Iman Terhadap Qadha’ dan Qadar

Iman terhadap qadha’ dan qadar merupakan salah satu rukun dari rukun – rukun keimanan. Di dalam hadits Jibril yang masyhur disebutkan bahwasanya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Kamu beriman kepada Allah, malaikat – malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan qadar baik dan buruknya.” HR. Muslim.

Makna qadar adalah: Allah ta’ala menciptakan sesuatu atas ukuran yang khusus dan ketetapan yang tertentu dalam dzat – dzatnya dan keadaan – keadaannya sesuai dengan ilmu Allah yang mendahuluinya. Yakni bahwasanya Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu, ukuran – ukurannya, dan masa – masanya sebelum Ia mewujudkannya, kemudian Ia mewujudkan sesuatu itu yang sebelumnya telah ada dalam ilmuNya bahwa ia akan terwujud. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” QS. Al-Qamar: 49.

Maka Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang telah terwujud atau akan terwujud sebelum ia terwujud. Allah ta’ala juga mengetahui segala sifat – sifatnya kemudian Ia mewujudkannya sesuai dengan apa yang ada dalam IlmuNya sebelumnya. Maka segala sesuatu tidak terwujud tanpa sebab dan hubungan melainkan terwujud sesuai dengan ketentuan atau taqdir Allah ta’ala yang telah ada sebelumnya dalam ilmuNya.

Qadha’ secara bahasa maknanya adalah hukum atau ketetapan (الحُكْمُ). Yang dimaksud dengan qadha’ di sini adalah bahwasanya Allah ta’ala menghendaki segala sesuatu sejak azali (sejak dahulu) dari sisi yang telah nampak terwujud atau terjadi. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat adalah untuk mengungkapkan ketelitian dan kesempurnaan.

Manusia menguraikan masalah qadha’ dan qadar ini dari makna yang satu yaitu: kehendak Allah untuk mewujudkan sesuatu secara khusus kemudian Allah mewujudkannya dengan perbuatan sesuai dengan kehendaknya tadi. (Lihat Aqaid Islamiyah oleh Syaikh Abdurrahman Habannakah).

Sesuatu yang terwujud itu banyak sekali, tidak terhitung banyak dzat – dzatnya, sifat – sifatnya, dan ukuran – ukurannya. Akan tetapi yang terkait dengan manusia itu ada dua jenis saja:

1. Jenis yang tidak ada pilihan padanya seperti hari lahirnya, warna kulitnya, tingginya, sakit yang menimpanya tanpa disebabkan darinya, yang demikian itu seorang manusia tidak dihisab atasnya.

2. Jenis yang ada pilihan padanya, jika ia memilih kebaikan maka baginya pahala, dan jika ia memilih keburukan maka baginya dosa.

Benar bahwa pilihannya akan sesuai dengan qadar dan qadha’ sebelumnya, akan tetapi hal ini kembali pada ketelitian ilmu Allah ta’ala, qadar dan qadha’Nya, tidak kembali kepada pengetahuan hamba atas qadha’ dan qadar. Maka orang yang bersedekah tidaklah melihat dulu qadha dan qadarnya kemudian ia melaksanakan apa yang ada di dalamnya, akan tetapi ada pada dirinya kehendak untuk bershadaqah kemudian ia memilih untuk memberikan hartanya sehingga ia mendapatkan pahalanya. Sebaliknya, barang siapa yang menghendaki kemaksiatan, seperti seorang pembunuh yang zhalim, ia tidak melihat dulu qadha’ dan qadarnya kemudian ia melaksanakan apa yang ada di dalamnya, akan tetapi ada pada dirinya kehendak untuk berbuat keburukan kemudian ia memilih untuk membunuh jiwa sehingga ia mendapatkan dosa.

Para ulama’ membuat contoh mengenai hal ini, mereka berkata: sesungguhnya polisi itu tahu dengan keadaan – keadaan para penjahat, pada sebagian waktu para polisi itu dapat menduga kapan dan bagaimana para penjahat itu akan melaksanakan kejahatannya. Ketika mereka menulis yang demikian itu dan mengintainya kemudian datang peluang yang baik sehingga mereka dapat menangkap basah atas kejahatan para penjahat itu, tidaklah para penjahat itu dapat berkata: kalian mengetahui yang demikian itu dan menuliskannya dalam kertas – kertas kalian, kenapa kalian tidak mencegahku?! Atau kenapa anda membawa saya atas sesuatu yang anda kerjakan? Karena para penjahat itu mengerjakan kejahatannya atas kehendaknya bukan berdasarkan atas catatan polisi. Bila polisi itu dapat melakukan kesalahan dalam perkiraan karena ia adalah manusia yang lemah, maka sesungguhnya Allah ta’ala tidak akan salah karena Allah memiliki pengetahuan yang luas akan apa yang terjadi di masa yang akan datang sebagaimana Allah memiliki pengetahuan akan yang ada sekarang dan yang telah lalu. Perkara – perkara tersebut (yakni perkara yang akan datang maupun perkara yang telah lalu) sama saja di sisinya dan tidak mempertimbangkan zaman, telah kami bahas hal ini sebelumnya pada pembahasan tentang ilmuNya Allah ta’ala.

Sekarang kita kembali dulu agar kita ingat dengan apa yang ada sebelumnya dalam penjelasan lima perkara yaitu: ilmuNya Allah, penciptaan perbuatan, usaha manusia, qadar, dan qadha’. Hal ini agar jelas bagi kita bagaimana seharusnya memahaminya dengan pemahaman yang menjauhkan kita dari menisbatkan kezhaliman kepada Allah ta’ala dan menjauhkan kita dari prasangka bahwa ilmu Allah ta’ala itu tidak meliputi segala sesuatu atau bahwasanya di alam semesta ini ada pencipta selain Allah ta’ala. Maka kita katakan:

1. Sesungguhnya ilmu Allah ta’ala itu meliputi segala sesuatu baik kecilnya maupun besarnya sejak masa azali sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Yang demikian itu telah dituliskan di dalam Lauhul Mahfudz.

2. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan kekhususan bagi segala sesuatu sejak dahulu kala dengan sifat – sifat yang khusus sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan iradah, kemudian Allah mewujudkannya dalam waktu yang telah ditentukan secara khusus baginya sejak azali dan dengan sifat – sifat yang telah diketahui sebelumnya, ini adalah qadha’ dan qadar.

3. Sesungguhnya manusia itu berjalan di dalamnya dan diantaranya ada perbuatan – perbuatan yang tidak ada pilihan baginya seperti sirkulasi darah, sistem pencernaan, dan sistem pernafasan. Manusia tidak dihisab atas ini semua.

4. Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan kepada manusia sebagian kekhususan dan memberinya kemungkinan untuk memilih sebagian perbuatan – perbuatannya yang merupakan pilihan. Akan tetapi manusia tidak menciptakan perbuatannya itu. Di dalam lingkaran yang mana manusia memiliki kemampuan untuk memilih, Allah ta’ala memerintahkannya dan melarangnya dari berbagai urusan. Meski demikian manusia tidak dipaksa oleh Allah ta’ala untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.

5. Sesungguhnya perbuatan – perbuatan yang berasal dari seluruh makhluk dan dinisbatkan kepada mereka adalah termasuk ciptaan Allah ta’ala meskipun mereka yang telah memilih sebagiannya.

6. Sesungguhnya Allah ta’ala tidak memberikan ilmuNya, qadha’ dan qadarNya kepada hambaNya.

Setelah kita menghadirkan ini semua di dalam benak, kita katakan: sesungguhnya manusia itu tidak dihisab atas apa yang ada dalam ilmu Allah ta’ala sebelum terjadi, tidak juga atas apa yang ada dalam qadha’ dan qadar sebelum ia memilihnya, tidak juga atas perbuatan – perbuatan yang tidak ada pilihan atasnya. Sesungguhnya manusia itu akan dihisab atas pilihan perbuatannya dan komitmennya untuk melakukannya sama saja apakah itu terlaksana ataukah tidak. Maka seorang pembunuh tidak dapat mengatakan: ini telah ada dalam ilmu Allah ta’ala sebelumnya maka janganlah meminta pertanggungjawabanku. Tidak juga ia dapat berkata: sesungguhnya Allah ta’ala telah menciptakan di dalam bubuk mesiu khasiat letusan, maka janganlah meminta pertanggungjawabanku atas adanya penembakan. Tidak juga ia dapat mengatakan: sesungguhnya Allah ta’ala telah menetapkan umur bagi yang terbunuh ini dan sungguh umurnya telah habis, maka janganlah meminta pertanggungjawabanku…dst dari perkataan seseorang yang ingin lolos dari hukuman. Apabila dikabulkan perkataan seseorang yang semisal dengan ini, maka rusaklah bumi ini. Bahkan tidak ada seorang yang berakal pun akan menerimanya, pada khususnya lagi ketika permusuhan itu terjadi pada orang yang berakal itu. Ada dua hal yang perlu diingatkan di sini:

Pertama: bahwasanya manusia itu berhujjah dengan ilmuNya Allah ta’ala serta qadha’ dan qadarNya untuk membenarkan perbuatan – perbuatan buruknya dan tidak mengucapkannya sedikitpun ketika ia melakukan kebaikan. Hal ini karena ia tidak menghendaki hilangnya kemuliaan dirinya dan pahala dari perbuatan baiknya. Akan tetapi ia berhujjah dengan qadar atau taqdir agar dapat lolos dari tanggungjawab perbuatan buruk.

Kedua: bahwasanya Allah ta’ala telah menuliskan rizqi, ajal, dan amal manusia. Kita lihat manusia itu berusaha keras untuk mencari rizqinya dan mengobati sakitnya karena takut akan kematian, tidaklah mengapa manusia melakukan yang demikian itu. Dalam pembahasan rizqi dan ajal, manusia itu tidak menyandarkannya pada topik qadar atau taqdir. Jika dalam lingkaran pembahasan amal sholih mereka berhujah dengan qadha’ dan qadar dalam meninggalkannya dan mereka berhujjah dengannya ketika mereka melakukan perbuatan jahat. Ini menunjukkan bahwa manusia itu berhujjah dengan qadar atau taqdir hanya untuk lolos dari hukuman dan celaan.

Adapun hadits berikut ini:

احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى فَقَالَ لَهُ مُوسَى يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ لَهُ آدَمُ يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا

“Adam dan Musa saling berdebat. Musa mengatakan; ‘Hai Adam, engkau adalah bapak kami, sungguh engkaulah yang telah menelantarkan kami dan mengeluarkan kami dari surga’. Adam menjawab; ‘Hai Musa, Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya, dan Allah telah memberi catatan-catatan untukmu dengan tangan-Nya, apakah kamu mencelaku dengan suatu hal yang telah Allah takdirkan empat puluh tahun bagiku sebelum Dia menciptaku? ‘ Adam akhirnya bisa mengalahkan debat Musa (beliau ucapkan tiga kali).” HR. Bukhari dan Muslim.

Ini adalah hadits shahih, akan tetapi ketika Allah mencela Nabi Adam ‘alaihissalam, beliau tidak berhujjah dengan qadar akan tetapi beliau berkata:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” QS. Al-A’raf: 23.

Sungguh Allah ta’ala telah mengampuninya akan tetapi Allah menurunkannya ke bumi. Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam menyalahkan Nabi Adam, barulah beliau berhujjah dengan qadar atau taqdir. Hal ini karena tanggungjawab terhadap dosa adalah suatu hal dan celaan atasnya adalah suatu hal yang lain. Orang yang bertaubat tidak dicela agar tidak melarikan diri dari taubat dan melanjutkan perbuatannya. Bagi setiap kedudukan ada kata – katanya yang tepat (لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ). Setelah ini semua perlu kita ingat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا

“Jika disebutkan tentang qadar (takdir) maka tahanlah (diamlah). HR. At-Thabrani dalam al-Kabir, lihat Al-Jami’ As-Shaghir.

Wallahu ‘alam bi as-shawab.

Rujukan:
Syaikh Nuh Ali Salman al-Qudhah, Al-Mukhtashar al-Mufid fii Syarh Jauharat at-Tauhid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *