Janin yang Meninggal Berusia Lebih Dari Empat Bulan

Tags: ,

Apakah janin yang meninggal berusia lima bulan, enam bulan, tujuh bulan, dsb perlu disholatkan?

Kesimpulan ringkasnya:

1. Bila janin lahir dengan adanya tanda – tanda kehidupan seperti mengeluarkan suara ataupun bergerak, kemudian ia mati, maka ia dimandikan, dikafani, disholati dan dikuburkan.

2. Bila janin lahir dengan tidak adanya tanda – tanda kehidupan sama sekali, maka ada dua kondisi:

a. Janin tersebut lahir dengan usia kurang dari empat bulan, maka janin tersebut tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak disholati, dan tidak dikuburkan, namun dikuburkan lebih utama.

b. Janin tersebut lahir dengan usia lebih dari empat bulan, maka janin tersebut dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, tidak wajib bahkan tidak boleh disholati.

Berikut adalah pembahasan selengkapnya seputar janin yang meninggal yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab. Wallahu ‘alam bish shawwab.

(Awal matan kitab al-Muhadzdzab)

Ketika janin yang dilahirkan mengeluarkan suara atau bergerak kemudian meninggal, maka janin tersebut dimandikan dan disholatkan sebagaimana riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

” إذَا اسْتَهَلَّ السِّقْطُ غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ وَوُرِثَ “

“Ketika janin yang dilahirkan mengeluarkan suara, maka ia dimandikan dan disholatkan (bila meninggal), ia mewarisi dan diwarisi”.

Bagi janin tersebut sungguh telah tetap hukum dunia di dalam Islam, hukum waris, dan diyat, maka janin tersebut dimandikan dan disholatkan sebagaimana yang lainnya.

Apabila janin yang dilahirkan (meninggal) tidak mengeluarkan suara dan tidak bergerak, kemudian apabila janin tersebut belum mencapai empat bulan, maka dikafani dan dikuburkan. Apabila telah mencapai empat bulan maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Di dalam al-Qadim disebutkan bahwa janin tersebut disholatkan karena telah ditiupkan ruh padanya sehingga statusnya berubah sebagaimana janin yang terlahir dengan mengeluarkan suara. Di dalam al-Umm disebutkan, janin tersebut tidak disholatkan dan ini adalah pendapat yang al-ashah karena tidak tetap padanya hukum dunia dalam hal waris dsb, sehingga janin tersebut tidak disholatkan. Apabila kami katakan shalat baginya (bagi janin yang meninggal tersebut), maka ia pun dimandikan sebagaimana bukan janin, apabila kami katakan tidak sholat baginya maka dalam hal memandikannya terdapat dua pendapat. Di dalam al-Buwaity dikatakan tidak dimandikan karena ia tidak disholatkan, maka ia tidak dimandikan sebagaimana halnya orang yang mati syahid. Di dalam al-Umm disebutkan dimandikan karena mandi itu perkara yang terpisah dari sholat sebagaimana kami katakan di dalam hal memandikan orang kafir.

(Akhir matan kitab al-Muhadzdzab)

Syarah: Hadits Ibnu Abbas di atas dari riwayat Ibnu Abbas adalah gharib, sesungguhnya hadits tersebut makruf (diketahui) dari riwayat Jabir. At-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits tersebut dari Jabir dengan sanadnya dhaif. Di dalam sebagian riwayatnya mauquf (berhenti) atas Jabir. At-Tirmidzi rahimahullah berkata, (hadits tersebut berstatus) mauquf adalah lebih shahih. An-Nasa’I berkata, (hadits tersebut berstatus) mauquf lebih utama kepada kebenaran. At-Tirmidzi meriwayatkannya dalam al-Janaiz, an-Nasa’I di dalam al-Faraidh, dan Ibnu Majah dalam bab keduanya. Di dalam riwayat al-Baihaqi:

صُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ وَوُرِثَ

Di dalam riwayat al-Muhadzdzab disebutkan (وَرِثَ) dengan wawu fathah dan ra’ dikasrah.

Perkataan penulis (اسْتَهَلَّ) yakni berteriak, asalnya adalah teriakan dengan meninggikan suara.

Adapun (-as-siqth السقط) secara bahasa ada tiga, dengan kasrahnya sin, dhammahnya sin, dan fathahnya sin.

Adapun hukum masalah ini, maka bagi janin (yang meninggal) terdapat beberapa kondisi:

  1. Mengeluarkan suara (ketika lahir kemudian meninggal), maka wajib memandikannya dan mensholatinya tanpa adanya khilaf di sisi kami sebagaimana yang disampaikan oleh penulis (kitab al-Muhadzdzab), kafannya juga sebagaimana kafannya orang yang telah baligh yakni tiga helai kain.
  2. Bergerak dengan satu gerakan yang menunjukkan atas adanya kehidupan namun tidak bersuara atau bergoyang maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
    1. (al-Madzhab) yang ini merupakan qath’I (pasti) dari penulis dan ulama – ulama Iraq, yaitu dimandikan dan disholatkan dalam satu pendapat yang satu.
    2. Diriwayatkan dari ulama – ulama Khurasan ada dua pendapat, sebagiannya mengatakan dua sisi:
      1. (yang ashah – lebih kuat) yaitu pendapat ini (dimandikan dan disholatkan).
      2. Diriwayatkan dari ulama – ulama Khurasan bahwa tidak disholatkan, adapun apakah dimandikan maka dalam hal ini terdapat dua jalan di antara mereka:
        1. (al-Madzhab) dimandikan.
        2. Ada dua pendapat:
          1. Dimandikan
          2. Tidak dimandikan.
        3. Tidak ada gerakan dan goyangan dan tidak selainnya di antara tanda – tanda kehidupan, maka dalam hal ini terdapat dua kondisi:
          1. (Janin yang terlahir tersebut) tidak sampai empat bulan, maka tidak disholatkan atasnya tanpa khilaf. Adapun dalam memandikannya terdapat dua jalan:
            1. (al-Madzhab) yang ini merupakan qath’I dari penulis dan jumhur ulama, tidak dimandikan.
            2. Diriwayatkan dari sebagian ulama – ulama Khurasan seperti al-Qadhi Husain, Ar-Rafi’I dan yang selainnya, di dalam hal ini ada dua pendapat. Al-Mahamili menyampaikan keduanya di dalam at-Tajrid akan tetapi beliau mengatakan disyaratkan padanya tampak jelas bentuk manusia.
          2. (Janin yang terlahir tersebut) sampai usia empat bulan. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
            1. Sebagaimana disampaikan oleh penulis dan sahabat – sahabat kami (pendapat yang as-shahih) tertulis di dalam al-Umm dan kitab – kitab asy-Syafi’I yang agung, wajib memandikannya dan tidak wajib mensholatinya bahkan tidak boleh, karena bab mandi lebih luas, sebagaimana dimandikannya kafir dzimmi namun tidak disholati.
            2. Adalah nash di dalam al-Buwaity dari kitab – kitab al-Jadidah bahwa tidak disholati atasnya dan tidak dimandikan.
            3. Diriwayatkan oleh penulis dan jumhur ulama dari nash nya di dalam al-Qadim bahwasanya janin tersebut dimandikan dan disholati. Syaikh Abu Hamid berkata, yang manshush dari Imam Syafi’I dalam seluruh kitab – kitabnya adalah bahwasanya janin tersebut tidak disholati, beliau berkata, sahabat – sahabat kami meriwayatkan dari kitab Qadim bahwasanya janin tersebut dishalatkan. Shahibul al-Hawi (Imam al-Mawardi) mengatakan (ash-shahih) yaitu nash atas Imam Syafi’I di dalam kitab Qadim dan Jadid yaitu bahwasanya tidak disholatkan baginya, yang kedua diriwayatkan dari Ibnu Abi Hurairah dikeluarkan dari Imam asy-Syafi’I rahimahullah di dalam kitab Qadim bahwasanya beliau mensholatinya, al-Bandaniji rahimahullah meriwayatkan sahabat – sahabat kami dari kitab Qadim bahwasanya beliau mensholatinya. Sungguh aku telah membaca kitab – kitab Qadim seluruhnya dan tidak menjumpainya. Maka sungguh mereka semua telah sepakat atas tidak benarnya hal tersebut dalam pendapat Qadim.

Imam al-Haramain, dan Imam al-Ghazali di dalam al-Basith berkata: ketika kami wajibkan dalam kondisi – kondisi demikian itu untuk disholati, maka wajib dikafani dengan sempurna sebagaimana sebelumnya yakni dikafaninya orang yang telah baligh dalam tiga lapis kain. Ketika tidak kami wajibkan untuk sholat, wajib untuk dikuburkan berdasarkan kesepakatan ulama’ dan kain yang menutupinya yaitu berupa gulungan. Kemudian sempurnanya kafan itu mengikuti wajibnya sholat. Apabila seorang wanita menggugurkan janinnya yang masih dalam bentuk segumpal daging, maka tidak tetap baginya hukum melahirkan, wajib baginya (perempuan tersebut) membebaskan seorang budak, (segumpal dagingnya) tidak dimandikan, tidak dikafankan, tidak disholatkan, dan tidak diwajibkan untuk menguburnya, yang lebih utama adalah disembunyikan (dengan dikubur dsb), ini adalah perkataan keduanya.

Demikian pula al-Baghawi berkata, ketika seorang wanita menggugurkan segumpal darah atau segumpal daging yang tidak jelas padanya sesuatupun dari bentuk manusia maka tidak ada baginya dimandikan, dan tidak pula dikafankan, namun disembunyikan (dikubur dsb) sebagaimana darah seorang yang laki – laki yang mengeluarkan darahnya ataupun berbekam.

Adapun Ar-Rafi’I rahimahullah berkata, sesuatu yang tidak memiliki bentuk manusia maka cukup baginya disembunyikan sebagaimana mestinya, ketika setelah tampak bentuk manusia maka berlaku hukum dikafani dan hukum dimandikan. Maka hal itu menjadikannya mengikuti hukum – hukum mandi dan al-Imam (Haramain) dan al-Ghazali menjadikannya mengikuti hukum sholat. Dalam hal ini apa yang disampaikan oleh Ar-Rafi’I rahimahullah lebih tepat (yaitu mengkafani mengikuti hukum dimandikan, bila wajib dimandikan maka wajib juga dikafani).

Adapun al-Mahamily menyampaikan masalah janin ini dalam At-Tajrid berbeda dengan sahabat – sahabat (ulama dalam mazhab Syafi’i) dan berbeda dengan dengan apa yang beliau sampaikan juga dalam kitabnya al-Majmu’, beliau berkata ketika janin berusia setelah ditiupkannya ruh yaitu berusia di atas empat bulan dan tidak mengeluarkan suara sama sekali maka terdapat dua pendapat, di dalam al-Qadim dan al-Jadid dikatakan tidak disholatkan dan di dalam al-Buwaity dikatakan disholatkan atasnya. Beliau berkata dan tidak ada perbedaan atas dua pendapat tersebut bahwasanya dia dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Apabila janin tersebut berusia kurang dari empat bulan maka tidak ada perbedaan bahwasanya dia tidak disholatkan, ini merupakan nas baginya di dalam kitab – kitabnya. Kemudian jika dia belum memiliki bentuk manusia seperti kuku tangan dan sebagainya maka tidak ada hukum baginya sehingga tidak dimandikan, tidak dikafankan dan ketika memiliki bentuk manusia maka dikafankan, dan dikuburkan, adapun dalam memandikannya maka terdapat dua pendapat.

{إذا استهل السقط أو تحرك ثم مات غسل وصلي عليه لما روى ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” إذا استهل السقط غسل وصلي عليه وورث وورث ” ولأنه قد ثبت له حكم الدنيا في الإسلام والميراث والدية فغسل وصلي عليه كغيره وإن لم يستهل ولم يتحرك فإن لم يكن له أربعة أشهر كفن بخرقة ودفن وإن تم له أربعة أشهر ففيه قولان (قال) في القديم يصلى عليه لأنه نفخ فيه الروح فصار كمن استهل (وقال) في الأم لا يصلى عليه وهو الأصح لأنه لم يثبت له حكم الدنيا في الإرث وغيره فلم يصل عليه فإن قلنا يصلى عليه غسل كغير السقط وإن قلنا لا يصلى عليه ففي غسله قولان قال في البويطي لا يغسل لأنه لا يصلى عليه فلا يغسل كالشهيد وقال في الأم يغسل لأن الغسل قد ينفرد عن الصلاة كما نقول في الكافر}

{الشرح} حديث ابن عباس من رواية ابن عباس غريب وإنما هو معروف من رواية جابر

رواه من رواية جابر الترمذي والنسائي وابن ماجه والحاكم والبيهقي وإسناده ضعيف وفي بعض رواياته موقوف على جابر قال الترمذي رحمه الله كأن الموقوف أصح وقال النسائي الموقوف أولى بالصواب رواه الترمذي في الجنائز والنسائي في الفرائض وابن ماجه فيهما وفي رواية البيهقي صلي عليه وورث وورث ورواية المهذب ورث – بفتح الواو وكسر الراء – (وقوله) استهل أي صرخ وأصل الإهلال رفع الصوت وفي السقط ثلاث لغات كسر السين وضمها وفتحها

* أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَلِلسِّقْطِ أَحْوَالٌ (أَحَدُهَا) أَنْ يَسْتَهِلَّ فَيَجِبُ غُسْلُهُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَيَكُونُ كَفَنُهُ كَكَفَنِ الْبَالِغِ ثَلَاثَةُ أَثْوَابٍ (الثَّانِي) أَنْ يَتَحَرَّكَ حَرَكَةً تَدُلُّ عَلَى الْحَيَاةِ وَلَا يَسْتَهِلُّ أَوْ يَخْتَلِجُ فَفِيهِ طَرِيقَانِ (الْمَذْهَبُ) وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْعِرَاقِيُّونَ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ قَوْلًا وَاحِدًا

(وَالثَّانِي)

حكاه الْخُرَاسَانِيُّونَ فِيهِ قَوْلَانِ وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ وَجْهَانِ (أَصَحُّهُمَا) هَذَا

(وَالثَّانِي)

حَكَاهُ الْخُرَاسَانِيُّونَ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَعَلَى هَذَا هَلْ يُغَسَّلُ فِيهِ طَرِيقَانِ عِنْدَهُمْ (الْمَذْهَبُ) يُغَسَّلُ

(وَالثَّانِي)

عَلَى قَوْلَيْنِ

(أَحَدُهُمَا)

يُغَسَّلُ

(والثانى)

لا يغسل (الثالث) أَنْ لَا تَكُونَ فِيهِ حَرَكَةٌ وَلَا اخْتِلَاجٌ وَلَا غَيْرُهُمَا مِنْ أَمَارَاتِ الْحَيَاةِ فَلَهُ حَالَانِ

(أَحَدُهُمَا)

أَنْ لَا يَبْلُغَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ بِلَا خِلَافٍ وَفِي غُسْلِهِ طَرِيقَانِ (الْمَذْهَبُ) وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ لَا يُغَسَّلُ

(وَالثَّانِي)

حَكَاهُ بَعْضُ الْخُرَاسَانِيِّينَ كَالْقَاضِي حُسَيْنٍ وَالرَّافِعِيِّ وَآخَرِينَ فِيهِ قَوْلَانِ وَذَكَرَهُمَا الْمَحَامِلِيُّ فِي التَّجْرِيدِ لَكِنْ قَالَ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ ظَهَرَ فِيهِ خِلْقَةُ آدَمِيٍّ (وَالْحَالُ الثَّانِي) أَنْ يَبْلُغَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ (الصَّحِيحُ) الْمَنْصُوصُ فِي الْأُمِّ وَمُعْظَمِ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ يَجِبُ غَسْلُهُ وَلَا تَجِبُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ وَلَا تَجُوزُ أَيْضًا لِأَنَّ بَابَ الْغُسْلِ أَوْسَعُ وَلِهَذَا يُغَسَّلُ الذِّمِّيُّ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ

(وَالثَّانِي)

(وَأَمَّا) الْمَحَامِلِيُّ فَذَكَرَ مَسْأَلَةَ السِّقْطِ فِي التَّجْرِيدِ خِلَافَ الْأَصْحَابِ وَخِلَافَ مَا ذَكَرَهُ هُوَ أَيْضًا فِي كِتَابِهِ الْمَجْمُوعِ فَقَالَ إنْ سَقَطَ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ وَلَمْ يَسْتَهِلَّ بِأَنْ سَقَطَ لِفَوْقِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَقَوْلَانِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَفِي الْبُوَيْطِيِّ يُصَلَّى عَلَيْهِ قَالَ وَلَا خِلَافَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُكَفَّنُ وَيُدْفَنُ وَإِنْ سَقَطَ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ نَصَّ عَلَيْهِ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ ثُمَّ إنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ خَلْقُ آدَمِيٍّ كَظُفْرٍ وَغَيْرِهِ فَلَا حُكْمَ لَهُ فَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُكَفَّنُ وَإِنْ كَانَ قَدْ تَخَلَّقَ كُفِّنَ وَدُفِنَ وَفِي غُسْلِهِ قَوْلَانِ هَذَا آخِرُ كَلَامِهِ وَفِي الْبَيَانِ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي حامد نحوه ولم أر فِي تَعْلِيقِ أَبِي حَامِدٍ لَكِنَّ نُسَخَ التَّعْلِيقِ تخلف وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْبُوَيْطِيِّ مِنْ الْكُتُبِ الْجَدِيدَةِ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَلَا يُغَسَّلُ (وَالثَّالِثُ) حَكَاهُ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ عَنْ نَصِّهِ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ قَالَ وَحَكَى أَصْحَابُنَا عَنْ الْقَدِيمِ أَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي (الصَّحِيحُ) الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ قَالَ (وَالثَّانِي) حَكَاهُ ابْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ تَخْرِيجًا عَنْ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي الْقَدِيمِ أَنَّهُ يُصَلَّى

عَلَيْهِ وَقَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ حَكَى أَصْحَابُنَا عَنْ الْقَدِيمِ أَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَقَدْ قَرَأْت الْقَدِيمَ كُلَّهُ فَلَمْ أَجِدْهُ فَقَدْ اتَّفَقَ هَؤُلَاءِ عَلَى إنْكَارِ كَوْنِهِ فِي الْقَدِيمِ قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْبَسِيطِ إنْ أَوْجَبْنَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الصَّلَاةَ فَالْكَفَنُ التَّامُّ وَاجِبٌ كَمَا سَبَقَ يَعْنِي يُكَفَّنُ كَفَنَ الْبَالِغِ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ وَإِنْ لَمْ نُوجِبْ الصَّلَاةَ وَجَبَ دَفْنُهُ بِالِاتِّفَاقِ وَالْخِرْقَةُ الَّتِي تُوَارِيهِ وَهِيَ لِفَافَةٌ قَالَا وَالدَّفْنُ واجب حينئذ قَوْلًا وَاحِدًا قَالَا ثُمَّ تَمَامُ الْكَفَنِ يَتْبَعُ وُجُوبَ الصَّلَاةِ قَالَا وَإِذَا أَلْقَتْ الْمَرْأَةُ مُضْغَةً لَا يَثْبُتُ بِهَا حُكْمُ الِاسْتِيلَادِ وَوُجُوبُ الْغُرَّةِ وَلَا غَسْلٌ وَلَا تَكْفِينٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا يَجِبُ الدَّفْنُ وَالْأَوْلَى أَنْ تُوَارَى هَذَا كَلَامُهُمَا وَكَذَا قَالَ الْبَغَوِيّ إذَا أَلْقَتْ عَلَقَةً أَوْ مضغة لم يظهر فيها شئ مِنْ خَلْقِ الْآدَمِيِّ فَلَيْسَ لَهَا غُسْلٌ وَلَا تَكْفِينٌ وَتُوَارَى كَمَا يُوَارَى دَمُ الرَّجُلِ إذَا افْتَصَدَ أَوْ احْتَجَمَ (وَأَمَّا) الرَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فَقَالَ مَا يَظْهَرُ فِيهِ خِلْقَةُ آدَمِيٍّ يَكْفِي فِيهِ الْمُوَارَاةُ كَيْفَ كَانَتْ فَبَعْدَ ظُهُورِ خِلْقَةِ الْآدَمِيِّ حُكْمُ التَّكْفِينِ حُكْمُ الْغُسْلِ فَجَعَلَهُ تَابِعًا لِلْغَسْلِ وَجَعَلَهُ الْإِمَامُ وَالْغَزَالِيُّ تَابِعًا لِلصَّلَاةِ وَمَا ذَكَرَهُ الرَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنْسَبُ (وَأَمَّا) الْمَحَامِلِيُّ فَذَكَرَ مَسْأَلَةَ السِّقْطِ فِي التَّجْرِيدِ خِلَافَ الْأَصْحَابِ وَخِلَافَ مَا ذَكَرَهُ هُوَ أَيْضًا فِي كِتَابِهِ الْمَجْمُوعِ فَقَالَ إنْ سَقَطَ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ وَلَمْ يَسْتَهِلَّ بِأَنْ سَقَطَ لِفَوْقِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَقَوْلَانِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَفِي الْبُوَيْطِيِّ يُصَلَّى عَلَيْهِ قَالَ وَلَا خِلَافَ عَلَى الْقَوْلَيْنِ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُكَفَّنُ وَيُدْفَنُ وَإِنْ سَقَطَ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ نَصَّ عَلَيْهِ فِي جَمِيعِ كُتُبِهِ ثُمَّ إنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ خَلْقُ آدَمِيٍّ كَظُفْرٍ وَغَيْرِهِ فَلَا حُكْمَ لَهُ فَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُكَفَّنُ وَإِنْ كَانَ قَدْ تَخَلَّقَ كُفِّنَ وَدُفِنَ وَفِي غُسْلِهِ قَوْلَانِ هَذَا آخِرُ كَلَامِهِ وَفِي الْبَيَانِ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي حامد نحوه ولم أر فِي تَعْلِيقِ أَبِي حَامِدٍ لَكِنَّ نُسَخَ التَّعْلِيقِ تخلف وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *