Kafarat Sumpah

Seorang mu’min hendaknya memenuhi perjanjiannya dengan Allah ta’ala serta mengagungkan Dzat Allah dan kemuliaan-Nya. Hendaknya ia menghindari setiap perbuatan yang melanggar kemuliaan dan kesucian-Nya. Ketika ia bersumpah dengan nama Allah ta’ala, wajib baginya untuk menjaga sumpahnya ketika perkara yang disumpahkannya itu adalah perkara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah atau perkara ketaatan. Boleh baginya melanggar sumpahnya bahkan wajib untuk melanggarnya bila perkara yang disumpahkannya itu adalah kemaksiatan. Tidak ada hukuman dalam hal sumpah yang spontan di bibir tanpa maksud untuk bersumpah semisal: “Tidak demi Allah dan Ya demi Allah, aku akan makan, minum, duduk, atau mengunjungi.” Sesungguhnya yang ada hukum syar’inya adalah sumpah yang disengaja yang dimaksudkan oleh orang yang bersumpah dengan kehendak untuk komit terhadapnya. Maka ketika ia menyesalinya, Syariat memudahkan urusannya dan memberinya keringanan di saat ia melanggarnya dengan apa yang disebut kafarat sumpah.

Allah ta’ala berfirman:

لَا یُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِیۤ أَیۡمَـٰنِكُمۡ وَلَـٰكِن یُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَیۡمَـٰنَۖ فَكَفَّـٰرَتُهُۥۤ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَـٰكِینَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِیكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِیرُ رَقَبَةࣲۖ فَمَن لَّمۡ یَجِدۡ فَصِیَامُ ثَلَـٰثَةِ أَیَّامࣲۚ ذَ ٰ⁠لِكَ كَفَّـٰرَةُ أَیۡمَـٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوۤا۟ أَیۡمَـٰنَكُمۡۚ كَذَ ٰ⁠لِكَ یُبَیِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَایَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” QS. Al-Ma’idah: 89.

Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu” (QS. Al-Ma’idah: 87), berkenaan dengan kaum yang mengharamkan wanita dan daging atas diri mereka sendiri, mereka berkata: ‘Ya Rasulullah, bagaimana kami harus berbuat terhadap sumpah – sumpah kami yang telah kami sumpahkan kepada kami?’ Maka Allah ta’ala menurunkan: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah)..” (QS. Al-Ma’idah: 89).

At-Thabari menghubungkan yang demikian itu dengan perkataannya: “Maka hal ini menunjukkan apa yang kami katakan bahwa ada kaum yang mengharamkan apa yang mereka haramkan untuk diri mereka sendiri dengan sumpah yang mereka ucapkan, maka turunlah ayat ini dengan sebab mereka itu”.

Makna ayat: Tidak ada hukuman terhadap sumpah yang diucapkan tanpa maksud, yaitu sumpah yang tidak disengaja. Sumpah yang tidak disengaja adalah sumpah yang mendahului lisan yang bersumpah dengan tanpa maksud (nyeplos begitu saja).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu (sumpah yang tanpa maksud) adalah perkataan seorang laki – laki di rumahnya: ‘Tidak demi Allah, dan ya demi Allah”.

Akan tetapi ada hukuman terhadap sumpah yang mengikat: yaitu sumpah yang diucapkan atas suatu urusan di masa mendatang dengan ketetapan hati dan dimaksudkan untuk melakukannya atau tidak melakukannya. Sumpah tersebut juga diucapkan dengan nama Allah atau salah satu sifat di antara sifat – sifat-Nya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Umar:

مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang bersumpah hendaklah dia bersumpah atas nama Allah atau kalau tidak, lebih baik diam”.

Sumpah yang diucapkan dengan selain nama Allah berupa makhluk – makhluknya seperti dengan nama Nabi atau wali adalah sumpah yang tidak mengikat bahkan haram diucapkan.

Jenis hukuman dalam sumpah yang mengikat adalah: adanya kafarat ketika sumpah itu dilanggar yakni ketika sumpah itu tidak ada kebenarannya dan adanya pelanggaran terhadap isi sumpahnya. Bagi yang melanggar sumpahnya, sama saja apakah ia itu melanggarnya secara sengaja, lalai, lupa, keliru, dalam keadaan tidur, pingsan, gila, atau terpaksa.

Kafarat atas orang yang mampu, dapat memilih antara tiga: Pertama, memberi makan 10 orang miskin sebanyak satu mud (gandum) yakni 675 gram dari jenis pertengahan yang pada umumnya dimakan oleh penduduk negeri, tidak dengan yang paling bagusnya tidak pula dengan yang paling jeleknya, dan itu adalah sekali makan: roti dan daging.

Kedua, memberi pakaian kepada orang – orang miskin sesuai dengan negeri dan zaman – zamannya sebagaimana halnya memberi makanan. Diberikan bagi setiap orang yang membutuhkan berupa pakaian yang sedang seperti baju kurung (jilbab), celana panjang, atau sejenisnya.

Ketiga, memerdekakan budak ketika perbudakan masih ada dengan syarat budak tersebut mu’min menurut jumhur ulama. Semisal dengan kafarat pembunuhan tersalah atau zhihar (mengatakan istrinya seperti punggung ibunya dengan maksud ia mengharamkan istrinya baginya). Para fuqaha’ Hanafiyah tidak mensyaratkan budak tersebut mu’min, maka cukuplah menurut mereka kalaupun budak tersebut kafir. Ini dalam rangka mengamalkan kemutlakan nash al-Qur’an yakni yang hanya menyebut budak saja.

Ini semua adalah kafarat bagi orang yang mampu yang memiliki kelebihan untuk memenuhi makanan keluarganya sehari semalam.

Adapun kafarat bagi orang yang miskin yang tidak mampu memberi makan, memberi pakaian, atau membebaskan budak, maka baginya berpuasa tiga hari berturut – turut menurut pendapatnya para ulama Hanafiyah dan Hambali. Sedangkan menurut ulama selainnya tidak disyaratkan berturut – turut.

Tidak ada ketentuan waktu pelaksanaan kafarat tersebut. Hanya saja disukai untuk menyegerakannya. Maka orang yang sakit dapat berpuasa ketika ia mampu. Jika ia terus menerus dalam keadaan lemah, hendaknya ia mengharapkan ampunan Allah dan rahmat-Nya. Bagi ahli waris, hendaknya menyumbang untuk membayar kafaratnya.

Ini semua adalah kafarat bagi kalian yang bersumpah dengan nama Allah atau dengan salah satu asmaul husna atau sifat-Nya yang mulia dan kemudian kalian langgar. Hendaknya kalian menjaga sumpah – sumpah kalian: yaitu benar dalam sumpahnya dan tidak melanggarnya. Dalam kasus sumpah itu Allah menjelaskan kepada kalian hukum – hukum syariat dan agama-Nya agar kalian bersyukur terhadap nikmat Allah yang memberi pengajaran al-Qur’an dan memudahkan jalan keluar bagi kalian dari dosa melanggar sumpah. Haram hukumnya melanggar sumpah ketika sumpahnya itu adalah untuk mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram. Disunnahkan memenuhi sumpah dan makruh melanggarnya ketika sumpahnya itu untuk melaksanakan yang sunnah atau mubah. Wajib hukumnya untuk melanggar sumpah dan menunaikan kafarat ketika sumpahnya itu untuk melaksanakan maksiat atau keharaman.

Adapun sumpah palsu: itu adalah sumpah yang dusta yang bertujuan untuk menghilangkan hak seorang muslim, menipunya, atau mengkhianatinya. Tidak ada kafarat bagi sumpah palsu menurut pendapat jumhur ulama’, sesungguhnya itu adalah sebuah dosa dan akan memasukkan pelakunya ke neraka. Imam Syafi’i rahimahullah membolehkan untuk menunaikan kafarat bagi sumpah ini sebagai kemudahan bagi manusia dan menyelamatkan mereka dari jatuh ke dalam api neraka jahanam, dan hanya Allah lah tempat memohon pertolongan.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Tafsir al-Wasith oleh Syaikh Wahbah Zuhailiy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *