقَدْ مَرَّ بِهِ هُودٌ وَصَالِحٌ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، عَلَى بَكَرات حُمْر خُطُمها اللِّيفُ، أزُرُهم العبَاء، وَأَرْدِيَتُهُمُ النِّمَارُ، يُلَبُّونَ يَحُجُّونَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ”.

Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melewati Lembah Asfan dalam tujuan hajinya, beliau bertanya, “Hai Abu Bakar, lembah apakah ini?” Abu Bakar menjawab, “Ini Lembah Asfan.” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Nabi Hud ‘alaihissalam dan Nabi Shalih ‘alaihissalam pernah lewat daerah ini dengan mengendarai untanya yang tali kendalinya dari tambang, kain sarungnya adalah gamis, dan selendangnya adalah kain nimar, mereka mengucapkan talbiyahnya berhaji ke Baitullah (Ka’bah). HR. Imam Ahmad. Ibnu Katsir berkata: Hadits ini gharib bila ditinjau dari segi jalur ini.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Muhammad ‘Ali As- Shabuni, “Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *