Jenis – jenis air ada empat macam:
- Air yang suci menyucikan dan tidak makruh untuk bersuci. Air ini disebut dengan air muthlak.
Asal tentang kesucian air muthlak adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَثَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ ليَقَعُوا بِهِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Seorang Arab badui kencing di Masjid, maka orang-orang pun segera menuju kepadanya dan menghardiknya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia, dan guyurlah air kencingnya dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan bukan untuk mempersulit.”
(ليقعوا به) : untuk menghardiknya dengan perkataan atau dengan perbuatan.
(سجلا) : ember penuh dengan air dan yang semisal dengannya adalah (الذنوب) yaitu timba yang berisi penuh.
- Air yang suci menyucikan tetapi makruh digunakan untuk bersuci. Air ini adalah air
Air musyammas yaitu air yang dipanaskan dengan panasnya matahari di dalam bejana yang terbuat dari logam. Menurut satu pendapat, makruh menggunakan air musyammas ini karena dapat menyebabkan sakit lepra atau menambah sakitnya. Tidak makruh menggunakan air musyammas ini kecuali bila ia digunakan untuk badan. Air jenis ini banyak ditemukan di daerah yang panas terik seperti di daerah Hijaz.
- Air yang suci tetapi tidak menyucikan. Air ini adalah air musta’mal (air yang telah digunakan untuk bersuci) dan air yang telah berubah karena bercampur dengan benda yang suci.
Dalil bahwasanya air musta’mal tersebut suci adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah beliau berkata:
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا مَرِيضٌ لَا أَعْقِلُ فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوئِهِ فَعَقَلْتُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang menjenguk saat aku sedang sakit yang mengakibatkan aku tidak sadar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berwudhu dan menyiramkan sisa air wudhunya hingga aku pun sadar. (HR. Bukhari & Muslim).
(وَضُوئِهِ) adalah air sisa wudhu. Apabila air tersebut tidak suci, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menyiramkan air tersebut kepada Jabir bin ‘Abdullah.
Dalil bahwasanya air musta’mal tersebut tidak menyucikan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
فَقَالَ كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang menggenang (diam), sedang dia dalam keadaan junub.” Seseorang lalu bertanya, “Apa yang mesti dia perbuat wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Hendaklah dia menciduk (untuk menyiramkannya).” (HR. Muslim dan yang lainnya).
Faidah hadits: bahwasanya mandi di dalam air yang diam akan menyebabkan air tersebut tidak suci lagi. Sekiranya tidak menghilangkan kesucian air tersebut niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan melarangnya. Ketentuan ini berlaku untuk air yang sedikit (tidak mencapai dua kullah). Adapun hukum wudhu di dalam air sedikit yang diam (tidak mengalir), maka hukumnya sama dengan mandi di dalam air yang diam, hal ini karena keduanya (mandi dan wudhu) memiliki makna yang satu yaitu menghilangkan hadats.
Adapun air yang berubah karena telah bercampur dengan benda yang suci juga bersifat suci namun tidak menyucikan. Benda suci yang dimaksud adalah benda suci yang dapat larut di dalam air dan tidak mungkin untuk memisahkannya setelah benda tersebut larut dalam air seperti minyak wangi, air garam, dsb. Air tersebut tidak menyucikan karena keadaannya telah berubah dan tidak disebut lagi sebagai air (mutlak) dalam kondisi tersebut.
- Air najis, yaitu air yang terkena najis sedangkan air tersebut jumlahnya kurang dari dua qullah atau jumlahnya lebih dari dua qullah tetapi berubah kondisinya (berubah bau, rasa, dan warnanya). Ukuran dua qullah adalah sekitar 500 rithl Baghdad menurut pendapat yang kuat (Ukuran tersebut setara dengan 190 liter air atau volume air dalam wadah kubus yang sisinya 58 cm).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُسْأَلُ عَنْ الْمَاءِ يَكُونُ فِي الْفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ وَمَا يَنُوبُهُ مِنْ السِّبَاعِ وَالدَّوَابِّ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ
“Aku mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan sering dikunjungi oleh binatang buas dan hewan hewan lainnya, ” Ibnu Umar berkata; Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Apabila air itu mencapai dua qullah maka tidak akan mengandung kotoran (najis).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah, dan yang lainnya. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini hadits hasan).
Pemahaman yang dapat kita ambil dari hadits tersebut adalah air tersebut menjadi najis ketika kurang dari qullah meskipun tidak berubah kondisinya (bau, rasa, dan warnanya). Dalil yang menunjukkan pemahaman tersebut adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana hingga dia membasuhnya tiga kali, karena dia tidak mengetahui di mana tangan itu menginap.” (HR. Muslim)
Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang orang yang baru bangun tidur untuk mencelupkan tangannya ke dalam air karena dikhawatirkan tangannya telah terkena najis yang tidak terlihat oleh mata. Padahal kita ketahui bersama bahwa najis yang tidak terlihat oleh mata tidak akan mengubah kondisi air. Kalau bukan karena celupan tangan yang terkena najis yang tidak terlihat tersebut menajiskan air yang dicelupinya tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan melarangnya.
Adapun air yang jumlahnya lebih dari dua qullah dan terkena najis sehingga berubah bau, rasa, dan warnanya maka air tersebut juga najis. Dalil dari hal ini adalah ijma’ (konsensus).
Imam an-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengutip perkataan Ibnu al-Mundzir beliau berkata: “para ulama’ sepakat bahwasanya ketika air yang sedikit ataupun banyak terkena najis sehingga berubah rasanya, warnanya, dan baunya maka air tersebut adalah najis”. Mengenai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْمَاءُ طَهُورٌ لَا ينجسه شئ إلَّا مَا غَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيحَهُ
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya kecuali berubah rasanya dan baunya” (HR. Ibnu Majah dan yang lainnya). Hadits tersebut adalah hadits yang dhaif dan tidak sah berhujah dengannya. Imam asy-Syafi’i juga menukil pendapat para ulama ahli hadits yang mengatakan bahwa hadits tersebut dhaif.
Maraji’:
- At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib. Dr. Musthafa Diib al-Bugha.