Ijtihadnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam

Tags:

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Rasul-Nya di dalam QS. An-Nisa ayat 105 untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan haq/benar dan adil tanpa didasari atas kecintaan terhadap seseorang. Allah subhanahu wa ta’ala melarang untuk dzalim kepada siapapun meskipun kepada seorang non muslim. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. An-Nisa’ 105).

Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kebenaran pada kabar – kabarnya, seruannya, dan hukum – hukumnya. Dengan Al-Qur’an tersebut lah Rasulullah diperintahkan memutuskan perkara di antara manusia.

Dalam proses memutuskan hukum mengenai suatu perkara di antara manusia, Rasulullah berpijak kepada hukum – hukum Al-Qur’an dan wahyu bila ada atau memutuskan hukum dengan ijtihad bila tidak terdapat hukum yang sharih atau jelas dari wahyu.

Para ulama’ ushul menyampaikan bahwa QS. An-Nisa’ 105 di atas adalah dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berijtihad dalam memutuskan perkara. Hal ini berkaitan dengan asbab an-nuzul ayat tersebut yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang mengadukan pencurian barang kepada Rasulullah, namun sang pencuri justru melakukan fitnah bahwa sang pelapor telah melakukan tuduhan dusta pencurian kepada keluarga baik -baik. Sehingga Rasulullah pun justru membalikkan tuduhan tersebut kepada sang pelapor bahwa dia menuduh tanpa bukti hingga turun ayat tersebut yang justru membenarkan sang pelapor tersebut.

Di samping itu, juga telah tetap hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar suara orang yang sedang adu mulut di depan pintu kamar beliau, lalu beliau keluar menemui mereka seraya bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّهُ يَأْتِينِي الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَهُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ يَذَرْهَا

“Aku ini hanya seorang manusia biasa, namun banyak orang yang membawa perkaranya kepadaku, sedangkan satu pihak di antara mereka ada yang lebih pandai berbicara sehingga aku mengira dialah yang benar, lalu kuputuskan dialah yang menang atas lawannya, oleh karena itu, siapa yang aku menangkan perkaranya di atas hak seorang muslim, sesungguhnya itu merupakan sepotong api dari neraka. Maka ia boleh membawanya atau meninggalkannya.” HR. Bukhari dan Muslim.

Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah beliau berkata;

جَاءَ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ يَخْتَصِمَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوَارِيثَ بَيْنَهُمَا قَدْ دُرِسَتْ لَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ أَوْ قَدْ قَالَ لِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَإِنِّي أَقْضِي بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ يَأْتِي بِهَا إِسْطَامًا فِي عُنُقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَبَكَى الرَّجُلَانِ وَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقِّي لِأَخِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِذْ قُلْتُمَا فَاذْهَبَا فَاقْتَسِمَا ثُمَّ تَوَخَّيَا الْحَقَّ ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ لِيَحْلِلْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا صَاحِبَهُ

“Ada dua orang lelaki dari Anshar mengadukan pertikaian yang terjadi di antara mereka berdua dalam masalah harta warits kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Setelah dipelajari, di antara mereka berdua tidak ada bukti yang jelas, maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan pertikaian kalian kepadaku sementara aku adalah manusia. Pasti sebagian kalian lebih kuat hujahnya. Atau beliau bersabda: hujahnya dari sebagian yang lain. Dan aku memutuskan di antara kalian berdasarkan apa yang saya dengar. Barangsiapa yang aku beri keputusan kepadanya dengan mengurangi hak saudaranya, maka janganlah ia mengambilnya, karena yang aku putuskan untuknya adalah putusan dari neraka yang ia akan datang dengan diletakkan di lehernya besi panas pada hari kiamat.” Lantas dua orang lelaki tersebut menangis, dan setiap orang di antara mereka berdua berkata; “Hak saya untuk saudaraku.” Kemudian Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Bila demikian yang kalian berdua katakan, maka pergilah dan bersumpahlah kemudian pilihlah kebenaran. Lantas kalian undi dan hendaknya setiap salah seorang diantara kalian berdua saling menghalalkan bagi siapa yang menjadi pemiliknya.” HR. Ahmad.

Di dalam riwayat Abu Dawud terdapat tambahan:

إِنِّي إِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ بِرَأْيِي فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيَّ فِيهِ

“Aku memberi putusan untuk kalian berdasarkan pendapatku, dalam perkara yang tidak diturunkan wahyu tentangnya.”

Bagi yang berpendapat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam boleh untuk berijtihad (dan ini adalah pendapat jumhur) mereka berkata: boleh bagi Nabi untuk salah dalam berijtihad, akan tetapi beliau tidak dibiarkan tetap dalam kesalahan itu, dalilnya adalah hadits – hadits tersebut di atas tadi serta hadits – hadits mengenai diterimanya tebusan tawanan perang pada perang Badar.

Dengan demikian, menurut jumhur ulama’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam boleh berijtihad dalam memutuskan suatu perkara yang tidak terdapat wahyu yang shorih atau jelas mengenai perkara tersebut berdasarkan wahyu – wahyu yang ada namun berkaitan. Wallahu ‘alam.

Rujukan: Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *