Kaum Mu’minin Dapat Melihat Allah Ta’ala Di Akhirat

Termasuk aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya Allah ta’ala itu dapat dilihat oleh kaum mu’minin di akhirat dan bahwasanya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihatNya di dunia pada malam isra’ dan mi’raj.

Kelompok mu’tazilah menyelisihi hal ini seluruhnya. Syiah Imamiyah dan Ibadhiyah juga yang semisal dengan kelompok – kelompok tersebut. Berikut ini adalah hujjah – hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan kelompok – kelompok tersebut:

Kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah berhujjah dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun dalil dari al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah ta’ala:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhannya.” QS. Al-Qiyamah: 22-23.

Yakni: wajah – wajah kaum mu’minin pada hari kiamat nanti bersinar melihat Rabb nya azza wa jalla. Ayat ini jelas sekali penunjukkan maksudnya.

2. Firman Allah ta’ala mengenai Musa ‘alaihis salam:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي

“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” QS. Al-A’raf: 143.

Penunjukkan ayat ini adalah: kalaulah melihat Allah ta’ala itu mustahil, Musa ‘alaihissalam tidak akan memintanya. Karena para nabi itu tidak jahil terhadap hal yang mustahil atas Allah ta’ala. Maka permintaan Musa ‘alaihissalam terhadapnya menunjukkan jaiz atau bolehnya hal tersebut.

Firman Allah ta’ala:

فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي

“Jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” QS. Al-A’raf: 143.

Ayat ini merupakan dalil lainnya mengenai hal ini. Sesungguhnya Allah ta’ala kuasa untuk menjadikan gunung tetap di tempatnya. Maka tatkala bisa tidaknya Musa ‘alaihissalam melihat Rabnya tergantung pada urusan yang jaiz, yaitu gunung tetap di tempatnya, maka hal itu menunjukkan bahwa melihatNya itu adalah suatu hal yang jaiz atau dapat terjadi.

3. Firman Allah ta’ala mengenai ahlul jannah:

لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada Kami ada tambahannya.” QS. Qaf: 35.

Berkaitan dengan “tambahan” yang didapat oleh ahlul jannah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: “Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugerah (dapat) memandang Rabb mereka.” HR. Muslim.

4. Firman Allah ta’ala:

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.” QS. Al-Muthaffifin: 15.

Penunjukkan dalilnya adalah: bahwasanya ketika Allah ta’ala menjadikan adanya hijab sebagai hukuman bagi kaum kafir maka hal itu menunjukkan bahwa saat itu kaum mu’minin tidak terhijabi atau terhalangi melihatNya.

Adapun dalil dari as-Sunnah, kaum Ahlus Sunnah berhujah dengan hadits – hadits yang shahih di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahri dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.” HR. Bukhari dan Muslim.

2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya manusia bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat nanti? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

هَلْ تُمَارُونَ فِي الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ دُونَهُ سَحَابٌ قَالُوا لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ تُمَارُونَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُونَهَا سَحَابٌ قَالُوا لَا قَالَ فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ

“Apakah kalian dapat membantah (bahwa kalian dapat melihat) bulan pada malam purnama bila tidak ada awan yang menghalanginya?” Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian dapat membantah (bahwa kalian dapat melihat) matahari, bila tidak ada awan yang menghalanginya?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau lantas bersabda: “Sungguh kalian akan dapat melihat-Nya seperti itu juga.” HR. Bukhari.

3. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam tafsir firman Allah ta’ala:

وَمِنْ دُونِهِمَا جَنَّتَانِ

“Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi.” QS. Ar-Rahman: 62.

جَنَّتَانِ مِنْ فِضَّةٍ آنِيَتُهُمَا وَمَا فِيهِمَا وَجَنَّتَانِ مِنْ ذَهَبٍ آنِيَتُهُمَا وَمَا فِيهِمَا وَمَا بَيْنَ الْقَوْمِ وَبَيْنَ أَنْ يَنْظُرُوا إِلَى رَبِّهِمْ إِلَّا رِدَاءُ الْكِبْرِ عَلَى وَجْهِهِ فِي جَنَّةِ عَدْنٍ

“Dua bagian dari surga yang perabotnya dan segala isi di dalamnya terbuat dari perak. Dan dua bagian dari surga yang perabotnya serta segala isi di dalamnya terbuat dari emas. Tidak ada yang menghalangi suatu kaum untuk melihat Rabb mereka selain selendang keagungan yang ada di wajah-Nya di surga ‘Adn.” HR. Bukhari dan Muslim.

Ahlus sunnah wal jama’ah juga berhujah dengan riwayat dari Abu Bakar as-Shiddiq, Hudzaifah bin al-Yaman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Musa al-Asy’ari, dan sahabat – sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Tidak ada keterangan satu pun dari para sahabat yang menolaknya. Kalaulah ada ikhtilaf atau perbedaan di antara mereka, tentulah perbedaan tersebut dinukilkan kepada kita saat ini. Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat dengan perkataan dapat dilihatnya Allah ta’ala dengan penglihatan di akhirat nanti bagi kaum mu’minin. Lihat lebih lanjut di kitab al-I’tiqad yang ditulis oleh al-Baihaqi.

Meski demikian, yang dimaksud dengan melihat yang ditunjukkan dalam ayat – ayat, hadits – hadits, dan ijma’ sahabat tersebut bukanlah seperti aktivitas melihat di dunia. Sesungguhnya aktivitas manusia melihat sebagiannya atau makhluk lainnya di dunia menetapkan adanya cara tertentu menyesuaikan jauh, dekat, arah, dst. Semuanya ini dan syarat – syarat lainnya sehingga makhluk dapat dilihat tidak ada pada diri Allah ta’ala karena:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” QS. As-Syura: 11.

Maka kami menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah ta’ala yakni dapat melihatNya di akhirat nanti dan kami menafikan apa saja yang menyerupakanNya dengan makhlukNya. Kami menyandarkan urusan itu sepenuhnya kepada Allah ta’ala mengamalkan seluruh dalil – dalil yang ada.

Adapun kaum Mu’tazilah dan yang sepakat dengan mereka menafikan mungkinnya manusia melihat Allah ta’ala. Mereka berkata: sesungguhnya ini adalah hal yang mustahil. Mereka berhujjah dengan dalil – dalil berikut ini:

1. Firman Allah ta’ala:

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus, Mahateliti.” QS. Al-An’am: 103.

Penunjukkan dalilnya adalah bahwasanya Allah ta’ala menafikan mungkinnya penglihatan mata mencapaiNya, penafian pencapaian itu menetapkan adanya penafian melihat. Karena apa yang dapat dicapai oleh mata itulah yang disebut dengan melihat. Kaum Ahlus Sunnah menjawab bahwa yang dinafikan itu adalah al-idrak yang maknanya meliputi. Kami (kaum Ahlus Sunnah) mengatakan sesungguhnya melihat Allah di hari akhirat nanti bukanlah melihat dengan meliputi segala sesuatunya, akan tetapi itu adalah suatu aktivitas melihat yang khusus tidak meliputi segala sesuatunya. Kesimpulan ini didapat dengan menggabungkan dalil – dalil yang ada. Sesungguhnya ayat – ayat dan hadits – hadits yang menyebutkan mengenai dapat dilihatnya Allah ta’ala di hari akhirat nanti adalah sangat jelas.

2. Firman Allah ta’ala kepada Musa ‘alaihissalam:

لَنْ تَرَانِي

“Engkau tidak akan melihat-Ku” QS. Al-A’raf: 143.

Huruf lan (لَنْ) dalam ayat tersebut menetapkan adanya penafian selama -lamanya. Maka maknanya menjadi: Engkau tidak akan melihatKu di dunia dan di akhirat. Kaum ahlus sunnah membantahnya dengan mengatakan bahwasanya huruf lan (لَنْ) tidak menetapkan adanya penafian selama – lamanya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala mengenai kaum Yahudi:

قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ * وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.” Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zhalim. QS. Al-Baqarah: 94-95.

Ayat tersebut menyatakan bahwa mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, sementara kaum kafir ahli neraka yang di antaranya adalah kaum Yahudi menginginkan agar mereka mati saja di neraka nanti. Akan tetapi Allah ta’ala tidak mematikan mereka di akhirat nanti agar mereka merasakan adzabNya. Allah ta’ala berfirman:

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ ۖ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ

“Dan mereka berseru, “Wahai (Malaikat) Malik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.” Dia menjawab, “Sungguh, kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” QS. Az-Zukhruf: 77.

Allah ta’ala mengabarkan bahwa mereka tidak akan menginginkan kematian dalam QS. Al-Baqarah 95, dan Allah mengetahui bahwa mereka akan menginginkannya di akhirat nanti (QS. Az-Zukhruf: 77). Hal ini menunjukkan bahwa huruf lan (لَنْ) tidak menetapkan penafian selama – lamanya. Yakni bahwasanya penafian itu tidak mencakup penafian di akhirat nanti.

3. Kaum Mu’tazilah dan yang sepakat dengan mereka berhujjah dengan dalil aqli: bahwasanya sesuatu yang dapat dilihat itu mungkin saja jauhar (substan/zat), jism (badan), atau ‘aradh (karakter benda) sebagaimana halnya warna – warna. Sedangkan Allah ta’ala bukanlah jauhar, jism, atau ‘aradh, maka mustahil bagiNya dapat dilihat. Kaum Ahlus Sunnah menjawab bahwasanya kaidah yang disebutkan tadi adalah bagi makhluk. Yakni makhluk itu haruslah jauhar, ‘aradh, atau jism agar dapat dilihat. Adapun bagi Allah ta’ala tidak berlaku perkataan itu karena melihatNya tidak seperti melihat makhluk – makhlukNya dan keadaan akhirat itu tidak seperti keadaan dunia. Allah ta’ala berfirman:

لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ

“Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” QS. Qaf: 22.

Maka penglihatan kaum mu’minin tidaklah sama dengan penglihatan mereka di dunia. Penglihatan di akhirat tidak sama dengan penglihatan di dunia. Penyamaan penglihatan di dunia dan di akhirat adalah bentuk penyamaan dengan pemisahan.

Engkau lihat bahwa kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah berhujjah dengan nash – nash dari Kitab, Sunnah, dan Ijma’ Sahabat. Sementara itu kaum Mu’tazilah dan kaum yang sepakat dengan mereka berhujjah dengan kaidah aqilyah duniawiyah. Kondisi di akhirat itu tidak sama dengan kondisi di dunia. Oleh karena itulah wajib untuk menerima apa yang ada di dalam nash – nash dan kita memohon kepada Allah ta’ala agar Ia memuliakan kita dengan menjadikan kita dapat melihat wajah-Nya yang mulia bersama dengan orang – orang yang diberi nikmat dan diridhaiNya.

Adapun berkaitan dengan perkara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melihat Allah ta’ala pada malam Isra’ Mi’raj, para sahabat berbeda pendapat mengenainya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengingkarinya sedangkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan sebagian sahabat lainnya menetapkannya. Pendapat yang terpilih dalam hal ini adalah pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan sebagian sahabat lainnya. Karena yang menetapkan itu lebih didahulukan daripada yang menafikan demikianlah kaidah yang ditetapkan para ulama’.

Sungguh para ulama telah mengingkari dengan pengingkaran yang keras terhadap seseorang yang mengaku melihat Allah ta’ala dalam keadaan terjaga dan mendakwa mereka dengan kafir. Karena melihat Allah ta’ala dalam keadaan terjaga itu tidak dapat terjadi pada selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan diperselisihkan apakah Nabi Muhammad itu melihat Allah ataukah tidak pada malam Isra’ dan Mi’raj sebagaimana dibahas di atas.

Adapun melihat Allah ta’ala dalam keadaan tidur, para ulama’ telah mengatakan mengenai mungkinnya hal tersebut terjadi bagi para auliya’. Akan tetapi termasuk perkara yang penting untuk kita ketahui bahwa melihatNya tersebut tidak mengakibatkan adanya hukum syar’i, demikian pula halnya dengan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka apabila ada manusia yang berkata: “Aku telah melihat Allah ta’ala dalam tidurku dan Dia memerintahkanku untuk melakukan demikian atau melarangku demikian”, tidak akan ditetapkan hukum syar’i halal, haram, atau wajib dari perkataan tersebut. Demikian juga dengan perkataan seseorang: “Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia memerintahkanku atau melarangku begini dan begitu”, juga tidak menetapkan adanya hukum syar’i karena agama ini telah sempurna. Allah ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” QS. Al-Ma’idah: 3.

Maka tidak ada lagi peluang untuk menambah atau mengurangi perkara agama ini dan mimpi itu bukanlah termasuk dalam sumber – sumber hukum.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *