Baitul Haram, yakni Ka’bah Musyarrafah memiliki kemuliaan yang agung di sisi Allah ta’ala dalam syariatnya Nabi Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam. Demikian juga dalam syariat Islam, berdasarkan pertimbangan – pertimbangan maknawi yang tinggi. Juga karena Ka’bah itu pusat pengEsaan Allah ta’ala oleh seluruh manusia. Demikian pula Allah memuliakan bulan haram seperti Muharram dan Rajab, memuliakan setiap apa yang diberikan bagi penduduk Ka’bah (Makkah) yang berupa hewan ternak, dan memuliakan hewan kurban (hadyu) yang berkalung (qala’id) yakni hewan ternak yang diberi kalung pada leher mereka ketika digiring untuk disembelih dan didistribusikan kepada kaum fakir di Makkah. Allah ta’ala berfirman:
جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلۡكَعۡبَةَ ٱلۡبَیۡتَ ٱلۡحَرَامَ قِیَـٰمࣰا لِّلنَّاسِ وَٱلشَّهۡرَ ٱلۡحَرَامَ وَٱلۡهَدۡیَ وَٱلۡقَلَـٰۤىِٕدَۚ ذَ ٰلِكَ لِتَعۡلَمُوۤا۟ أَنَّ ٱللَّهَ یَعۡلَمُ مَا فِی ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَمَا فِی ٱلۡأَرۡضِ وَأَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَیۡءٍ عَلِیمٌ
“Allah telah menjadikan Ka‘bah rumah suci tempat manusia berkumpul. Demikian pula bulan haram, hadyu dan qala’id. Yang demikian itu agar kamu mengetahui, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Ma’idah: 97.
Ka’bah: Baitun Makkah, adalah rumah pertama yang ditempatkan untuk ibadah di bumi. Dinamakan Ka’bah karena bentuk segi empatnya. Ahli bahasa mengatakan: setiap rumah yang berbentuk persegi empat (مُرَبَّع) maka bangunan itu adalah berbentuk kubus (مُكَعَّب dan الكَعبَة). Ada kaum yang berkata: dinamakan dengan Ka’bah karena ia mencuat dan tinggi di atas bumi. Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihumassalam lah yang membangunnya di Makkah al-Mukarramah.
Allah subhanahu memuliakan Ka’bah dan menjadikannya pusat beribadah. Allah menjadikannya tempat perhentian urusan manusia. Tempat memperbaiki urusan mereka dalam hal agama dengan berhaji kepadanya dan dalam urusan dunia dengan rasa aman di dalamnya, tercapainya manfaat – manfaat, dan terkumpulnya buah – buahan yang bermacam – macam dari segala sesuatu. Ka’bah itu menyerupai raja yang merupakan pemimpin rakyat, yang mengurusi mereka, simbol kekuasaan mereka, kemuliaan mereka, dan pondasi kekuatan mereka.
Allah menjadikan Ka’bah sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Orang yang ketakutan akan aman di dalamnya dan orang yang mencari perlindungan akan selamat. Allah ta’ala berfirman:
أَوَلَمۡ یَرَوۡا۟ أَنَّا جَعَلۡنَا حَرَمًا ءَامِنࣰا وَیُتَخَطَّفُ ٱلنَّاسُ مِنۡ حَوۡلِهِمۡ
“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.” QS. Al-‘Ankabut: 67.
Allah membuat hati – hati manusia cenderung kepada Ka’bah. Kecenderungan ini ada di setiap tempat dan zaman. Itu pula lah yang menjadi sebab bertambahnya rizqi dan buah – buahan. Sehingga terlaksanalah urusan para hamba dan menjadi baiklah permasalahan mereka di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, setiap orang yang berhaji mendapati hajat atau kebutuhannya sebagai jawaban atas doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
رَّبَّنَاۤ إِنِّیۤ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّیَّتِی بِوَادٍ غَیۡرِ ذِی زَرۡعٍ عِندَ بَیۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡـِٔدَةࣰ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِیۤ إِلَیۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَ ٰتِ لَعَلَّهُمۡ یَشۡكُرُونَ
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” QS. Ibrahim: 37.
Allah subhanahu juga menjadikan Ka’bah sebagai tempat bagi kaum muslimin untuk mengelilinginya dengan menunaikan manasik, melaksanakan ibadah – ibadah, mendidik akhlak, mengendalikan jiwa dan menyucikannya, menyatukan arah pandangan kaum muslimin dalam urusan umum dan khusus mereka, penegasan ikatan persaudaraan keimanan, membangkitkan kekuatan di dalam jiwa, menghidupkan ruh jihad, mengingatkan akan wahyu ilahi, dan memperbarui Islam di dalam lubuk hati.
Allah juga menjadikan bulan – bulan haram sebagai masa perdamaian dan keamanan. Bulan – bulan itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab bulannya Kabilah Mudhar, yaitu bulan Rajab yang sunyi karena pada bulan tersebut tidak terdengar suara senjata. Maka pada bulan – bulan tersebut amanlah jiwa – jiwa manusia, harta – harta mereka, penghidupan mereka, dan perdagangan mereka. Jiwa – jiwa mereka menjadi tenang, api peperangan menjadi padam, dan pergilah mereka untuk beribadah, berhaji, menyambung tali kekerabatan, dan mengumpulkan kekuatan – kekuatan yang memadai.
Demikian pula dengan Hadyu (yaitu setiap hewan ternak yang dikeluarkan manakala mengunjungi Baitul Haram) dan al-Qalaid yaitu unta yang diberi tanda dengan kulit pohon. Allah menjadikan Ka’bah sebagai tempat berkumpul bagi manusia yakni tempat yang aman. Maka Hadyu itu dijamin aman bagi orang yang membawanya karena ia tahu bahwasanya ia sedang beribadah, tidak datang untuk berperang. Demikian juga al-Qalaid yang berupa unta yang diberi tanda dengan kulit pohon atau yang lainnya, al-Qalaid itu dijamin aman bagi orang yang membawanya. Tradisi atau kebiasaan yang berlaku ini memiliki posisi yang sangat mulia di jiwa orang – orang Arab. Hingga orang yang tidak berihram pun tidak dapat memegang apapun karena takut kepada Allah. Ketika para pengunjung Ka’bah ini kembali, mereka pun mengikuti kebiasaan mulia tersebut.
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata: “Allah menjadikan urusan – urusan ini bagi manusia sedangkan mereka tidak mengharap surga dan tidak takut akan neraka, kemudian Allah menekankan yang demikian itu dengan Islam.”
Allah menjadikan urusan – urusan ini agar kalian tahu wahai manusia bahwasanya Allah ta’ala mengetahui urusan – urusan langit dan bumi yang rinci, dan mengetahui kemaslahatan kalian sebelum dan sesudahnya. Maka perhatikanlah kelembutannya terhadap hamba – hambanya atas kondisi kekufuran mereka. Allah ta’ala memberi pelajaran dengan segala sesuatu yang kecil maupun yang besar, tersembunyi atau terang – terangan, dan batin atau zhahir. Ilmu Allah ta’ala adalah ilmu yang sempurna terhadap bagian – bagian rinci sesuatu yang berwujud. Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا یَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةࣲ فِی ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبࣲ وَلَا یَابِسٍ إِلَّا فِی كِتَـٰبࣲ مُّبِینࣲ
“Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” QS. Al-An’am: 59.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Tafsir al-Wasith oleh Syaikh Wahbah Zuhailiy.