Kelahiran Rasulullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada Senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari peristiwa gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M. Berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan peneliti astronomi Mahmud Basya.
Ibnu Sa’d meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana – istana di Syam.”
Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Yang demikian ini diriwayatkan Al-Baihaqi, sekalipun tidak diakui Muhammad Al-Ghazali.
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal di kalangan Arab. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.
Di Tengah Bani Sa’d
Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Sebagai langkah untuk menjauhkan anak-anak itu dari penyakit yang bisa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab dengan fasih. Maka Abdul Muththalib mencari wanita dari Bani Sa’d bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah bin Abu Dzu’aib, dengan didampingi suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.
Saudara-saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu susuan di sana adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisa binti Al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits, yang julukannya justru lebih popular daripada namanya sendiri, yaitu Asy-Syaima`. Wanita inilah yang menyusui beliau dan Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib, anak paman beliau.
Paman beliau, Hamzah bin Abdul Muththalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini juga pernah menyusui Hamzah selagi beliau masih dalam susuannya. Jadi Hamzah adalah saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari dua pihak, yaitu Tsuwaibah dan dari Halimah As-Sa’diyah.
Halimah bisa merasakan barakah yang dibawa beliau, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Inilah penuturannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suaminya dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, “Itu terjadi pada masa peceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua dan tidak bisa diambil susunya lagi walau setetes. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap masih bisa mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata. ‘Dia adalah anak yatim.’ Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah bersiap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku,’ Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang disusui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
“Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu.”
Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu (beliau) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.
“Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku pada esok harinya.
“Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku.
Halimah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap-siap pergi menunggangi keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersama di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, “Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”
“Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu,” kataku.
“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa,” kata mereka.
Kami pun tiba ditempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu aib.” Namun domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan setetes pun tidak mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawa kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.
Begitulah Rasulullah tinggal di tengah Bani Sa’ad, hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, peristiwa pembelahan dada beliau.
Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata. “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkan ke tempat semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata. “Muhammad telah dibunuh!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajah beliau semakin berseri.
Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, hingga dia mengembalikan kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.
Aminah merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia. Dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Maka dia pergi dari Makkah untuk menempuh perjalanan sejauh lima ratus kilometer, bersama putranya yang yatim, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Abdul Muththalib mendukung hal ini. Setelah menetap selama sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak antara Makkah dan Madinah.
Kembali ke Kakek yang Penuh Kasih Sayang
Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubari terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk, cucunya yang harus menghadapi cobaan baru di atas lukanya yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang, yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.
Ibnu Hasyim berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muththalib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththalib keluar ke sana, dan tak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu kali selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu. Paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata, “Biarkanlah anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya, sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”
Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kakek beliau meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.
Di bawah Asuhan Paman
Abu Thalib melaksanakan hak anak saudaranya dengan sepenuhnya dan menganggap seperti anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri, mengkhususkan perhatian dan penghormatan. Hingga berumur lebih dari empat puluh tahun beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela diri beliau. Pembahasan mengenai masalah ini akan disampaikan di tempatnya tersendiri.
Meminta Hujan dengan Wajah Beliau
Ibnu Asakir mentakhrij dari Julhumah bin Arfathah, dia berkata “Tatkala aku tiba di Makkah, orang-orang sedang dilanda musim paceklik. Orang-orang Quraisy berkata, “Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.”
Maka Abu Thalib keluar bersama seorang anak kecil, yang seolah-olah wajahnya adalah matahari yang membawa mendung, yang menampakkan awan sedang berjalan pelan-pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Ka’bah. Jari-jemarinya memegangi anak itu. Langit tadinya bersih dari mendung, tiba-tiba saja mendung itu datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi dan ladang-ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya,
“Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya
penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”
Bahira Sang Rahib
Selagi usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencapai dua belas tahun, dan ada yang berpendapat lebih dua bulan sepuluh hari, Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, suatu daerah yang sudah termasuk Syam dan merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang-orang Arab, sekalipun di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira, yang nama aslinya adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelum itu rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sifat-sifat beliau. Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang berada dibagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”
Kemudian Rahib Bahira meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanannya ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.
Perang Fijar
Pada usia lima belas tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan Quraisy dan Kinanah dipegang oleh Harb bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya terpandang. Pada awal mulanya pihak Qaislah yang mendapatkan kemenangan. Namun kemudian beralih ke pihak Quraisy dan Kinanah. Dinamakan Perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan-bulan suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut bergabung dalam peperangan ini, dengan cara mengumpulkan anak-anak panah bagi paman paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh.
Hilful-Fudhul
Pengaruh dari peperangan ini, diadakan Hilful-Fudhul pada bulan Dzul Qa’dah pada bulan suci, yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Al-Muththalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Taimi bin Murrah. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an At-Taimi karena pertimbangan umur dan kedudukannya yang terhormat. Mereka mengukuhkan perjanjian dan kesepakatan, bahwa tak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga lainnya yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk berdiri di pihaknya. Sedangkan terhadap siapa yang berbuat zhalim, maka kezhalimannya harus dibalaskan. Perjanjian ini juga dihadiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah Allah memuliakan dengan risalah, beliau bersabda, “Aku pernah mengikuti perjanjian yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih disukai daripada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhinya.”
Ruh dari perjanjian ini ialah mengenyahkan keberanian model Jahiliyah yang lebih banyak dibangkitkan rasa fanatisme. Ada yang berpendapat, sebab dari perjanjian ini, karena ada seseorang dari Zubaid yang tiba di Makkah sambil membawa barang dagangan, lalu barang-barang dagangannya itu dibeli Al-Ash bin Wa’il As-Sahmi. Namun Al-Ash tidak memenuhi hak-haknya dan juga mengkhianati sekutu-sekutunya yang lain dari Abdud-Dad, Makhzum, Jumah, Sahm, dan Adi. Oleh karena itu mereka pun tidak lagi mempedulikannya. Lalu orang dari Zubaid itu naik ke atas bukit Abu Qubais dan memperdengarkan syair-syair yang menggambarkan kezhaliman Al-Ash dengan suara yang keras. Saat itu Az-Zubair bin Abdul Muththalib lewat di dekatnya, lalu bertanya “Mengapa ada orang yang tertinggal?” Lalu mereka berkumpul di Hilful Fudhul, lalu menghampiri Al-Ash bin Wa’il untuk memprotes pelanggarannya terhadap hak-hak orang Zubaidi itu. Padahal sebelum itu mereka sudah mengikat persekutuan dengannya.
Menggembala Kambing
Pada awal masa remaja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan beliau biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’d dan juga di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar.
Pada usia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke Syam menjalankan barang dagang milik Khadijah. Ibnu Ishaq menuturkan Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang, terpandang dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang-orang menjalankan barang dagangannya, dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Sementara orang-orang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabartentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan kemulian akhlak beliau, maka dia pun mengirimkan utusan dan menawarkan kepada beliau agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini. Maka beliau berangkat ke Syam untuk berdagang dengan disertai Maisarah.
Menikah dengan Khadijah
Setibanya di Makkah dan setelah Khadijah tahu keuntungan dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah dilihatnya sebanyak itu sebelumnya, apalagi setelah pembantunya, Maisarah, mengabarkan kepadanya apa yang dilihatnya pada diri beliau selama menyertainya, bagaimana sifat-sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejujuran beliau, maka seakan-akan Khadijah mendapatkan barangnya yang pernah hilang dan sangat diharapkannya. Sebenarnya sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya. Namun dia tidak mau. Tiba-tiba saja dia teringat seorang rekannya, Nafisah binti Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui beliau dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah. Ternyata beliau menerima tawaran itu, lalu beliau menemui paman-paman beliau. Kemudian paman-paman beliau menemui paman Khadijah untuk mengajukan lamaran. Setelah semuanya dianggap beres, maka perkawinan siap dilaksanakan. Yang ikut hadir dalam pelaksanaan akad nikah adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Hal ini terjadi dua bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau dua puluh ekor onta muda.
Usia Khadijah sendiri empat puluh tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan sekaligus kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain sampai Khadijah meninggal dunia.
Semua putra-putri beliau, selain Ibrahim yang dilahirkan Mariah Al Qibthiyah, dilahirkan dari rahim Khadijah. Yang pertama adalah Al-Qasim, dan dengan nama ini pula Rasulullah dijuluki Abul Qasim, kemudian Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah dan Abdullah. Abdullah ini dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir. Semua putra beliau meninggal dunia selagi masih kecil. Sedangkan semua putri beliau sempat menjumpai Islam dan mereka masuk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka semua meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali Fathimah. Dia meninggal dunia selang enam bulan sepeninggal beliau, untuk bersua dengan beliau.
Renovasi Ka’bah dan Pengambilan Keputusan
Pada usia tiga puluh lima tahun, orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah. Ka’bah pada saat itu berupa susunan batu-batu, lebih tinggi dari badan manusia, tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak masa Isma’il, tanpa ada atapnya, sehingga banyak pencuri yang suka mengambil barang barang berharga yang tersimpan di dalamnya. Dengan kondisi seperti itu, bangunan Ka’bah semakin rapuh dan dindingnya pun sudah pecah-pecah. Lima tahun sebelum kenabian, Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul Haram, sehingga sewaktu-waktu bisa membuat Ka’bah runtuh. Sementara itu, orang-orang Quraisy dihinggapi perasaan bimbang antara merenovasi Ka’bah dan membiarkannya seperti adanya. Namun akhirnya mereka sepakat untuk tidak memasukkan bahan-bahan bangunannya kecuali yang baik-baik. Mereka tidak menerima masukan upah dari pelacur, jual beli dengan sistem riba dan rampasan terhadap harta orang lain. Sekalipun begitu mereka merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumi mengawali perobohan bangunan Ka’bah, lalu diikuti semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa Al-Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Ka’bah hingga sampai Rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.
Mereka membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sendiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Ka’bah ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum.
Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut selama empat atau lima hari, tanpa ada keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah di tanah suci. Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala mengetahui hal ini, mereka berbisik-bisik, “Inilah Al-Amin. Kami ridha kepadanya. Inilah dia Muhammad.”
Setelah mereka semua berkumpul di sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau meminta sehelai selendang lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang, lalu memerintahkan mereka secara bersama-sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Ini merupakan cara pemecahan yang sangat jitu dan diridhai semua orang.
Orang-orang Quraisy kehabisan dana dari penghasilan yang baik. Maka mereka menyisakan di bagian utara, kira-kira enam hasta, yang kemudian disebut Al-Hijir atau Al-Hathim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan tanah, agar tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang yang memang ingin melewatinya. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta, mereka memasang atap dengan disangga enam sendi.
Setelah jadi, Ka’bah itu berbentuk segi empat, yang ketinggiannya kira kira mencapai 15 m, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan sebaliknya adalah 10 x 10 m. Hajar Aswad itu sendiri diletakkan dengan ketinggian 1,5 m dari permukaan pelataran tempat thawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi 12 m. Adapun pintunya setinggi 2 m dari permukaan tanah. Di sekeliling luar Ka’bah ada pagar dari bagian bawah ruas-ruas bangunan, di bagian tengahnya dengan ketinggian 1/4 m dan lebarnya kira-kira 1/3 m. Pagar ini dinamakan Asy-Syadzarawan. Namun kemudian orang-orang Quraisy meninggalkannya.
Daya Tarik Kepribadian Sebelum Nubuwah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhan beliau. Beliau menjadi sosok yang unggul dalam pemikiran yang jitu, pandangan yang lurus, mendapat sanjungan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, dan ketepatan dalam mengambil keputusan. Beliau lebih suka diam lama-lama untuk mengamati, memusatkan pikiran dan menggali kebenaran. Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrahnya yang suci beliau mengamati lembaran-lembaran kehidupan, keadaan manusia dan berbagai golongan. Beliau merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau berhubungan dengan manusia, dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka beliau mau bersekutu di dalamnya. Jika tidak, maka beliau lebih suka dengan kesendiriannya. Beliau tidak mau meminum khamr, tidak mau makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak mau menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung-patung. Bahkan semenjak kecil beliau senantiasa menghindari jenis-jenis penyembahan yang batil ini, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain daripada penyembahan kepada patung-patung ini, dan hampir-hampir beliau tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Latta dan Uzza.
Tidak diragukan lagi bahwa takdir telah mengelilingi agar beliau senantiasa terpelihara. Jika ada kecenderungan jiwa yang tiba-tiba menggelitik untuk mencicipi sebagian kesenangan dunia atau ingin mengikuti sebagian tradisi yang tidak terpuji, maka pertolongan Allah masuk sebagai pembatas antara diri beliau dan kesenangan atau kecenderungan itu.
Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Tidak pernah terlintas dalam benakku suatu keinginan untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan orang-orang Jahiliyah kecuali hanya dua kali. Namun kemudian Allah menjadi penghalang antara diriku dan keinginan itu. Setelah itu aku tidak lagi berkeinginan sedikit pun hingga Allah memuliakan aku dengan risalah Nya. Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang pemuda yang sedang menggembala kambing bersamaku, karena aku hendak masuk Makkah dan hendak mengobrol di sana seperti dilakukan para pemuda lain.”
“Aku akan melaksanakannya,” kata pemuda rekanku.
Maka aku beranjak pergi. Di samping rumah pertama yang kulewati di Makkah, aku mendengar suara tabuhan rebana.
“Ada apa ini?” Aku bertanya. Orang-orang menjawab. “Perhelatan pernikahan Fulan dan Fulanah.”
Aku ikut duduk-duduk dan mendengarkan. Namun Allah menutup telingaku dan aku langsung tertidur, hingga aku terbangun karena sengatan matahari esok harinya. Aku kembali menemui rekanku dan dia langsung menanyakan keadaanku. Maka aku mengabarkan apa yang terjadi. Pada malam lainnya aku berkata seperti itu pula dan berbuat hal yang sama. Namun lagi-lagi aku mengalami kejadian yang sama seperti malam sebelumnya. Maka setelah itu aku tidak lagi ingin berbuat hal yang buruk.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata “Tatkala Ka’bah sedang direnovasi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ikut bergabung bersama Abbas, mengambil batu. Abbas berkata kepada beliau, “Angkatlah jubahmu hingga di atas lutut, agar engkau tidak terluka oleh batu.” Namun karena itu beliau justru jatuh terjerembab ke tanah. Maka beliau menghujamkan pandangan ke langit, kemudian bersabda. “Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku.” Lalu beliau mengikatkan jubahnya. Dalam riwayat lain disebutkan, setelah itu tidak pernah terlihat beliau menampakkan auratnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menonjol di tengah kaumnya karena perkataannya yang lemah lembut, akhlaknya yang utama, dan sifat-sifatnya yang mulia. Beliau adalah orang yang paling utama kepribadiannya di tengah kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling terhormat dalam pergaulannya dengan para tetangga, paling lemah lembut, paling jujur perkataannya, paling terjaga jiwanya, paling terpuji kebaikannya, paling baik amalnya, paling banyak memenuhi janji, paling bisa dipercaya, hingga mereka menjulukinya Al-Amin, karena beliau menghimpun semua keadaan yang baik dan sifat-sifat yang diridhai orang lain. Keadaan beliau juga digambarkan Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha, “Beliau membawa bebannya sendiri, memberi orang miskin, menjamu tamu dan menolong siapa pun yang hendak menegakkan kebenaran.”
Rujukan:
Sirah Nabawiyah/Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri; Penerjemah: Kathur Suhardi; Penyunting: Yasir Maqosid; cet. 1–Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.