Muqallid di sini maksudnya adalah orang yang memeluk agama karena agama tersebut adalah agama orang tuanya, kerabatnya, dan penduduk negerinya. Tidak ada padanya hujah atas kebenaran aqidahnya. Yakni sesungguhnya keimanannya itu adalah semata – mata warisan tanpa hujah dan tanpa bukti.
Murtab (orang yang ragu – ragu) adalah orang yang berkata: aku meyakini Islam dan mengikuti orang – orang Islam sebagai kehati – hatian bagi diriku. Apabila Islam itu benar maka aku termasuk orang – orang yang menang. Namun bila Islam itu tidak benar sama sekali maka hal itu tidak akan membahayakanku.
Kedua orang tersebut yakni muqallid dan murtab bukanlah seorang muslim.
Seorang muslim harus menetapkan keshahihan aqidahnya atau keimanannya dengan sebuah dalil dari dalil – dalil yang ada atau dengan sebuah hujah dari hujah – hujah yang ada sehingga keimanannya berasal dari kepuasan dan keridhoan. Keimanannya tidak semata – mata karena ikut – ikutan dan warisan.
Maka barang siapa yang mampu untuk menetapkan keimanannya terhadap Allah ta’ala dengan bahwasanya Allah itu Maha Kuasa dan tidak ada sesuatupun yang dapat melemahkannya, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, tidak ada sesuatupun selain Dia, Dialah yang menciptakan atau memulai segala sesuatu yang ada selain Dia baik di langit maupun di bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Dia lah yang memberi nikmat dengan kebaikan – kebaikan atas segenap makhlukNya, Dia lah yang memberi rezeki kepada manusia dengan apa saja yang dibutuhkannya, bahwasanya segala yang ada tidak ada yang menyerupaiNya baik dari jenisnya maupun semisal denganNya dan kuasaNya, maka keimanannya yang demikian itu adalah iman yang shahih. Hal ini karena ia mampu memuaskan dirinya sendiri dan juga orang lain dengan perkataan ini.
Barangsiapa yang dirinya puas dengan hujah bahwasanya Allah mengutus seorang RasulNya yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada manusia untuk mengenalkan mereka kepadaNya, memberitahukan jejak – jejak ciptaanNya, menyeru mereka untuk taat kepadaNya dan beribadah kepadaNya, yang demikian itu dengan dalil bahwasanya Nabi Muhammad adalah orang yang Shodiqul Amin (Jujur lagi dapat dipercaya) dalam apa saja yang ia kabarkan, atau karena tampak jelasnya mukjizat kenabian yang ada padanya yang tidak ada seorangpun yang dapat melakukan yang semisal dengannya, maka keimanannya ini adalah keimanan yang shahih.
Barangsiapa yang mampu untuk menambahkan dalil – dalil yang banyak meskipun sederhana atas keshahihan keimanannya, maka hal itu adalah suatu hal yang baik dan bermanfaat serta dapat memperkuat keimanannya dan menambah dalil – dalil yang disebutkannya.
Contoh – contoh mengenai bukti – bukti keimanan sangat banyak. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya mengenai kisah berimannya Najasyi raja Habasyah. Dari Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau berkata: sesungguhnya ketika para sahabatnya di Makkah diberi cobaan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada mereka agar mereka pergi ke bumi Habasyah…disebutkan dalam hadits bahwa Ja’far bin Abi Thalib berbicara kepada Raja Najasyi ketika ia bertanya mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعَفَافَهُ فَدَعَانَا إِلَى اللَّهِ لِنُوَحِّدَهُ وَنَعْبُدَهُ وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ الْحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ وَأَمَرَنَا بِصِدْقِ الْحَدِيثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالْكَفِّ عَنْ الْمَحَارِمِ وَالدِّمَاءِ وَنَهَانَا عَنْ الْفَوَاحِشِ وَقَوْلِ الزُّورِ وَأَكْلِ مَالَ الْيَتِيمِ وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ قَالَ فَعَدَّدَ عَلَيْهِ أُمُورَ الْإِسْلَامِ فَصَدَّقْنَاهُ وَآمَنَّا بِهِ وَاتَّبَعْنَاهُ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ فَعَبَدْنَا اللَّهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَحَرَّمْنَا مَا حَرَّمَ عَلَيْنَا وَأَحْلَلْنَا مَا أَحَلَّ لَنَا فَعَدَا عَلَيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُونَا وَفَتَنُونَا عَنْ دِينِنَا لِيَرُدُّونَا إِلَى عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَأَنْ نَسْتَحِلَّ مَا كُنَّا نَسْتَحِلُّ مِنْ الْخَبَائِثِ فَلَمَّا قَهَرُونَا وَظَلَمُونَا وَشَقُّوا عَلَيْنَا وَحَالُوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ دِينِنَا خَرَجْنَا إِلَى بَلَدِكَ وَاخْتَرْنَاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَرَغِبْنَا فِي جِوَارِكَ وَرَجَوْنَا أَنْ لَا نُظْلَمَ عِنْدَكَ أَيُّهَا الْمَلِكُ قَالَتْ فَقَالَ لَهُ النَّجَاشِيُّ هَلْ مَعَكَ مِمَّا جَاءَ بِهِ عَنْ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ قَالَتْ فَقَالَ لَهُ جَعْفَرٌ نَعَمْ فَقَالَ لَهُ النَّجَاشِيُّ فَاقْرَأْهُ عَلَيَّ فَقَرَأَ عَلَيْهِ صَدْرًا مِنْ كهيعص قَالَتْ فَبَكَى وَاللَّهِ النَّجَاشِيُّ حَتَّى أَخْضَلَ لِحْيَتَهُ وَبَكَتْ أَسَاقِفَتُهُ حَتَّى أَخْضَلُوا مَصَاحِفَهُمْ حِينَ سَمِعُوا مَا تَلَا عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّجَاشِيُّ إِنَّ هَذَا وَاللَّهِ وَالَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَى لَيَخْرُجُ مِنْ مِشْكَاةٍ وَاحِدَةٍ انْطَلِقَا فَوَاللَّهِ لَا أُسْلِمُهُمْ إِلَيْكُمْ أَبَدًا وَلَا أُكَادُ
“Dan kami masih dalam keadaan seperti itu (yakni agamanya kaum Makkah) sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri, kami mengetahui nasabnya dan kejujurannya, amanahnya dan kehati-hatiannya dalam menjaga kehormatannya. Dia mengajak kami kepada Allah agar kami mengesakanNya dan hanya menyembahNya, meninggalkan apa yang kami sembah dan nenek moyang kami yang berupa batu dan patung. Dia menyuruh kami agar kami berbuat jujur dalam berbicara, menunaikan amanah dan menyambung sillaturrahim, berbuat baik terhadap tetangga dan menahan dari hal-hal yang haram dan (menumpahkan) darah. Dia melarang melakukan kekejian-kekejian dan perkataan dusta, memakan harta anak yatim dan menuduh orang yang baik dengan tuduhan berzina. Dia menyuruh kami agar kami menyembah Allah saja, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, dia menyuruh kami shalat, zakat dan puasa.” dia menyebutkan berbagai hal yang berkaitan dengan perkara-perkara dalam Islam “Kami membenarkannya, beriman kepadanya dan mengikuti apa yang beliau bawa. Kami menyembah Allah saja, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, kami mengharamkan apa yang diharamkan untuk kami dan kami menghalalkan apa yang dihalalkan untuk kami. Namun, kaum kami memusuhi kami dan menyiksa kami. Mereka memfitnah kami dalam menjalankan agama kami agar kami kembali kepada menyembah patung dari ibadah kepada Allah, dan menghalalkan apa yang dulu telah kami halalkan yang berbentuk berbagai ragam kekejian. Tatkala mereka memaksa dan menganiaya kami, membuat kami susah, menghalangi kami dengan agama kami, maka kami keluar ke negeri tuan dan kami memilih tuan daripada yang lainnya karena kami senang bertetangga dengan tuan, dan kami berharap kami tidak di zhalimi di dekat tuan, Wahai raja.” Umu Salamah menuturkan kembali; Maka Raja Najasyi bertanya kepadanya; “Apakah ada sesutu yang kau bawa dari apa yang datang dari Allah?” Ja’far menjawab; “Ya.” Raja Najasy berkata; “Bacakan kepadaku!” Maka Ja’far membacanya dengan memulai dari; KA HA YA ‘AIN SHAD.” Ummu Salamah berkata; Maka Raja Najasyi, demi Allah, menangis sampai basah jenggotnya dan begitu juga para tokoh agamanya ikut menangis sampai mushaf-mushaf mereka basah ketika mendengar apa yang dibacakan di hadapan mereka, Najasyi berkata; “Demi Allah, kitab ini dan kitab yang dibawa Musa keluar dari satu sumber.”
Kisah lainnya adalah kisah keimanannya seorang laki -laki biasa, al-Baihaqiy meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : بِمَ كُنْتَ نَبِيًّا ؟ قَالَ : ” أَرَأَيْتَ إِنْ دَعَوْتُ شَيْئًا مِنْ هَذِهِ النَّخْلَةِ ، فَأَجَابَنِي تُؤْمِنُ بِي ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَدَعَاهُ فَأَجَابَهُ فَآمَنَ بِهِ وَأَسْلَمَ “
“Telah datang seorang laki – laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: dengan bukti apa Engkau adalah seorang Nabi? Beliau menjawab: ‘Apakah engkau melihat bila aku menyeru sesuatu dari pohon ini maka ia akan menjawabku, apakah engkau akan beriman denganku?’ Ia menjawab: ‘Ya’. Maka beliau menyerunya dan pohon tersebut menjawabnya maka ia pun beriman dengannya dan masuk Islam.”
Terdapat contoh – contoh yang sangat banyak berkaitan dengan keimanan seseorang dari kalangan salaf ketika mereka melihat sesuatu dari mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka melihat kebenaran serta keshahihan perkataan beliau.
عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ شَيْءٍ مِنْ الْأَهْوَاءِ فَقَالَ عَلَيْكَ بِدِينِ الْأَعْرَابِيِّ وَالْغُلَامِ فِي الْكُتَّابِ وَالْهَ عَمَّا سِوَى ذَلِكَ
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “Ada seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang hawa nafsu, maka ia berkata: ‘Hendaknya kamu senantiasa memegang teguh agama orang-orang Arab dan anak-anak dalam madrasah. Dan tinggalkanlah selain hal itu. HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
Dari kalangan salaf yang lain juga mengatakan yang demikian ini.
Ini adalah dalil yang sederhana dan tidak ada keperluan yang amat sangat untuk menyebutkan dalil – dalil yang rumit ketika para ulama’ kalam menegakkan dalil – dalil aqliyah atas kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena kenabiannya itu dikuatkan dengan hujah – hujah yang kuat dan ketauhidan Allah itu ditetapkan dengan dalil -dalil yang sangat banyak, maka cukuplah yang demikian itu dalam menetapkan tauhid dan kenabian secara bersama – sama. Tidak ada keperluan kepada dalil – dalil yang rumit atau jauh dari jangkauan pikiran bagi orang -orang yang pikirannya tidak sempurna. Oleh karena itu sebagian imam kaum muslimin seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i melarang untuk menyibukkan diri dengan ilmu kalam karena kasihan dengan orang -orang yang lemah dan orang -orang biasa, atau karena sibuknya para pengikut hawa nafsu dengan ilmu kalam tersebut.
Akan tetapi menyibukkan diri dengan ilmu kalam juga bermanfaat untuk memuaskan kalangan cendekiawan musuh -musuh Allah ta’ala serta untuk mendapatkan dalil – dalil aqliyah, teorema, dan bukti -bukti yang kuat yang menetapkan bahwa madzhab ahlus sunnah itu masuk akal sebagaimana kesesuaian zhahirnya al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagian salaf mempelajari ilmu kalam dan mengambil spesialisasi dalam bidang tersebut dan kemudian membantah ahli hawa nafsu dengan ilmu kalam tersebut. Di antara mereka adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Malik bahwasanya beliau pada suatu hari masuk ke tempatnya Abdullah bin Yazid bin Hurmuz kemudian beliau menceritakan sebuah kisah, kemudian beliau berkata: adalah ia (yakni Ibnu Hurmuz) memiliki pemahaman yang dalam mengenai ilmu kalam, ia membantah para pengikut hawa nafsu, dan ia adalah manusia yang paling mengetahui terhadap hawa nafsu yang mereka perselisihkan.
Sebagai ringkasan: bahwasanya cukup untuk menetapkan keimanan bagi seorang mu’min dari kalangan orang – orang biasa dengan adanya dalil yang sederhana dari perhatian dan penyaksiannya terhadap alam semesta ini, permulaan tumbuh – tumbuhan, berbeda -bedanya bahasa dan warna kulit, dan lain – lain yang semisal dengannya.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
Dr. Wahbah Zuhailiy. Ushul al-Iman wa al-Islam.